Atma Dhyana, Kontemplasi pada Diri Sejati, Luput dari Kekerasan dan Disharmoni

Oleh : JMA Dr. I Ketut  Puspa Adnyana, M.TP

“Om Swastyastu. Sembah Sujud kepada Hyang Meraga Suung, mohon restu dan ampunan agar tan keneng upadrawa.  Om Siddhirastu Astu tad Astu Swaha”.

Kekerasan dan radikalisme menjadi momok menakutkan beberapa hari ini dalam masyarakat. Dunia ini terus berdinamika dan bergerak menuju keseimbangan.  Keseimbangan ini terganggu karena pergerakan yang mengandung kekerasan. Orang-orang sekarang sedang sibuk mencari sumber kekerasan, sumber radikalisme. Ajaran Hindu dengan tepat menunjuk penyebab penyebabnya yaitu terkait dengan kelalaian dalam mengontrol diri sejati. Kelalaian itu meliputi kaya, wak, manah (Tri Kaya Parisuda).

Bila semua unsur yang bergerak dalam keadaan seimbang, maka akan tumbuh harmoni. Harmoni mendatangkan rasa damai bebas dari ancaman dan bencana dari apa pun. Cita-cita pada unit terkecil adalah membangun keluarga Sukinah Bhawantu, sebagai salah satu bentuk harmoni. Sebuah keluarga yang berhasil, ketika telah melahirkan keturunan yang suputra. Suputra adalah cikal bakal terwujudnya harmoni. Bila semua manusia baik dan seluruh ciptaan alam semesta dalam keadaan ideal, maka keadaan inilah yang disebut Satya Yuga yakni manakala kehidupan menjadi damai. Di Era Sathya Yuga, sikap dan prilaku berkesusilaan mengalami puncaknya.

Akan tetapi sekarang ini kita berada pada zaman Kaliyuga dalam Manwantara ke-7. Kenapa deklinasi dan inklinasi kehidupan terus berlangsung? Berdasarkan ajaran Weda kita dapat menemukan ajaran yang langsung menyentuh diri sejati (Atman). Kesadaran Atman inilah yang membuat perputaran jaman, salah satunya, karena selalu ada pergerakan yang diberi kehidupam dengan adanya Atman pada sang Badan. Hidup ditunjukkan oleh pergerakannya. Pergerakan itu: Rtam (Hukum Alam Semesta).

Ada 10 konsepsi dalam ajaran Weda yang terkait dengan perlunya memahami Atma, yaitu: atmadhyana [aatma dhyaan], atmajnani [aatma j^naani], atmanishta [aatma nisht], atmaprajna [aatma pruj^naa], atma sakti [aatma sh^ukti], atma siddhi [aatma siddhi], atma vichara [aatma vichaar], atmavidya [aatma vidya], atmasakshatkara [aatmasakshatkara ], dan atmanusandhana [aatmunusundhun]. Kali ini kita berdiskusi tentang atmadhyana [aatma dhyaan].

ATMA DHYANA: Kontemplasi diri sejati.

Secara fisik manusia terdiri atas darah dan daging (Panca Mahabhuta) yang membentuk struktur dan morphologi tubuh atau badan. Manusia memiliki struktur dan bentuk badan fisik yang sempurna, yang juga dilengkapi dengan sifat dan karakter yang bersifat batiniah, paling utama manah dan budi. Ini terjadi akibat bertemunya Purusa dan Prakriti dalam proses garbhawana, yang melahirkan Triguna, yang terdiri atas: (1) sifat dan prilaku sempurna dan damai (Satwa); (2) sikap dan prilaku yang riang dan gembira mengejar shringara (Rajas), dan (3) sikap dan prilaku apatis, bodoh dan malas serta loba yang mengejar kama (Tamas). Dominasi salah satu sikap dan prilaku guna ini akan menentukan apakah seseorang akan menghasilkan subhakarma atau asubhakarma.

Ketiga guna ini dapat dibangun ketika seseorang mampu melakukan evaluasi terhadap dirinya. Menyadari, memahami dan mengerti perbedaan antara ketiga sifat ini akan mudah menjalankannya. Pertimbangan-pertimbangan ini menjadi tugas manah dan budhi. Kemampuan untuk melakukan evaluasi diri ini disebut dengan Dhyana {Dalam pemahaman Yogasutra, dhyana cukup dilakukan selama (11×11)11+12 detik}. Suatu situasi dimana seseorang mampu fokus pada sebuah obyek. Bila fokus evaluasi itu dilakukan terhadap sang diri sejati atau jiwatman inilah yang disebut Atmadhyana. Singkatnya Atmadhyana adalah komtemplasi diri sejati.

Mokshartam-Jagadhitha dapat dicapai oleh hanya sedikit orang. Orang-orang itu pastilah mereka yang membudayakan kontemplasi diri sejati (Atmadhyana) dalam kehidupan sehari harinya. Tidak ada persoalan yang ditimbulkan oleh orang-orang yang memiliki kesadaran. Namun untuk mencapai Dhyana, orang harus tekun dan disiplin (yoga) dalam kehidupannya dan terus berlatih. Bila kesadaran akan Atmadhyana ini sudah menjadi pola hidup manusia, kehidupan mewujud mencapai keseimbangannya. Itulah yang kita sebut “Jagadhita”. Mokshartham sepertinya sulit dihampiri bila orang-orang melakukan penyangkalan-penyangkalan terhadap kebenaran (dharma), melakukan kekerasan dan bersikap radikal. Kekerasan variannya sangat beragam mulai terhadap diri-sendiri, orang lain dan lingkungan. Radikalisme tumbuh pada diri seseorang apabila mereka tidak mampu melakukan komtemplasi. Dunia akan damai dan sejahtera, yang menjadi idaman setiap orang dan ciptaan lainnya, salah satunya, karena tekun dalam atmadhyana. Semoga semua makhluk berbahagia. Om santih santih santih Om. (Penulis adalah Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat Periode 2021-2026)

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email