Oleh : Wayan Windia *)
Saya baru saja mendapatkan data tentang perekonomian Bali. Bahwa perekonomian Bali pada 2021 sudah semakin membaik. Tahun sebelumnya minus 2,91%, tetapi pada 2021 telah mengalami plus 0,51%. Namun sayangnya, saya juga mencatat bahwa bersamaan dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi Bali, ternyata tingkat kemiskinan penduduk Bali malah memburuk, artinya jumlah orang miskin di Bali bertambah (meningkat). Pada tahun 2021 kemiskinan tercatat 4,72%, sedangkan pada tahun sebelumnya hanya 4,45 persen.
Ini berarti, pertumbuhan ekonomi Bali hanya dinikmati oleh para pengusaha besar (kaum kapitalis). Secara faktual, kita melihat bahwa dengan pertumbuhan kedatangan wisatawan ke Bali, ternyata mereka hanya numplek di hotel-hotel besar di Nusa Dua. Sedangkan hotel-hotel kecil bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau bahkan banyak yang gulung tikar.
Terbukti, betapa banyaknya hotel-hotel kecil (kelas melati) dan kelas sedang di Bali yang masih tutup (closed). Bahkan, hotel besar sekelas Inna Grand Bali Beach (dulu Bali Beach Hotel) terpaksa mem-PHK karyawannya. Hal itu dikarenakan hanya hotel-hotel besar yang memiliki jaringan (chain) yang kuat bisa bertahan. Mereka berjaringan dengan sesama hotel jejaringnya, dan juga mungkin pula dengan para penguasa atau pemegang kebijakan.
Saya mencatat bahwa tidak hanya kemiskinan absolut yang meningkat, tetapi juga kedalaman dan keparahan kemiskinan penduduk Bali. Pada 2021 kedalaman kemiskinan di Bali adalah 0,76%, sedangkan tahun sebelumnya hanya 0,68%. Data ini menunjukkan bahwa pengeluaran penduduk Bali rata-rata 0,76% di bawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan itu adalah Rp. 462.000/kapita/bulan.
Tercatat juga bahwa keparahan kemiskinan penduduk Bali juga meningkat. Pada 2021 keparahan kemiskinan penduduk Bali adalah 0,17, sedangkan tahun sebelumnya adalah 0,15. Hal ini menunjukkan bahwa ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin di Bali meningkat dari 0,15 menjadi 0,17. Di samping itu tercatat juga bahwa ketimpangan pendapatan penduduk Bali menurun. Pada tahun 2021 tercatat indeks gini ratio sebesar 0,375. Sebelumnya adalah 0,378. Hal ini berarti bahwa ketimpangan pendapatan penduduk Bali cenderung menurun.
Pertanyaan yang selalu menyesakkan dada adalah bagaimana dengan Nilai Tukar Petani (NTP) ? Fakta menunjukkan, ternyata NTP-nya jauh dari harapan. NTP-nya jauh lebih rendah dari NTP Nasional 104,3 sedangkan NTP di Bali justru di bawah 100, yakni 96,05. Hal ini menunjukkan bahwa profesi sebagai petani di Bali sangat merugikan. Karena penerimaannya jauh di bawah pengeluarannya. Inilah penyebab kenapa orang Bali khususnya para pemuda tak mau jadi petani.
Pada dasarnya, NTP juga menunjukan tingkat daya beli petani. Daya beli petani saat ini sangat rendah. Pantesan, para petani Bali banyak yang “ngambul”. Kalau ada orang yang mau membeli lahan sawahnya, lahan warisan leluhur itu segera saja dijual. “Dari pada terus merugi” katanya. Proyek jalan tol Gilimanuk – Mengwi (yang konon sedang proses pembebasan lahan) dengan mudah saja melenyapkan ratusan hektar sawah dan tegalan milik petani. Karena dasar petani memang sudah tak berdaya. Mereka sudah mati suri. Sudah jatuh ketimpa tangga pula. Bagaikan pohon kerakap hidup yang merayap di batu karang. Hidup segan, mati pun tak mau. Kalau mau jujur, fenomena ini akan sangat membahayakan ketahanan dan kedaulatan pangan Bali di masa depan. Saat ini gejalanya sudah mulai tampak jelas. Secara nasional, Presiden Jokowi sudah mengingatkan berkali-kali, betapa pentingnya menjaga ketahanan pangan.
Pada dasarnya, kerak kemiskinan kita adalah para petani, atau para pekerja yang berada di sektor pertanian. Bila kita ingin mengurangi kemiskinan, maka harus ada program yang strategis di sektor pertanian. Program strategis itu adalah program-program pemerintah yang langsung menyentuh kebutuhan petani kita. Misalnya, subsidi output (produksi), pengolahan produk pertanian (teknologi pasca panen), subsidi sarana produksi (saprodi), pemasaran produksi pertanian dan sejenisnya.
Berbagai wawancara yang diadakan dengan para pimpinan Subak menunjukkan, bahwa mereka sangat rindu pada program seperti itu. Mereka ingin disubsidi cukup Rp.200/kg gabah kering panen. Uang itu akan digunakan untuk biaya panen, dan yang berkaitan dengan kegiatan pertaniannya. Mereka yakin bahwa, jika pemerintah bersedia memberikan subsidi seperti itu, maka saya yakin, petani sudah sangat senang bertani. Mereka akan enggan menjual sawahnya. Selain karena takut hukum karma, menjual tanah menurut orang Hindu di Bali, sama dengan menjual “Ibu Pertiwi” yang dinilai kuwalat, kena hukum karma.
Oleh karenanya, sejatinya, pembangunan pertanian, tidak saja akan mampu mengendalikan angka kemiskinan. Tetapi juga akan lebih memeratakan pendapatan masyarakat Bali hingga ke pelosok-pelosok desa. Belum lagi berimbas pada pelestarian kebudayaan Bali dan keberlanjutan lembaga tradisional Subak yang eksistensinya diakui oleh dunia. Apalagi Subak sudah ditetapkan oleh PBB sebagai Warisan Budaya Dunia. Di sisi lain, hingga saat ini, serapan tenaga kerja yang terbanyak adalah di sektor pertanian, perdagangan dan pengolahan. Serapan tenaga kerja dari hotel dan restoran masih jauh di bawah sektor pertanian.
Oleh karenanya, sektor pertanian sebaiknya jangan dipandang sebelah mata. Data menunjukkan, jumlah penduduk Bali yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 599 ribu orang (24% dari pekerja yang bekerja di Bali). Kalau pada suatu saat mereka ini “ngambul”, resikonya akan sangat parah.
Seharusnya program pembangunan diarahkan secara maksimal untuk orang-orang miskin. Orang-orang miskin itu identik dengan petani dan buruh tani. Maka, sesuai dengan amanat UUD 1945, pembangunan jangan malah menghantam sawah-sawah milik orang-orang miskin itu. Kalau pun lahannya dianggap tidak produktif, maka harus dikembangkan program untuk membuat lahannya produktif. Bukan malahan dihantam untuk proyek-proyek infrastruktur. Bila hal ini terus-terusan dilakukan, maka orang-orang miskin di Bali akan terus bertambah miskin. Tidakkah malu, Bali sebagai daerah pariwisata yang bergelimang dolar, tapi penduduknya ternyata sangat banyak yang miskin.
Petani dan Subak memang kelompok masyarakat tidak berdaya. Sementara itu, tidak ada wakil rakyat atau aktivis yang mau bersuara keras untuk membela petani. Hampir semua di antara pejabat kita masih sangat silau dengan pembangunan untuk pencitraan, dan untuk kenikmatan orang-orang kaya, kepentingan jangka pendek (pragmatis dan aji mumpung). Yakni dengan membangun infrastruktur yang mengantam sawah petani miskin. Kapankah kira-kira para pejabat kita bersedia berpaling untuk membela petani dan/atau sektor pertanian? Atau harapan ini tinggal harapan, bagai mimpi di siang bolong ? *) Penulis, Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud dan Ketua Stispol Wira Bhakti.