DENPASAR– Ritual Tawur Agung dengan tujuan membersihkan energi negatif di kawasan Candi Prambanan yang dalam istilah Bali “nyomya buthakala”, disarankan agar dilaksanakan sesuai dengan tradisi setempat dan tidak membawa banten tradisi Bali ke Jawa sehingga tidak ada kesan “membalinisasi” Jawa. Demikian mengemuka dalam seminar nasional Literasi Candi Prambanan dengan tema : “Menelusuri Jejak Historis Candi Prambanan, Spirit Ritual Tawur Agung” di Aula Universitas Hindu Indonesia, Denpasar, Minggu, 29 Oktober 2023.

Seminar Nasional atas kerjasama PHDI Pusat, Ditjen Bimas Hindu Kemenag, UNHI Denpasar dan LKPP Peradah ini menampilkan beberapa narasumber yakni Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat); Prof. Dr. I Wayan Sukayasa, M.Si (Gurubesar UNHI); Bayu Ari Wibowo, S.S (Sastrawan dari Banyuwangi) dengan moderator I Ketut Budiasa, S.T, M.M yang juga Sekum Pengurus Harian PHDI Pusat ini dihadiri ratusan peserta dari Bali, Klaten, Jogya, Kendari, Jakarta, Banyuwangi dan beberapa daerah di luar Bali.
Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, Prof. Dr. I Nengah Duija, M.Si dalam key note speak-nya menegaskan, umat Hindu patut bersyukur karena saat ini pemerintah melalui Kementerian Agama telah mencanangkan Candi Prambanan sebagai pusat peribadatan bagi umat Hindu di Indonesia bahkan dunia. Seperti diketahui, pencanangan Candi Prambanan sebagai pusat peribadatan umat Hindu telah dituangkan dalam MoU yang ditandatangani oleh dua gubernur (Gubernur DI Yogjakarta dan Gubernur Jateng) dan empat kementerian yakni Kementerian Agama; Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Riset dan Teknologi; Kementerian BUMN dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Penandatanganan MoU itu berlangsung di Pendopo Kantor Gubernur DIY pada Tanggal 11 Pebruari 2022.

Dengan demikian, sejak saat itu, umat Hindu yang hendak melakukan perjalanan suci ke Candi Prambanan telah diberikan kemudahan-kemudahan untuk dapat mengakses candi. Menurut Dirjen I Nengah Duija, umat Hindu yang mau metirthayatra ke Candi Prambanan sudah diberi kemudahan dan bahkan disiapkan berbagai sarana dan prasarana persembahyangan termasuk canang dan segala perlengkapannya sehingga peserta dari daerah lain tidak perlu lagi membawa sarana persembahyangan.
Menurut I Ketut Puspa Adnyana, Tawur Agung (salah satu dari Panca Yajna) bertujuan untuk membangun kesejahteraan dan keharmonisan alam semesta (Buana Agung dan Buana Alit) agar terbebas dari berbagai marabahaya. Tawur itu ditujukan kepada butha (alam bawah) yang diyakini dapat memberkati kehidupan manusia agar menjadi harmonis. Tawur itu sendiri adalah proses pengembalian sari-sari alam agar tercipta keseimbangan alam. Puspa Adnyana mengurai dasar susatra Tawur yakni Lontar Sundarigama, Lontar Bhama Kertih, Lontar Roga Sangara Bumi, Lontar Tingkahing Caru dan Lontar Lelutuk Panca Yajna sedangkan Lontar Dewa Tattwa mengatur kapan caru atau Tawur dilaksanakan. Puspa Adnyana juga menyertakan acuan Pustaka Weda terkait Yajna (Widhi Drstah) termasuk perspektif budaya (Bali).

Narasumber I Wayan Sukayasa lebih banyak mengulas Tawur dari perspektif lontar Jawa Kuna dan berbagai acuan tradisi Bali. Menurutnya, manusia berkewajiban melakukan Yajna untuk membayar hutang (rna) kepada alam semesta, dan Tuhan (Hyang Widhi). “Mengapa kita beryajna karena Tuhan menciptakan alam semesta ini melalui Yajna” ujarnya. Ia menjelaskan spirit Yajna khususnya Tawur. Menurutnya, yang dipuja saat mengharturkan Tawur adalah Betari Durga, Gana, Yamadipati, Basur, Dengen, Raksasa dan lainnya. Sementara pandita yang punya wewenang muput caru adalah pandita dari mazab Waisnawa yakni Ida Rsi Bujangga Waisnawa. Narasumber Bayu Ari Wibowo menjelaskan hakikat Tawur dari tradisi Jawa. Baginya, tiada yang lebih utama dari sebuah persembahan kecuali rasa tulus ikhlas. Soal kiblat itu sepenuhnya disesuaikan dengan tradisi leluhur yang telah berlaku turun-temurun.
Dalam sesi diskusi, Gurubesar UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, Prof. Dr. I Made Surada, M.A dengan tegas menyarankan agar umat Hindu tidak membawa tradisi Bali ke Jawa. “Biarkan pelaksanaan Tawur Agung sesuai dengan tradisi setempat, jangan membawa tradisi Bali ke Jawa agar umat Hindu setempat tidak bingung dan itulah cara yang tepat untuk membangkitkan Budaya Hindu Nusantara” sarannya. Hal senada disampaikan Tokoh Hindu yang juga Ketua PHDI Provinsi Daerah Istimewa Jogyakarta, I Wayan Warta. Pihaknya telah terbiasa saling membantu setiap pelaksanaan ritual Tawur Agung antara umat Hindu Klaten dan Jogya.

Ketua Panitia Seminar Nasional, Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si dalam laporannya mengatakan, seminar nasional yang melibatkan berbagai komponen itu diharapkan mampu mengungkap ritual Tawur Agung Candi Prambanan secara riil dan detail semata-mata untuk mengangkat kembali Budaya Nusantara tanpa membalinisasi Jawa/Prambanan. “Spirit ritual Tawur Agung Candi Prambanan saatnya digali kembali untuk memperkaya khasanah budaya Nusantara bersamaan dengan bangkitnya kesadaran umat HIndu di Nusantara untuk mengenal warisan leluhurnya” ungkap Jondra.Jondra menilai, seminar nasional ini sangat penting, terbukti den gan adanya support dari beberapa lembaga seperti : Direktorat Jenderal Bimas Hindu Kementerian Agama RI; LKPP Peradah, Universitas Hindu Indonesia, PHDI Pusat; PHDI Bali dan OJK Denpasar. Seminar dihadiri Sekretaris Dharma Adhyaksa Ida Pandita Agung Siliwangi Manuaba, Ketum Pengurus Harian PHDI Pusat dan para Ketua PHDI Provinsi dan arkeolog muda HIndu dari Jogya, Nur Kotimah (ram).