Menyebut Sulinggih Seperti Drona-Bhisma
JBS Diminta Stop Provokasi dan Narasi Adu Domba

Ketua PHDI Kota Denpasar, Made Arka

DENPASAR. Narasi-narasi JBS (Jro Bauddha Suena) di akun facebooknya dalam beberapa hari ini, menyinggung-nyinggung ‘’Sulinggih Dresta Bali’’ diam tidak bersikap. JBS bahkan menyebut Sulinggih seperti Rsi Drona dan Bhagawan Bhisma dalam epos Mahabharata. Narasi JBS itu dinilai mengandung provokasi dan adu domba, mengipas-ngipasi, bukannya membuat tenteram. Disadari atau tidak, narasi JBS itu bisa  membenturkan ‘’Sulinggih Dresta Bali’’ di PHDI hasil Mahasabha XII maupun PHDI versi lain. JBS menuding para sulinggih tidak berbuat dalam menyikapi polemik penolakan terhadap sampradaya Hare Krishna, padahal, kata JBS, Sulinggihlah yang punya kewenangan untuk menyikapi polemik ini, karena PHDI adalah lembaga pandita. emikian  pengamatan Ketua PHDI Kota Denpasar, Made Arka, dan Wakil Ketua PHDI Bali Bidang Kearifan Lokal, Nyoman Iwan Pranajaya melalui siaran pers PHI Bali yang diterima redaksi media ini, Selasa (19/7/2022).

Nyoman Iwan Pranajaya

Ketua PHDI Kota Denpasar, Made Arka, didampingi Nyoman Iwan Pranajaya, tidak terima JBS menyebut Sulinggih PHDI diam seperti Drona dan Bhisma dalam itihasa Mahabharata. ‘’Narasi JBS itu tidak etis, dan terasa merendahkan beliau-beliau para Sulinggih. JBS seperti pura-pura lupa, kalau beberapa keputusan dan langkah PHDI Bali maupun PHDI Pusat, ada peran serta Sulinggih di dalamnya,’’ kata Arka  dibenarkan oleh Iwan Pranajaya.

PHDI Bali dan PHDI Kota Denpasar mengingatkan, hendaknya JBS lebih obyektif membangun narasi, dan tidak mudah memberi stigma, apalagi dengan kasar mengumpamakan Sulinggih PHDI  seperti Rsi Drona dan Bhagawan Bhisma, yang diam di arena perjudian Hastinapura, ketika Dewi Drupadi ditelanjangi Dursasana.

‘’Walaupun JBS menyebut “matur piungu”, tapi dengan memberi stempel Sulinggih-sulinggih Dresta Bali di PHDI Mahasabha XII seperti Drona dan Bhisma, itu bisa bernuansa penghinaan, yang memanas-manasi. Stigma negatif seperti itu tidak mengedukasi umat yang sedang memerlukan tuntunan, dalam situasi ketika ada gugatan oleh PHDI MLB di Pengadilan Negeri Jakarta Barat’’ kata Made Arka.

Made Arka dan Iwan Pranajaya lalu memaparkan beberapa hal yang telah dilaukan oleh para Sulinggih di PHDI, sebagai solusi atas polemik dan resistensi terhadap Hare Krishna/ISKCON. Di antaranya, pada 10 Juni 2021, Pasamuhan Paruman Pandita PHDI Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Bali, jelas-jelas merekomendasikan pencabutan pengayoman Hare Krishna/ISKCON, menolak sampradaya tersebut dikembangkan di Bali, serta merekomendasikan untuk mengajak kembali penganut Hare Krishna ke Hindu Dresta Bali.

‘’Dan tindak lanjut dari Rekomendasi Pesamuhan Paruman Pandita PHDI se-Bali itu adalah, keputusan Sabha Pandita PHDI Pusat yang memerintahkan Pengurus Harian mencabut pengayoman Hare Krishna/ISKCON pada Pesamuhan Agung Sabha Pandita (SP) PHDI Pusat, 29 Juli 2021, dan sehari kemudian Ketua Umum PHDI Pusat mencabut pengayoman Hare Krishna/ISKCON tersebut. Lalu pada  Mahasabha XII, pasal 41, pengayoman sampradaya sudah dihapus. Ini artinya, ada peran Sulinggih di situ selanjutnya melepaskan PHDI dari personil Hare Krishna/ISKCON dalam kepegurusannya,’’ lanjut Arka.

Iwan Pranajaya juga mengingatkan JBS, ‘’PHDI bukannya alergi terhadap masukan. Sulinggih-sulinggih PHDI juga tidak alergi terhadap masukan. Janganlah langsung membuat stigma, ini sulinggih seperti Drona atau Bhisma, nanti yang lain secara tidak langsung JBS sebut sebagai Korawa? Hati-hati membawa-bawa kata “puputan”. Itu bisa menghasut, memanas-manasi, dan memicu ketegangan yang lebih besar,’’ kata Iwan, sembari mengingatkan, bahwa untuk pembatasan pengembanan ajaran Hare Krishna/ISKCON, sudah ada SKB PHDI-MDA per 16 Desember 2020, lalu rekomendasi Komnas HAM tertanggal 27 Agustus 2021, yang bisa dijadikan payung untuk merangkul kembali semeton penganut sampradaya, agar kembali ke dresta warisan leluhur yang penuh keindahan, nilai-nilai dan kekuatan: Satyam, Siwam, Sundaram. Arka  secara serius meminta JBS mengembangkan narasi yang sejuk dan edukatif, karena narasi yang bernada penghinaan dan hasutan, jelas-jelas bisa mengandung unsur pidana. ‘’Kalau terus-terusan menghasut, memprovokasi, apalagi ada yang terprovokasi, jangan salahkan kalau ada yang memperkarakan secara hukum,’’ katanya (*).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email