Krishna Duta: Membicarakan Kebaikan dan Keguyuban Umat Hindu

JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat)

Oleh : JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP *)

 

Om Swastyatsu. Sembah sujud kepada para leluhur suci, Ida Bhatara, Hyang Widhi Wasa atas anugerah yang melimpah dan tak terputus. Sujud kepada para Rsi Agung, Rsi Veda Viyasa yang telah mengeja Kisah Mahabarata dalam sajak-sajak yang indah. Mohon ampunan agar tan keneng pastu lan upadrawa. Om Santih”

Bila Sang Hyang Widhi Wasa berkehendak, apa pun terjadi. Pandawa dan Kurawa dapat hidup rukun dan damai sebagai sebuah keluarga besar Kuru. Namun, Tuhanpun turun ke dunia untuk menegakkan dharma, yang menentang kebenaran dimusnahkan. Mereka yang dijalan kebenaran diberi dorongan dan anugerah. Baik dan buruk, rwa bhineda memang diciptakan. Karena beragam ciptaan-Nya, perlu keguyuban dalam Bhinneka Tunggal Ika, dalam bingkai pemahaman terhadap Tattwam Asi dan Vasudaiva kutumbhakam. Hidup berdampingan dengan damai.

Tuhan (awatara Tuhan) pun berusaha untuk mendamaikan Pandawa dan Kurawa. Berkenanlah Sri Krishna menjadi utusan (duta) Pandawa untuk membicarakan perdamaian, sebagai mediator. Misi perdamaian pun gagal. Kegagalan mencapai pedamaian itu lebih pada akibat dari para orang bijaksana seperti Rsi Bhisma, sang Pelindung Hastinapura, Rsi Dronacarya dan Rsi Kripa tidak mengambil peran sebagaimana mestinya. Sang Raja yang buta (Drestarata) pun memihak pada anaknya, yang seharusnya menerapkan prinsip-prinsip Astha Bratha. Kejahatan yang terorganisir dengan baik dan terus dipupuk dan dicarikan pendukung menjadi sebuah kekuatan besar. Terbukti, pihak Kurawa didukung oleh 12 Aksoini pasukan dan Pandawa hanya 7 Aksoini pasukan. Yang jahat mendapat pengikut yang banyak karena entertainnya mantap.

Kalau boleh berandai-andai: Rsi Bhisma bersikeras untuk mendamaikan Pandawa dan Kurawa, pastilah bisa karena beliau sangat berkharisma atau punya wibawa, pengaruh dan kekuatannya mandraguna. Namun, mereka, para orang bijak nan saleh ini “Koh Ngomong”, diam dan membiarkan Suyudana menguasai panggung. Ketika kematian Rsi Bhisma tiba, ia mendapat wejangan dari Sri Krishna bahwa Rsi Bhisma telah keliru dalam memahami kebenaran. Bhisma orang yang egois hanya mementingkan wangsa Kuru, tanpa pernah memikirkan wangsa lainnya. Bhisma kehilangan kepercayaan diri dan sangat menyesal, spiritnya jatuh kemudian memilih mati.

Lain halnya dengan pandita wira, Rsi Dronacarya, penyesalannya karena sampai akhir hayatnya ia tidak berhasil membuat anaknya, Aswatama (kelak menjadi Veda Wiyasa pada Manwantara ke-8), bahagia. Ia sadar karena mendapat pencerahan dari Sri Krishna, sang Awatara. Dronacarya tetap merasa bersalah karena keangkuhannya.  Ia mengambaikan kepentingan anaknya dan puas dengan memberikannya susu dari air tepung. Ia memilih mati.

Sri Krishna tidak ingin Mahamenteri Widura maju ke medan perang, karena ia sadar bahwa dalam 1 detik, Mahamenteri Widura dapat mengalahkan Pandawa dengan kekuatan 12 aksoini pasukannya bersama Bhisma, Dronacarya, Karna dan Kripa. Widura memiliki senjata maha dahsyat anugerah Mahadewa. Bila ia berperang, banyak sumpah yang tidak terpenuhi, misalnya: sumpah Bima membunuh 100 Kurawa, sumpah Dewi Drupadi menggunakan darah Suyudana sebagai keramas rambutnya. Untuk tujuan itu, Sri Krishna meskipun sudah disiapkan pavillion VVIP oleh Suyudana, ia memilih bersama Mahamenteri Vidura berada di luar kota di sebuah pinggiran danau yang indah. Rumah sederhana sang mahamenteri pun, ia bangun sendiri. Sri Krishna berhasil menangkap spirit Widura dan besoknya karena marah dan tersinggung pada hinaan Suyudana, ia kemudian mematahkan gandewa Mahadewa. Lalu mengundurkan diri menjadi Mahamentri Hastinapura. Tiga ganjalan memenangkan Pandawa sudah teratasi. Sri Krishna tersenyum.

Sri Krishna sebagai gurunya politik dan diplomasi, membuat Pandawa mendapat simpati karena hanya meminta lima kota, padahal Putra Mahkota saat itu adalah Yudistira. Suyudana sebagai penjelamaan Iblis Kali, menolak dan tidak memenuhi satu pun syarat perdamaian yang diajukan Pandawa. Perang pun tak terelakkan. Kemudian, kepada Suyudana,  Sri Krishna menujukkan prabawanya yang sebenarnya dengan bertriwikrama, wujud keagungan dan kemarahan serta penghancuran. Karena di dalamnya memang Iblis, Suyudana tidak bergeming dan menganggap hal itu sebagai sihir.

Sri Krishna juga mengunjungi bibinya, yaitu adik dari ayahnya: Dewi Kunti, ibu Pandawa. Dewi Kunti tampak tegar dan tidak ingin bergabung dengan anak-anaknya, karena ia adalah menantu Hastinapura sebagai anggota dari dharma negara. Sikap seorang warga negara yang paham tata negara. Kunti melihat banyak mujijat Sri Krishna dari sejak kecil sampai dewasa dan ia percaya bahwa Sri Krishna telah menjaga anak-anaknya. Namun demikian, Dewi Kunti tetap memohon kepada awatara Sri Wisnu, dewa yang bertugas memelihara, agar melindungi kelima anak-anaknya. Sri Krishna menyanggupi dan sebagai imbalan ia juga akan kehilangan seorang anaknya yang ia paling kasihi. Dewi Kunti berderai air mata dan menyetujui persyaratan itu. Hal prinsip yang bisa dipetik dari sini, “Semakin sering mengingat Tuhan semakin dalam cinta Tuhan kepada pemuja-Nya”. Dewi Kunti yang memperoleh ajian Pengarad jaran guyang dari Rsi Druwasa, memahami dan mepraktekkan dalam hidupnya. Itulah penyebab Tuhan sangat kasih kepadanya, yang membuat mereka selamat dari kebakaran rumah kardus buatan Wirocana, si manusia pemuja harta.

Dalam perjalanan kembali ke Wirata, Sri Krishna menaiki keretanya yang bernama Daruga dan ditemani kusir bernama Daruka dan juga teman kecilnya sambil  merenung di sepanjang jalan. Ia telah menyusun skenario perang Kuru di Ksetra, yang kemudian terkenal dengan perang Kuruksetra. Widura sudah tidak berdaya dan tidak lagi menjadi ancaman Pandawa. Ia mengerutkan kening, ketika teringat pada putra Gatotkaca yaitu Barbarika. Di antara seluruh pahlawan panah di dunia pada saat itu, tidak ada yang lebih mahir mandraguna daripada Barbarika, sekali pun Maharsi Rama Parasu yang mahawira. Bukanlah awatara, kalau Sri krishna tidak mendapat cara mematahkan kekuatan Barbarika, namun ciptaan-Nya harus nampak berjasa dan berguna.

Barbarika adalah cucu Bima, putra dari Gatotkaca yang menikahi Muru putri dari raja Yadawa, masih kerabat Sri Krishna. Barbarika mempunyai darah ksatrya perkasa dan juga raja daitya Dimba yang sangat sakti mandraguna. Wangsa Daitya sangat konsisten pada kata-katanya dan taat pada gurunya. Dewi Muru yang juga dikenal dengan nama Dewi Ahilawati memberitahu anaknya bahwa gurunya adalah Sri Krishna yang juga kerabatnya sebagai satu klan Yadava yang serumpun dengan Klan Wrisni. Seorang murid harus tunduk dan taat pada guru. “Tidak ada kebahagiaan yang lebih utama daripada memenuhi permintaan seorang guru”. Begitu nasihat Dewi Ahilawati kepada anaknya, Barbarika.

Sri Krishna tersenyum mengingat semua itu. Lalu ia membelokkan keretanya menuju ke Barbarika. Barbarika tidak boleh ikut perang. Bila Barbarika ikut berperang, maka hanya dalam waktu 30 detik, seluruh tentara dan pahlawan yang berperang akan musnah, bukan saja pihak Pandawa juga pihak Kurawa, sehingga yang hidup tinggal Barbarika. Mengingat ketaatan wangsa Daitya yang sangat tinggi, Sri Krishna memanfaatkan keunggulan ini. Barbarika sujud di hadapan gurunya dan menerima titah Sri Krishna. Mereka duduk dan berdiskusi tentang ilmu perang, kehidupan, kemuliaan, kesetiaan, kejujuran dan kesejahteraan manusia pun pengorbanan serta makna dari guru-sisya parampara. Krishna menjelaskan akan ada perang besar Pandawa dan Kurawa yang tidak terelakkan. Barbarika menjawab bahwa dalam perang nanti, ia akan berpihak pada yang lemah, bukan Pandawa atau Kurawa. Sri Krishna berulang bertanya kemana Barbarika akan memihak dalam perang besar ini, jawabannya tetap konsisten: kepada yang lemah. Wangsa Daitya tidak mengingkari janji dan terbukti setia, teguh pada tugasnya.

Siapa gurumu?, tanya Sri krishna. Barbarika sambil bersujud menyatakan Sri Krishna adalah gurunya. Apa tugas seorang murid? Menyenangkan guru dan memenuhi semua perintahnya. Lalu, Sri Krishna meminta Barbarika menunjukkan kemahirannya memainkan panah dan berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perang Kuru. Barbarika menjawab : 30 detik dan memperagakan panahnya. Setelah menyaksikan panah Barbarika, Sri Krishna bertanya: apa yang kamu inginkan? Mencapai Waikunta dan melihat perang Kuru. Dengan demikian aku mengabulkannya, kata Sri Krishna. Sebagai daksina guru, persembahkanlah kepalamu. Barbarika memotong lehernya dengan panah sakti itu. Dalam sekejap mata kepala Barbarika terpisah dengan badannya, lalu dengan tangannya, ia menyerahkan kepalanya itu. Sri Krishna meletakkan  kepala itu dengan sebuah tombak sebagai penyangganya dan dari tempat itu Barbarika dapat melihat perang Kuru. Setelah memberikan restu, Sri Krishna meninggalkan Barbarika.

Apa Manfaat Krishna Duta bagi Lembaga Umat Hindu ?

Berdasarkan kisah Krishna Duta, umat Hindu dapat memahami makna kemuliaan, kekuatan, pengabdian, kesetiaan, pengorbanan, kejujuran dan tentu pelayanan untuk saling memartabatkan satu sama lain. Bila pada jaman Sri Rama, sifat itu dimiliki oleh seorang Sri Hanuman yang gagah perkasa. Pada masa Sri Krishna sifat-sifat itu tersebar pada beberapa manusia gagah perkasa.  Begitulah kehidupan, setiap saat siap berkorban dan siap juga setia serta jujur. Kisah ini dapat menginspirasi upaya untuk mencapai keguyuban Hindu Indonesia, dengan mengajak semua pihak untuk menyadari pentingnya kesetiaan, kejujuran dan pengorbanan. Siapa pun sejak dahulu, awal bedirinya lembaga Hindu yang dikenal dengan Parisada didasari oleh pemahaman mengenai kemuliaan, kesetiaan, kejujuran dan pengorbanan dengan mengendalikan ego dan menjauhkan kepentingan pribadi.

Seperti halnya kisah Krishna Duta, harus ada mediator agar keguyuban dapat terbentuk dan bersedia saling setia dan memaafkan, bukannya menonjolkan keangkuhan sebagaimana Suyudana. Perdamaian tidak akan pernah selesai di meja hijau, namun mediasi yang diselesaikan dengan hati dan rasa kebersamaan dalam keluarga besar Hindu untuk mencapai tujuan Hindu Raya Masa Depan, jauh lebih berharga sekaligus bermartabat dan terhormat. Sejak dua setengah tahun berlalu,  belum ada upaya mediasi dan komunikasi kecuali di meja hijau. Belum terlambat untuk membangun keguyuban bersama. Rahayu (Kdi,22112023:14.47, *Penulis adalah Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat)

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email