Leluhur dan Keturunannya
Lahir untuk Merencanakan Kelahiran Kembali

JMA Ketut Puspa Adnyana

Oleh : JMA Dr. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP *)

“Om Swastyastu. Om Awignam Astu Nama Siddham. Sembah Sujud kepada Yang Maha Terang, Ida Bhatara-Bhatari, Leluhur dan Pandita Suci sumber kebenaran. Hamba mohon waranugrraha rahayu lan rahajeng serta mohon ampunan telah menarasikan lagi Ajaran-Nya yang sangat mulia. Om Siddhirastu Astu Tad Astu Swaha”

Ada dua kata yang menimbulkan perbedaan persepsi mendalam. Natal dan Mortal. Natal berhubungan dengan kelahiran yang menimbulkan persepsi menyenangkan dalam suasana suka cita, riang gembira. Mortal terkait dengan kematian yang menimbulkan persespi kesedihan dan duka mendalam. Hindu mengenal Rwabhinneda: perbedaan dan kesamaan selalu dalam sebuah ruang yang sama. Nilai uang dan lambang uang merupakan sebuah kesatuan yang menyebabkan kertas atau logam itu berharga. Rasa duka dan suka merupakan satu-kesatuan. Lahir dan mati merupakan pasangan yang tidak terpisah. Mereka yang berhasil menyadari hal ini  adalah mereka yang bisa membangun keseimbangan di alam kehidupannya.  Kelahiran dan kematian  (natal dan mortal) adalah sebuah kepastian.

Leluhur Manusia

Leluhur manusia dalam masa kalpa ini adalah manusia pertama yang diciptakan oleh Brahman, entitas Yang Mada Ada yaitu Manu atau disebut juga Rsi Sayambumanu. Beliau mengadakan dirinya sendiri yang kemudian menikahi Dewi Starupa, yang kecantikannya tiada tara. Di antara semua keturunan Manu yang terkenal adalah Daksa atau Prajapati Daksa. Prajapati Daksa memerintah Bumi.

Tuhan Brahman juga menciptakan 7 Maharsi utama yang menjadi leluhur semua makhluk selain manusia. Salah satunya adalah Maharsi Kasyapa yang Agung.  Prajapati Daksa memiliki 70 putri, 12 diantaranya menjadi istri Maharsi Kasyapa. Keduabelas istri Maharasi Kasyapa melahirkan dan mengembangkan keturunan-keturunan yang utama (di jalan dharma) dan keturunan-keturunan yang berkebalikan yaitu di jalan Adharma. Kedua ciptaan ini bersifat saling melengkapi: Rwabhinneda.

12 Istri Maharsi Kasyapa

Atas lila-Nya, Maharsi Kasyapa menjadi menantu Prajapati Daksa dengan menikahi 12 dari 70 orang putrinya (beberapa nama putri-putri Prajapati Daksa berbeda sebagaimana disebutkan di dalam Adiparwa/Itihasa dan Mahapurana, namun ini akan menjadi jelas bila 18 Mahapurana sudah dipelajari). Hubungan suami-istri antara Maharsi Kasyapa dengan 12 istrinya tersebut melahirkan keturunan semua makhluk yang ada di bumi ini. Berikut ini adalah duabelas putri Prajapati Daksa dan keturunannya:

  1. Dewi Aditi menurunkan bangsa-bangsa Aditya,
  2. Dewi Diti menurunkan bangsa-bangsa Detya,
  3. Dewi Danu menurunkan bangsa-bangsa Danawa,
  4. Dewi Aristi menurunkan para bidadari kahyangan,
  5. Dewi Anasuya menurunkan bangsa-bangsa para Yaksa,
  6. Dewi Kusa menurunkan bangsa-bangsa para Raksasa,
  7. Dewi Tamra menurunkan bangsa tumbuhan/pepohonan,
  8. Dewi Mregi menurunkan bangsa-bangsa gana, bhuta dan kumbanda putana,
  9. Dewi Krodawasa menurunkan 10 orang putri di antaranya Sarama yang menurunkan bangsa hewan dan binatang,
  10. Dewi Ira menurunkan bangsa gajah di antaranya Gajah Airawana,
  11. Dewi Winata menurunkan bangsa burung di antara Aruna dan Garuda, dan
  12. Dewi Kadru menurunkan bangsa naga dan ular.

Di antara semua makhluk penghuni alam  semesta raya  ini,  manusia yang merupakan keturunan Sri Manu dikisahkan memiliki Jnanam (Wiwekajnanam) yang paling sempurna karena hanya manusia memiliki  pikiran, manas, bhudi dan tubuhnya yang terdiri atas Panca Maya Kosa dan Tri angga (ada menyebutkan Panca Angga, ini perlu didiskusikan kembali). Karena itu,  manusialah yang paling perlu dikendalikan sikap dan prilakunya. Karena kecerdasannya, manusia dapat mencapai kesadaran tertinggi dan menyatu dengan penciptanya (Brahman) yang disebut Mokhsah. Seluruh keturunan Maharsi Kasyapa (selain manusia) sangatlah tergantung dari sikap dan prilaku manusia. Manusia dapat memanfaatkan semuanya untuk kepentingan memuliakan alam raya (karena itu sebenarnya manusia yang sesat ke jalan adharma lebih berbahaya daripada ciptaan lainnya). Di dalam beberapa susastra disebutkan, semua ciptaan harus melewati kehidupan sebagai manusia terlebih dahulu agar bisa mencapai kesempurnaan.

Dalam Rgweda disebutkan,  kekuatan para Dewa (kecuali Tri Murti, Brahma Wisnu, Siwa) menjadi berkurang dan melemah bila manusia tidak melakukan pemujaan kepaa para Dewa. Dalam ajaran Veda tidak ditemukan konsepsi Tri Hita Karana, namun dasar-dasarnya ditetapkan bahwa manusia perlu saling terkoneksi dengan para Dewa, manusia perlu menjaga hubungan antarasesama dan tugas manusia untuk menjaga lingkungan, karena hanya manusia yang (karena kelebihannya) justru suka merusak lingkungannya.

Pada masa Kaliyuga Manwantara ke-7 ini, modal dasar dan potensi manusia terus menurun karena kehendak semesta, dan terus merosot sampai Manwantara ke-14 dan kemudian dilebur kembali pada momen tertentu setelah mencapai 1 Kalpa, 100 hari Brahma yang disebut Mahapralaya.

Siapakah Kita (Manusia) ?

Manusia adalah keturunan Rsi Manu, karena menyadari bahwa keturunannya dapat sangat berdampak terhadap alam raya, diciptakannlah Pedoman Hindup/Kompedium Hukum Hindu, yaitu pedmoman hidup dalam masyarakat yang disebut “Manawa Dharma Sastra”. Sementara ini, belum ditemukan adanya pakem tata cara/pedoman  bagi kehidupan para Dewa, Detya, Danawa, Yaksa, Raksasa, tumbuhan dan binatang lainnya. Mereka hidup apa adanya sesuai dengan karakternya yang paten dan permanen. Sementara, karakter manusia dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan kekuatan wiwekajnanam (para Rohaniwan sebelah mengatakan : “Setan pun sekarang sudah takut pada manusia”). Indonesia terdiri atas 17 ribu pulau dan ratusan ribu suku bangsa, sesuai dengan konsepsi leluhur, sesungguhnya manusia berasal dari sumber yang satu sehinga ada filosofi :Vasudhewa Kuthumbakham” (kita semua bersaudara). Khusus untuk di Bali, terdapat 29 klan (soroh) yang sampai saat ini masih dapat hidup berdampingan hidup rukun dan damai dan bersama-sama memperjuangkan keutamaan Hindu.

Ke mana Ciptaan lain ?

Dalam kehidupan sekarang, kita masih melihat pepohonan, binatang dan hewan-hewan, namun tidak melihat adanya bangsa Yaksa, Danawa, Raksasa, Detya, Dewa dan Bidadari, Apsara Apsari, Kinara-Kinari. Mereka adalah makhluk-makhluk  gaib. Bila manusia mencapai kesadaran tertentu, maka manusia bukan saja dapat melihat makhluk-makhluk gaib itu, tetapi juga dapat bergaul dalam membangun harmoni untuk membangun kesukerthan jagat. Makhluk-makhluk gaib ini sangat mempengaruhi manusia. Manusia percaya adanya para Dewa, para Buta. Karenanya, manusia melaksanakan persembahan dan pemujaan serta korban caru. Akhirnya, naga-naganya alam raya sangat tergantung pada sikap dan karakter manusia untuk mencapai harmonis (Sukertaning Jagat).

Karena itulah, percaya atau tidak, manusia sangat perlu dikendalikan agar tidak merusak alam lingkungannya. (Sumber : Maha Purana, Itihasa, Bhagawad Gita, Upanisad, Catur Veda: 31012021:6:10) *)Penulis adalah Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat Periode 2021-2026. 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email