Oleh: Chusmeru
Dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP
Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah
FENOMENA pamer kemewahan (flexing) marak di media sosial. Ada yang pamer rumah, mobil, dan perhiasan. Begitulah perilaku sebagian orang Indonesia saat ini. Ketika sedang senang, orang mengalami euforia. Saat sedih atau mengalami musibah orang juga bersikap fatalis. Mereka yang terhimpit ekonomi dan miskin menunjukkan sikap fatalis dengan cara berhutang atau memilih jalan pintas mencuri. Bahkan yang lebih fatal, orang bisa saling bunuh atau bunuh diri karena faktor kemiskinan.
Pamer bukan hanya dalam urusan harta kekayaan. Banyak orang merasa ingin ganteng dan cantik seperti artis idola mereka. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari operasi wajah bagi yang berduit hingga memoles wajah agar tampak ganteng dan cantik melalui aplikasi media sosial. Setelah itu mereka pun pamer wajah di jagat maya.
Apa yang dilakukan orang dengan flexing menggambarkan lemahnya pandangan orang tentang keberadaan orang lain dan adanya perubahan. Semua yang mereka miliki dianggapnya akan abadi. Mereka tidak menyadari, bahwa yang abadi adalah perubahan. Hidup ini seperti cakra manggilingan yang selalu berputar. Kadang di atas, kadang di bawah.
Filosofi cakra manggilingan dikenal masyarakat Jawa sebagai gambaran kehidupan seperti layaknya roda yang selalu berputar. Filosofi ini juga menggambarkan tiga dimensi alam kehidupan manusia, yaitu alam purwo atau wiwitan, alam madyo, dan alam wasono.
Alam purwo atau alam wiwitan adalah alam kehidupan awal manusia saat lahir. Manusia dalam kondisi polos, tidak memiliki apa pun. Demikianlah awal mula manusia. Orang mungkin tak memiliki harta dan kekayaan melimpah. Semua serba apa adanya.
Tahap berikutnya adalah alam madyo, kehidupan kekinian. Perubahan kehidupan manusia banyak terjadi. Dahulu miskin, kini bisa jadi kaya. Dulu rakyat jelata, sekarang menjadi penguasa.
Dimensi kehidupan ketiga adalah alam wasono, alam akhir atau alam penghabisan. Orang berada di titik kulminasi menuju alam keabadian, yaitu kematian. Harta dan kekayaan yang melimpah ia tinggalkan. Kekuasaan yang ia miliki tak lagi bisa digenggam.
Begitulah siklus cakra manggilingan kehidupan manusia. Selama masih hidup di alam madyo, alam kekinian, maka tak pernah ada yang abadi. Oleh karenanya, perilaku pamer harta dan kekuasaan sesungguhnya mengabaikan alam wasono; alam kehidupan berikutnya, yaitu kematian.
Perlu disadari, bahwa yang kaya raya bisa tiba-tiba jatuh miskin; atau sebaliknya. Tiap orang yang riang gembira ada kalanya bersedih. Mereka yang berkuasa akan tergantikan penguasa berikutnya. Bagi yang memiliki wajah ganteng dan cantik, pada saatnya nanti juga akan kusut keriput dimakan usia. Semua berputar bagaikan cakra.
Aji Mumpung
Secara sosial, pamer atau flexing berkaitan dengan aji mumpung dan superioritas seseorang. Mumpung kaya, orang berperilaku konsumtif. Semua barang yang dibeli bukanlah apa yang diperlukan, tetapi apa yang diinginkan. Tidak cukup hanya dengan itu, semua harta dan kekayaannya dipamerkan di media sosial, tanpa merasa bersalah bahwa yang ia lakukan dapat menyakiti hati orang yang tak berpunya.
Perilaku pamer sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Para istri pengusaha, pejabat, dan artis saling pamer pakaian, perhiasan, maupun kendaraan. Dahulu pamer dilakukan dalam kegiatan sosial seperti arisan, pesta, dan resepsi. Sekarang pamer dipertontonkan di media sosial, yang juga ruang publik, sehingga dapat disaksikan orang lain secara masif.
Orang yang berkuasa juga dapat berperilaku aji mumpung dengan kekuasaannya. Mumpung berkuasa, seseorang dapat eksploitatif, menindas, atau berbuat zalim kepada orang lain. Kekuasaan yang dimilikinya dimanfaatkan untuk meraup dan menumpuk harta dengan cara korupsi memperkaya diri.
Mereka yang menggunakan kekuasaan untuk korupsi sedikit pun tidak pernah merasa bersalah. Bahkan ketika rakyat hidup dalam penderitaan akibat kemiskinan, oknum penguasa yang korup itu tak pernah merasa bersalah. Begitu pun saat korupsinya terbongkar dan oknum itu ditahan, dia tetap tidak merasa bersalah. Lihat perilakunya cengar-cengir saat disorot kamera TV.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi dengan bangsa ini? Meskipun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memenjarakan oknum pejabat yang korup, namun perilaku korupsi tetap saja ada. Nyaris tidak dijumpai pejabat yang menyesali tindak korupsinya. Bahkan mantan terpidana korupsi yang telah bebas, suatu ketika kembali ditangkap KPK karena kasus korupsi juga.
Mungkin saja ada yang salah pada masyarakat Indonesia. Orientasi pada rasa malu (shamefully feeling) lebih kuat dibandingkan dengan rasa bersalah (guilty feeling). Orang merasa malu, jika dirinya dianggap miskin. Seorang istri pejabat akan merasa malu, jika mengahadiri satu acara tanpa menggunakan pakaian atau perhiasan yang bermerek dan mahal. Namun, orang tak pernah merasa bersalah ketika menggelapkan uang negara untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Rasa malu untuk sebuah penampilan mengalahkan rasa bersalah untuk satu tindak kejahatan.
Eling Dumadi
Masyarakat Jawa memiliki pepatah yang juga dijadikan filosofi dalam kehidupan, yaitu urip mung mampir ngombe. Hidup itu ibarat orang yang hanya singgah untuk minum. Hanya sebentar. Oleh karenanya hidup ini mesti penuh makna.
Meski demikian, filosofi urip mung mampir ngombe ini diterjemahkan secara berbeda oleh masing-masing orang. Ada yang mengartikan sebagai hidup yang sejenak, sehingga harus diisi dengan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ada pula yang memaknai sebagai hidup yang sebentar dan perlu dinikmati dengan senang hati. Jika ada kesempatan mendapat jabatan dan kekayaan, harus dimanfaatkan untuk kesenangan diri dan keluarga.
Memanfaatkan waktu yang tidak lama dalam hidup ini sangat bergantung pada kesadaran orang tentang hakikat eling marang dumadi, yaitu selalu ingat pada proses terjadinya segala sesuatu. Hidup ini selalu ada sebab-musabab, ada awal, tengah dan akhir. Dumadi adalah proses mengada, proses menjadi.
Menjadi manusia yang sadar akan makna kehidupan memerlukan pemahaman tentang sangkaning dumadi, tataraning dumadi, dan paraning dumadi. Ketiga hal itu seringkali menjadi filosofi dan pedoman hidup masyarakat Jawa di masa lalu.
Semua yang berkaitan dengan ekistensi awal sesuatu adalah sangkaning dumadi. Dalam perspektif lebih luas, sangkaning dumadi dapat digunakan untuk menelisik asal-muasal harta, kekayaan, maupun jabatan seseorang. Dari mana seseorang mendapatkan harta, kekayaan, maupun jabatan?. Apakah dari hasil kerja keras yang panjang, sehingga ia layak mendapatkan semua itu? Ataukah dari hasil korupsi, kolusi, dan nepotisme?
Pertanyaan-pertanyaan itu penting untuk mengetahui posisi moralitas dan kemanusiaan seseorang berkaitan dengan apa yang dimiliki. Tentunya sangat disayangkan, jika seseorang pamer harta dan kekayaan di media sosial, namun ternyata semua itu hasil korupsi. Moralitas perilakunya tidak sepadan dengan gaya hidupnya yang flexing.
Tataraning dumadi berkaitan dengan martabat seseorang dalam kehidupannya. Jabatan atau kekuasaan yang dimiliki seseorang seyogyanya dapat mengangkat harkat dan martabatnya. Namun tidak jarang, dengan kekuasaan yang dimiliki orang justru bertindak semena-mena kepada orang lain. Begitu pun harta dan kekayaan yang dimiliki semestinya dapat menjaga martabatnya. Pamer harta dan kekayaan di media sosial bukanlah contoh perilaku yang menjunjung tinggi martabat, sementara banyak orang yang hidup dalam himpitan kesulitan ekonomi. Apalagi harta dan kekayaan itu diperolehnya dari cara-cara yang tidak bermartabat.
Akan seperti apa harta, kekayaan, dan jabatan orang di kemudian hari merupakan pertanyaan dari paraning dumadi. Konsepsi ini lebih bersifat futuristik. Artinya, orang diajak untuk berpikir jauh ke depan tentang apa yang kini dimiliki. Apakah jabatan yang ia emban akan membawa kebaikan bagi orang banyak. Apakah harta dan kekayaan yang ia miliki tidak membuatnya semakin rakus untuk menimbun lebih banyak lagi.
Paraning dumadi menjadi titik kulminasi bagi seseorang. Juga menjadi batu ujian apakah orang akan eling marang dumadi, ataukah justru menjadi orang yang lupa daratan. Ada baiknya disimak syair Serat Kalatidha, karya pujangga besar Keraton Suarakarta, Raden Ngabehi Ranggawarsita:
“Amenangi jaman edan, Ewuh aya ing pambudi, Melu edan nora tahan, Yen tan melu anglakoni, Boya kaduman melik, Kaliren wekasanipun, Ndilalah karsa Allah, Begja-begjane kang lali, Luwih begja kang eling lawan waspada”
Artinya: “Hidup di zaman yang penuh kegilaan. Serba sulit dan repot dalam bertindak. Ikut gila tidak tahan. Kalau tidak ikut melakukan, tidak kebagian harta kekayaan. Kelaparan pada akhirnya. Namun sudah menjadi kehendak Tuhan. Sebahagia-bahagianya orang yang lupa diri, masih bahagia orang yang ingat, sadar, dan waspada”.
Semoga semua orang selalu eling, ingat, dan tidak hanyut dalam kegilaan zaman.
***