Oleh : Drs. Chusmeru, M.Si *)
Indonesia merupakan negara dengan latar belakang suku, agama, dan budaya yang sangat beragam. Keberagaman ini adalah potensi bagi bangsa dan negara untuk membangun kesatuan dan persatuan atas dasar perbedaan. Di sisi lain, keberagaman juga dapat menjadi potensi konflik yang mengancam bangsa dan negara. Oleh sebab itu, diperlukan kesadaran bersama seluruh elemen bangsa untuk membangun harmoni di tengah keberagaman.
Membangun harmoni di atas perbedaan etnis, budaya, dan agama tidak semudah membalik telapak tangan. Banyak faktor yang menjadi kendala bagi terciptanya harmonisasi dalam keberagaman. Etnosentrisme menjadi salah satu faktor yang menghambat komunikasi antarbudaya dan keharmonisan. Etnosentrisme adalah sikap, cara pandang dan perilaku yang menganggap bahwa hanya nilai, norma, kepercayaan, dan budaya sendiri yang paling baik dan paling benar. Sedangkan budaya orang lain dianggap buruk dan salah. Sikap semacam ini tentu saja akan menghambat proses komunikasi antarbudaya dan harmonisasi di antara warga masyarakat.
Meski demikian, keberagaman dan perbedaan latar belakang budaya, agama, dan kepercayaan juga dapat menjadikan masyarakat saling menghormati, membangun toleransi dan harmonisasi. Hal ini dapat terlihat dalam kehidupan masyarakat Desa Banjarpanepen, Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang memiliki keragaman agama, budaya, dan kepercayaan. Sikap toleran dan kehidupan yang harmonis di desa tersebut terbangun bukan oleh otoritas kekuasaan atau tekanan satu kelompok atas kelompok lain. Harmoni yang terbentuk di Desa Banjarpanepen justru sudah terjadi puluhan tahun silam atas dasar kesadaran tentang latar historis dan kultural. Adalah Watu Jonggol, yang dipercaya masyarakat setempat sebagai petilasan Maha Patih Gajah Mada yang telah mempersatukan masayarakat di desa itu.
Sekilas Desa Banjarpanepen
Desa Banjarpanepen berada di Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Terletak di perbukitan dengan ketinggian 391 meter di atas permukaan laut, membuat desa ini terasa sejuk. Desa ini berjarak sekitar 50 km dari pusat kota Purwokerto. Jumlah penduduk desa ini mencapai 6.350 jiwa. Berdasarkan agama dan kepercayaan yang dianut, mayoritas masyarakat beragama Islam. Namun, terdapat pula penganut agama Kristen, Budha, Hindu, dan Penghayat Kepercayaan. Oleh sebab itu, selain terdapat fasilitas ibadah masjid, desa ini juga memiliki gereja, vihara, pura dan sanggar pemujaan untuk penghayat kepercayaan.
Meskipun terletak jauh dari pusat kota, namun Desa Banjarpanepen memiliki beberapa potensi wisata yang cukup banyak dikunjungi wisatawan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, Desa Banjarpanepen memiliki potensi alam, seni budaya, dan sejarah. Objek wisata alam andalan Desa Banjarpanepen adalah Kalicawang, yaitu wisata susur sungai (river tubing) dengan menikmati pemandangan perbukitan di sekitarnya. Selanjutnya adalah Taman Wisata Sentana yang menyajikan nuansa alam dan kolam renang serta kuliner khas sate bebek sepanjang setengah meter.
Naik ke bagian Utara desa, terdapat Bukit Pengaritan yang sangat menawan. Dari bukit ini dapat dilihat pemandangan kota yang ada di bawahnya. Di atas Bukit Pengaritan terdapat objek wisata sejarah dan religi Watu Jonggol, yaitu berbentuk batu besar, panjang, dan tinggi sekitar 7 meter yang posisnya miring. Masyarakat mempercayai bahwa Watu Jonggol merupakan petilasan Maha Patih Gajah Mada pada masa lalu. Tempat berdirinya Watu Jonggol berada di ketinggian, sehingga udara terasa sejuk. Watu Jonggol berdiri kokoh, menyimpan nuansa spiritual, sehingga cocok bagi yang menyukai wisata religi.
Hanya sayang, akses menuju Watu Jonggol masih belum baik. Jalan menuju Watu Jonggol masih sempit, berkelak-kelok, dan naik turun serta sulit untuk mobil berpapasan. Kendaraan bus juga sulit untuk melewati jalan tersebut, sehingga upaya menjadikan Watu Jonggol sebagai objek wisata sejarah dan religi bagi rombongan yang menggunakan kendaraan bus masih terkendala. Begitu pula dengan lahan parkir untuk kendaraan juga masih sulit. Meski demikian, Watu Jonggol sering dikunjungi pejabat di daerah maupun pusat, dan figur publik untuk melakukan meditasi dan kontemplasi diri.
Simbol Harmoni dan Kerukunan
Tidak ada catatan atau dokumen kesejarahan resmi yang menyebutkan kapan Watu Jonggol ditemukan. Namun, menurut Kepala Desa Banjarpanepen, Mujiono, Watu Jonggol memang sudah dikeramatkan sejak dahulu. Posisinya yang miring memang mengundang kekaguman, lantaran batu besar itu berdiri kokoh. Sepintas orang akan beranggapan, bahwa batu besar itu pasti akan roboh jika terjadi guncangan. Kenyataannya, hingga kini Watu Jonggol masih berdiri kokoh.
Masyarakat sekitar dan para tokoh adat di Desa Banjarpanepen mempercayai Watu Jonggol sebagai petilasan Maha Patih Gajah Mada. Begitu pula ketika mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogyakarta melakukan Kuliah Kerja Nyata di Desa Banjarpanepen menyatakan bahwa Watu Jonggol adalah situs sejarah peninggalan Maha Patih Gajah Mada. Sementara Kepala Desa Banjarpanepen menambahkan, bahwa Watu Jonggol juga merupakan petilasan Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada. Bangunan berupa pendopo berdiri di luar area Watu Jonggol biasa digunakan untuk ritual masyarakat desa dan dapat dimanfaatkan oleh rombongan yang ingin beristirahat saat semedi di malam hari.
Tokoh Kejawen yang juga Dukun Kesenian Ebeg (Kuda Lumping), Sakin mengatakan, seorang biksu dari Tibet pernah mengunjungi Watu Jonggol untuk bermeditasi. Begitu pula beberapa rombongan dari kerabat Keraton Yogyakarta juga pernah mengunjungi Watu Jonggol. Kepala Desa Banjarpanepen, Mujiono juga mengatakan beberapa mahasiswa dan dosen dari berbagai perguruan tinggi pernah datang untuk meneliti dan mempelajari Watu Jonggol dan kehidupan toleransi di desanya. Hal yang perlu diperhatikan ke depan adalah menjaga area Watu Jonggol agar tetap sakral dan tidak terjadi tindakan perusakan, mengotori, maupun corat-coret di Watu Jonggol.
Nuansa magis dan mistis menyelimuti lingkungan Watu Jonggol. Sebelum sampai ke area Watu Jonggol, di dekat pelataran terdapat Pepunden (tempat keramat) yang dipercaya oleh masyarakat sebagai “penjaga” atau “pengawal” Mbah Jonggol. Beberapa mitos juga berkembang berkaitan dengan Watu Jonggol. Mitos tersebut muncul berdasarkan kejadian-kejadian yang dialami masyarakat. Menurut penuturan Kepala Desa, pengunjung di Watu Jonggol tidak boleh memetik ranting pohon di area itu. Pernah terjadi, warga yang jatuh sakit setelah memetik ranting pohon di Watu Jonggol. Begitu juga warga yang mendapat musibah karena berkata jorok dan bercanda dengan sikap tidak sopan di Watu Jonggol.
Mitos dan kejadian tersebut sebenarnya bukan hanya dapat dimaknai secara mistis saja. Pantangan memetik ranting pohon serta larangan berkata jorok dan bercanda tidak sopan di Watu Jonggol juga dapat dimaknai sebagai kearifan lokal masyarakat Desa Banjarpanepen untuk menjaga kelestarian lingkungan dan membiasakan diri untuk berbicara yang baik dan berperilaku sopan.
Watu Jonggol bukan hanya dipercaya sebagai petilasan Maha Patih Gajah Mada, tetapi juga dimaknai masyarakat sebagai simbol kerukunan antarumat beragama di Desa Banjarpanepen. Secara demografis, penduduk di Desa Banjarpanepen memiliki keberagaman agama dan kepercayaan, yaitu Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Penghayat Kepercayaan. Bahkan dalam satu keluarga bisa terdiri dari anggota keluarga yang berbeda agama. Perbedaan agama tersebut sejak dahulu hingga sekarang tidak pernah menimbulkan masalah dan tetap harmonis. Masyarakat dan perangkat desa mengelola perbedaan itu dengan baik, sehingga toleransi dan harmonisasi terbentuk. Atas keberhasilan mengelola perbedaan itu, Desa Banjarpanepen ditetapkan oleh pemerintah sebagai Desa Percontohan Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia.
Kegiatan yang mencerminkan kerukunan dan toleransi itu misalnya, dalam tradisi Nyadran menjelang bulan suci ramadhan bagi umat Islam dan tradisi Suran menyambut tahun baru dalam kalender Jawa. Pada saat kedua kegiatan tersebut dilaksanakan di Watu Jonggol semua warga dari berbagai agama hadir, termasuk para tokoh adat dan tokoh agama Islam. Bahkan Bupati dan anggota DPRD Kabupaten Banyumas juga sempat menghadiri tradisi Nyadran dan Suran. Kedua tradisi itu juga dilengkapi dengan sajian Takiran (sejenis tumpeng nasi dan lauk pauk). Semua peserta ritual tradisi tersebut menikmati Takiran, sebagai simbol bersatunya warga tanpa membedakan suku, agama, status sosial, kaya dan miskin.
Kerukunan dan harmoni kehidupan di Desa Banjarpanepen juga tampak pada saat masing-masing umat beragama merayakan hari besar keagamaan mereka. Ketika umat Islam melaksanakan sholat Idul Fitri, maka warga dari agama Kristen, Budha dan Hindu ikut menjaga kelancaran sholat. Begitu pula ketika umat Kristen merayakan Natal di Gereja, umat Islam, Budha dan Hindu ikut membantu persiapan dan menjaga keamanan gereja. Sisi lain yang menarik, terdapat salah satu mushola tempat umat Islam menjalankan ibadahnya dibuat atas gotong royong warga yang beragama Budha. Untuk membangun kerukunan, perangkat desa Banjarpanepen juga terdiri dari beragam umat beragama di desa itu.
Kepala Desa Banjarpanepen selalu berupaya menjaga kepercayaan, adat dan tradisi masing-masing agama. Tidak heran jika Mujiono telah menjabat sebagai Kepala Desa Banjarpanepen selama tiga periode berturut-turut. Salah satu tradisi yang terus dipertahankan selain di Watu Jonggol adalah tradisi Limolasan atau Limabelasan dan Purnaman yang dilaksanakan di Sungai Kalicawang. Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang bulan suci ramadhan bagi umat Islam. Kegiatan diawali dengan berendam di Sungai Kalicawang yang dilaksanakan pada tengah malam pukul 24.00 sampai selesai. Acara dilanjutkan dengan meditasi dan berdoa sambil berendam. Menurut Kepala Desa, ritual berendam di sungai pada malam hari bertujuan agar masyarakat lebih tenang dan konsentrasi dalam memanjatkan doa kepada Tuhan.
Saat yang dipilih menjalankan tradisi tersebut adalah tanggal 15 kalender Jawa atau saat bulan purnama. Oleh sebab itu tradisi ini disebut Purnaman. Ritual ini hampir sama dengan yang dilakukan umat Hindu di Bali dalam persembahyangan bulan Purnama. Uniknya, tradisi ini juga diikuti oleh penganut agama Kristen, Budha, Hindu dan Penghayat Kepercayaan. Konsep dalam tradisi Limabelasan atau Purnaman ini adalah memohon doa kepada Tuhan agar seluruh warga Desa Banjarpanepen selalu dalam lindungan Tuhan. Tradisi ini juga telah berhasil menjadi media toleransi dan harmonisasi warga Desa Banjarpanepen.
Keberagaman agama, suku, dan budaya adalah satu kenyataan di Indonesia. Keharmonisan dalam keberagaman adalah sebuah tantangan yang tidak mustahil untuk diciptakan. Dan, Desa Banjarpanepen telah mewujudkan keharmonisan itu melalui simbol petilasan yang bernilai sejarah dan budaya adiluhung. *) Chusmeru adalah Staf Pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.