Oleh : Drs. Chusmeru, M.Si *)
Indonesia dikaruniai beragam suku, ras, budaya, agama, adat, dan tradisi yang beraneka ragam. Potret keberagaman itu menujukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk yang tentu saja menjujung tinggi perbedaan. Namun ada kalanya kemajemukan itu bukan dimaknai sebagai pemersatu bangsa. Keberagaman justru kerap menimbulkan ketegangan dan pertentangan dalam hubungan antara satu kelompok anak bangsa dengan lainnya. Perbedaan bukan dianggap sebagai modal pemersatu, namun dijadikan ajang pertikaian untuk berbagai kepentingan ekonomi maupun politik.
Berbagai upaya telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, agar keberagaman itu bisa dirajut menjadi bangunan kerukunan bangsa. Akan tetapi realitas kehidupan berbangsa dan bernegara tetap saja diwarnai oleh pertikaian yang bersumber dari keberagaman tersebut. Hal itu terjadi karena proses komunikasi antara beragam perbedaan itu acapkali menghadapi banyak kendala. Ketika dua atau lebih budaya yang berbeda berjumpa dalam peristiwa komunikasi, kesulitan akan muncul. Salah satunya adalah etnosentrisme yang masih kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Etnosentrisme adalah kecenderungan untuk melihat orang lain dan perilakunya berdasarkan kacamata budaya kita sendiri (Joseph A.DeVito, 1997: 477). Masyarakat cenderung mengevaluasi nilai, kepercayaan, dan perilaku dalam budaya sendiri sebagai sesuatu yang paling baik, paling logis, dan paling wajar dibanding budaya orang lain. Dalam berkomunikasi, sulit bagi masyarakat untuk menyadari bahwa kita dan orang lain berbeda tetapi setara. Pertentangan dan pertikaian dalam organisasi sosial, ekonomi, maupun politik di Indonesia masih sering diwarnai oleh sikap dan perilaku etnosentrisme ini. Dalam beberapa kasus, orang sulit menduduki jabatan sosial, ekonomi, dan politik di satu daerah, hanya karena latar belakang suku dan agamanya. Kenyataan semacam ini membuat bangsa ini sulit merajut kerukunan dan keharmonisan dalam keberagaman. Bahkan dalam satu agama pun kerap terjadi ketegangan dalam hubungan sosial hanya karena perbedaan aliran maupun mazab.
Etnosentrisme bukan hanya menimbulkan perbedaan penafsiran dan klaim kebenaran atas satu budaya saja, namun juga berakibat pada gejala “sumbu pendek” yang muncul pada kelompok masyarakat tertentu. Hanya karena pemaknaan yang berbeda terhadap satu budaya, tradisi, maupun ajaran agama, sikap emosional muncul. Orang bisa menjadi beringas dan melakukan tindak kekerasan ketika ruang budaya dan agama disentuh orang lain dengan pemaknaan yang berbeda. Padahal, setiap agama dan budaya senantiasa mengajarkan kebaikan dan mengutuk tindak kekerasan. Namun realitanya, bangsa ini kerap bersumbu pendek dalam menyikapi keberagaman.
Keberagaman juga sulit menjadi sumber kerukunan dalam mewujudkan persatuan bangsa karena orang sering berada dalam situasi ketidaksadaran (mindless) sebagai bangsa beragam. Ketidaksadaran akan membuat orang bertindak dengan asumsi yang tidak layak secara intelektual (Joseph A.DeVito, 1997: 478). Ketidaksadaran tentang kemajemukan yang ada di Tanah Air akan membuat orang melakukan tindakan yang kurang menghargai keberadaan suku, agama, dan budaya orang lain. Penolakan kehadiran orang lain yang berbeda latar belakang etnis atau agama masih mewarnai dinamika hubungan antarmanusia di Indonesia.
Ketidaksadaran juga kerap menimbulkan stigma maupun stereotip atas suku, agama, dan budaya. Apalagi bila ketidaksadaran itu ditambah dengan etnosentrisme yang kuat, maka siapa pun yang berbeda dianggap sebagai musuh. Implikasi lebih jauh, kecemburan sosial ekonomi bisa muncul yang disebabkan oleh perbedaan suku, agama, dan budaya. Keberhasilan seseorang di sektor ekonomi, misalnya, bukan dimaknai sebagai kerja kerasnya dalam berusaha, tapi dipandang sebagai orang dengan latar belakang suku, agama, dan budaya yang mendominasi sektor ekonomi.
Kecemburuan biasanya juga akan diikuti dengan kecurigaan terhadap orang yang berlatar belakang berbeda. Jika hal-hal seperti ini terus terjadi dalam interaksi antarmanusia di Indonesia, maka potensi konflik yang disebabkan oleh faktor kemajemukan dapat terjadi setiap saat. Orang selalu curiga jika ada kelompok etnis tertentu mengadakan pertemuan. Kegiatan upacara adat dan tradisi di daerah mendapat penolakan dari masyarakat. Energi bangsa ini terkuras untuk selalu curiga dan cemburu pada orang lain yang berbeda.
Solusi
Jika selama ini keberagaman menjadikan potensi pertentangan, maka diperlukan kanal dan ruang-ruang kesadaran (mindfulness) untuk membangun rumah besar Indonesia. Sebab, etnosentrisme, kecemburuan, dan kerugiaan sosial seringkali muncul pada saat orang berada dalam ketidaksadaran, berada dalam ruang tertutup bagi keberagaman, dan berada dalam lingkaran sempit interaksi antar dan lintas budaya. Ruang kesadaran itu bisa berada di kelas, ruang kuliah, seminar, maupun diskusi-diskusi akademis.
Hanya saja, ruang semacam itu tidak menjamin orang selalu berada dalam kesadaran kemajemukan ketika kembali berada dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh sebab itu, perlu implementasi ruang kesadaran secara berkesinambungan dalam kehidupan, baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan kerja. Caranya, dengan membangun rumah kecil Indonesia di setiap RT,RW, Lingkungan, Desa, serta di perkantoran. Kegiatan-kegiatan yang bercorak Indonesia, yang melibatkan orang dari latar belakang suku, agama, dan budaya berbeda dalam satu kesetaraan. Kegiatan Kemah Kebangsaan perlu sering dilakukan, di mana para pemuda atau orang-orang dari berbagai daerah dan berbagai suku, agama, dan budaya berkumpul menjadi satu warga Indonesia.
Menjadi bangsa yang menjunjung tinggi keberagaman juga memerlukan model atau panutan dari elit maupun tokoh nasional. Panutan bisa datang dari tokoh politik, pengusaha, tokoh masyarakat, maupun tokoh agama. Hal ini bisa diawali dengan seringnya rembug atau dialog nasional para tokoh yang berasal dari beragam suku, agama, dan budaya. Dengan harapan, dialog ini dapat menjadi contoh bagi diadakannya dialog serupa di tingkat daerah. Tentu saja dialog ini bukan untuk menyelesaikan satu kasus saja, tetapi secara rutin dilakukan untuk membangun kesadaran kolektif bahwa bangsa ini majemuk. Betapa sejuknya Indonesia jika para tokoh itu dapat saling duduk bersama dan saling berkunjung ke daerah lain untuk memberi panutan kepada masyarakat.
Peran keluarga juga sangat penting dalam menumbuhkan kesadaran tentang keberagaman. Sedari kecil dan dari rumah, anak diajarkan tentang perbedaan dan keberagaman teman-teman sepermainan maupun teman sekolah. Bahwa perbedaan suku, agama, dan budaya teman-temannya adalah satu keniscayaan yang patut dijunjung tinggi. Anak diajarkan untuk saling menghormati dan menghargai perbedaan latar belakang temannya. Jika sosialisasi dan internalisasi tentang keberagaman sudah tertanam sejak dari rumah, maka rumah besar Indonesia yang majemuk akan penuh dengan keharmonisan. *) Chusmeru, Staf Pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.