Oleh : Wayan Windia *)
Mengkaitkan sektor pertanian dan pariwisata bukanlah wacana baru. Hal ini sudah diwacanakan sejak sekitar 25 tahun lalu. Namun, hingga kini masih tetap sebatas wacana. Kenapa? Karena wacana itu memang belum terlaksana, belum sepenuhnya menjadi realita. Mungkin itulah sebabnya, wacana itu kembali muncul dalam diskusi yang digelar organisasi Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdarkamtibmas) Bali, tempo hari.
Fenomena ini menandakan bahwa, sebetulnya kita semua sadar bahwa pertanian dan pariwisata sangat penting dikaitkan. Tetapi tidak ada yang kuasa untuk melawan belitan kapitalisme sektor pariwisata. Kira-kira bisakah kita melekatkan pertanian dan pariwisata?
Kolega saya, Dr. Wayan P. Artini menganalisis data statistik di Biro Pusat Statistik Bali. Ia menemukan, sebetulnya kalau sektor pariwisata Bali meningkat 100 persen, maka sektor pertanian meningkat 60%. Tetapi realitanya tak demikian. Saat kondisi normal (sebelum pandemi Covid-19), pertumbuhan sektor pariwisata terus membubung tinggi, tetapi sektor pertanian terus terjun ke bawah.
Kini, peranan sektor pertanian pada PDRB Bali hanya sekitar 14 persen. Terus menurun sejak 50 tahun yang lalu. Pertanyaannya : sektor pertanian di lokasi mana yang memanfaatkan kemajuan sektor pariwisata di Bali? Logikanya, sektor pertanian di luar Bali dan Indonesia.
Gubernur Bali, Wayan Koster telah mencoba mengantisipasi fenomena ini dengan mengeluarkan Pergub. No. 99 tahun 2018 dengan mewajibkan pihak hotel, restoran, supermarket, catering, dan lain-lain untuk memanfaatkan produk pertanian lokal Bali, perikanan dan kerajinan rakyat. Tampaknya, kebijakan Koster ini juga belum berhasil dengan baik. Apalagi saat ini, ketika semua sektor ekonomi sedang ambruk dihantam wabah korona.
Suara-suara yang didengungkan oleh kalangan ahli tampaknya membangkitkan kesadaran baru bagi kalangan komunitas non-pertanian. Bahwa pertanian tidak boleh dilupakan. Para pejabat memang lebih senang mengurus sektor non pertanian. Karena yang diurus sedikit, tidak ribet, hasilnya besar dan segera dapat dinikmati publik. Tetapi yakinlah, tanpa membangun sektor pertnaian, tidak akan ada kesinambungan pembangunan ekonomi, kapan pun, di mana pun.
Kini kalangan generasi baru mulai terjun ke sektor agribisnis yakni mengurus pertanian sebagai bisnis (agribisnis). Dalam agribisnis, kita tak harus menjadi petani (bekerja di on-farm). Boleh bekerja di subsektor mana saja yang berkait sektor pertanian seperti di sektor industri hilir yakni industri yang mengolah produk sub-sektor on farm. Membangun subsektor hilir akan memberikan pengaruh positif tiga kali lipat dibandingkan kegiatan pengembangan industri hulu.
Dalam diskusi di pokdarkamtibmas Bali, muncul respon positif dari Kompol. Nyoman Suparta (perwira polisi di Polda Bali). Ia mengaku terangsang terjun untuk memajukan sektor pertanian, karena ada suara-suara kekhawatiran akan ambruknya sektor pertanian. Suparta juga melihat bahwa sangat banyak produk pertanian dari Bali (khususnya buah kelapa) yang lari ke Jawa dan diolah di sana. Lalu, ia bertanya, kenapa buah kelapa itu tidak diolah di Bali saja? Saya sangat respek karena ada perwira polisi yang mencintai pertanian.
Suparta punya usaha mengolah kelapa menjadi minyak (kelentik). Setiap hari ia membutuhkan sekitar 450 butir kelapa. Meski ada berbagai kendala, tetapi ia terus maju. Untuk usaha seperti itu, ijinkan saya menaruh respek kepada perwira polisi itu. Industri-industri hilir seperti itulah yang seharusnya di bangun, agar subsektor on farm bisa bangkit. Mungkin perlu segera dibangun industri hilir yang mengolah manggis, salak, jeruk, mangga, dan buah-buahan lainnya. Sebaiknya, industrinya skala UMKM, bumdes, bumda, subak, subak abian dan lainnya. Saya kira, para dosen di Fak. Teknologi Pertanian, Unud bisa memberikan pendampingan.
Data tahun 2020 di Bank Indonesia menunjukkan, jumlah tenaga kerja yang ditampung oleh industri pengolahan adalah nomor tiga terbesar setelah pertanian dan perdagangan. Jadi, peranan industri pengolahan cukup signifikan. Di samping itu, pertumbuhan di sektor industri hilir akan mendorong kemajuan pembangunan di sektor pertanian (on farm).
Kolega saya, Made Mendra Astawa ikut terlibat secara intensif dalam diskusi itu. Ia adalah Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata (Forkom Dewi) Provinsi Bali yang juga Sekretaris Umum Paiketan Krama Bali. Ia dengan lancar mengurai kegiatannya mengurus desa-desa wisata di Bali. Ia juga dengan lancar menjelaskan apa saja kegiatannya untuk melekatkan sektor pertanian dan pariwisata. Mungkin harapan kita yang masih tersisa adalah pada kegiatan desa wisata. Pertanian harus mendapatkan nilai tambah dari eksistensi sektor pariwisata di desa. “Pertanian harus dilekatkan dengan pariwisata” katanya.
Tetapi hal itu tidaklah mudah. Beberapa riset yang dilakukan mahasiswa Fak. Pertanian Unud mencatat bahwa, harapan itu tak mudah diwujudkan. Masih perlu kerja keras. Mengapa ? Karena sektor pertanian menganggap sektor pariwisata sudah kaya, dan patut “memberi” kepada sektor pertanian yang digunakan sebagai obyek. Sedangkan sektor pariwisata masih menganggap dirinya miskin, dan tidak bisa “memberi” sesuatu yang diminta oleh sektor pertanian.
Apa pun yang terjadi, saya tetap respek dengan berbagai usaha yang dilakukan oleh Made Mendra Astawa dengan desa wisatanya. Paling tidak, ada kesadaran baru bahwa sektor pertanian yang miskin ini, tidak sekadar menghasilkan bahan makanan. Sektor pertanian ini sejatinya adalah pondasi untuk “memelihara” dan menopang kebudayaan Bali. Kebudayaan adalah basis dari kegiatan ekonomi Bali. Tanpa kebudayaan Bali, ekonomi Bali akan ambruk. *) Penulis, Guru Besar Fak. Pertanian Unud dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar.