Oleh : Wayan Windia *)
Pada bulan Juni setiap tahun, kita harus mengenang kelahiran Dasar Negara Pancasila. Dalam suatu diskusi, saya mendengarkan perdebatan antara Jenderal TB Simatupang, dengan Menag Prof. Mukti Ali. Entah apa yang terjadi, Jenderal Simatupang bersuara keras. “Saudara Menteri Agama, memang, Pancasila tidak bisa memecahkan semua persoalan bangsa. Tetapi tanpa Pancasila, bangsa ini akan remuk berkeping-keping” katanya. Makna dari perdebatan itu adalah, bahwa betapa pentingnya Pancasila bagi sebuah negara yang sangat plural ini.
Oleh karenanya, kita harus terus eling pada dasar negara tersebut, yang dahulu dilahirkan dengan latar belakang tetesan darah. Eling, pada saat apa pun, dan di mana pun. Dahulu, ada UU yang mewajibkan setiap ormas atau orpol untuk berlandaskan Pancasila. Namun dalam era reformasi, UU yang sangat strategis itu direvisi. Pancasila sepertinya terlupakan.
Sekarang kita berbicara tentang Pancasila di dunia pendidikan. Telah terbit Standar Nasional Pendidikan (SNP) terbaru tahun 2021. Hal itu tercermin dalam PP No. 57 tahun 2021. Tetapi ternyata tidak ada kewajiban untuk melaksanakan mata kuliah Pancasila. Bahkan tidak ada dalam jenjang pendidikan tinggi, juga tidak ada di jenjang pendidikan dasar, dan menengah. Padahal dalam UU No.12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, diwajibkan ada mata kuliah : agama, Pancasila, Kewarganegaraan, dan Bahasa Indonesia. Kewajiban itu, tercermin dalam Pasal 5 Ayat (3). Kok mata kuliah Pancasila bisa dilupakan?
Saya khawatir ada tangan-tangan “jahil” dalam tim penyusun PP tersebut. Sudah lumrah diakui bahwa, apa yang ada dalam UU adalah standar minimal yang harus diikuti. Mengurangi sama sekali tidak boleh. Tapi melebihi bisa-bisa saja dilakukan. Misalnya, dalam UU dikatakan bahwa mata kuliah wajib adalah Bahasa Indonesia. Tetapi dalam PP-SNP disebutkan bahwa mata kuliah wajib adalah Bahasa. Jadi, bisa ada kewajiban untuk mata kuliah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Bahasa Daerah, dan lain-lain. Tetapi kenapa mata kuliah Pancasila dihilangkan? Dasar Negara Pancasila dilupakan? Aneh sekali.
Heran juga. Beberapa tahun lalu, terorisme sangat marak di Indonesia. Berbagai bom meledak. Maka sangat banyak ada wacana, agar pendidikan Pancasila, bisa masuk dalam kurukulum-wajib pada jenjang pendidikan di Indonesia. Pada saat itu, tampaknya ada gayung bersambut dari semua pihak. Tetapi nyatanya harapan itu, kini berkembang hampa. Sama sekali tidak dihiraukan oleh kementerian terkait.
Pertanyaannya : kenapa hal itu bisa terjadi? Apakah Pancasila sudah dianggap tidak penting dalam sistem pendidikan di Indonesia ? Berkali-kali hal itu diusulkan dan diwacanakan, tetapi berkali-kali pula dimentahkan. Lembaga yang mengusulkan agar Pancasila masuk dalam sistem pendidikan di Indonesia, termasuk di antaranya pihak Dewan Harian Nasional-45 (DHN-45).
Patut dipahami bahwa orang-orang yang berserikat dalam organisasi DHN-45 adalah para pejuang kemerdekaan Indonesia. Beliau-beliau dahulu terlibat dalam perang mempertahankan kemerdekaan dan bahkan terlibat dalam mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Jadi, beliau-beliau paham betul tentang berbagai agumentasi, kenapa Pancasila harus masuk dalam kurikulum sistem pendidikan di Indonesia. Apalagi sekarang, dengan semakin maraknya berbagai paham yang ingin menggantikan dasar negara Pancasila. Kasus bom bunuh diri yang terjadi di Makasar baru-baru ini menunjukkan bahwa, masih ada komunitas yang ingin merusak persatuan dan kesatuan bangsa, serta anti ideologi Pancasila.
Ketika Nadiem Makarim diangkat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, ia menyuarakan janji politiknya. Bahwa dalam sektor pendidikan, yang paling diperlukan dan diprioritaskan adalah pendidikan karakter. Lalu pertanyaannya adalah, kartakter apa dan karakter yang bagaimana? Menurut saya, jawabannya adalah karakter manusia Indonesia yang berbasis pada ideologi Pancasila. Itu berarti bahwa PMP seyogyanya masuk dalam kurikulum pendidikan wajib di sekolah dan di kampus.
Hampir mirip dengan SNP yang lama. Dalam SNP yang terbaru, yang wajib dalam kurikulum, lagi-lagi adalah Pendidikan Kewarganegaraan dan lainnya, baik di tingkat pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi. Itu berarti yang ditekankan adalah hanya hak-hak Warga Negara (WN). Lalu, apa kewajiban warna negara? Kewajibannya adalah mempertahankan dan mengimplementasikan Pancasila. Dalam hal ini, Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara. Untuk itulah, Pancasila atau Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sangat wajib diajarkan di sekolah dan kampus.
Sebagai dasar negara artinya Pancasila mendasari negara. Dasar itu akan kokoh kalau semua masyarakat yang hidup di atas dasar itu, memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Bukan sebaliknya, justru merusak. Kalau dirusak, maka dasar dan bangunan di atasnya akan runtuh. Agar tidak rusak itulah, Pancasila perlu wajib diajarkan kepada semua anak didik di Indonesia. Tujuannya untuk mentransformasikan nilai-nilai Pancasila itu. Hal ini penting di tengah-tengah transformasi sosio-kultural masyarakat yang bergelimang proses globalisasi.
Pancasila juga sebagai ideologi negara. Ideologi, menurut Moerdiono (1992) adalah seperangkat sistem ide. Tapi menurut Soerjanto Poespowardojo dan Selo Soemardjan (1992), ideologi adalah wawasan, pandangan hidup atau falsafah kebangsaan dan kenegaraan yang merupakan landasan sekaligus tujuan dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karenanya, mungkin dapat dinyatakan bahwa ideologi adalah alam pikir atau ide yang diacu dalam suatu komunitas atau bangsa, dalam rangka mencapai cita-cita komunitas atau bangsa. Selanjutnya Selo Sumardjan mengatakan bahwa Pancasila (sebagai ideologi) tidak hanya harus diresapi oleh bangsa dan negara, tetapi juga harus meresap ke dalam jiwa masyarakat.
Untuk itu, agar Pancasila bisa meresap ke dalam jiwa masyarakat, maka Pancasila harus wajib diajarkan. Kalau tidak diajarkan, lalu bagaimana Pancasila bisa ditransformasikan ke dalam jiwa manusia Indonesia? Barangkali di sinilah letak alpa-nya Menteri Nadiem Makarim dalam menuntun sistem pendidikan di Indonesia. Ada kekhaatiran, jangan-jangan dengan digabungkannya dikbud dan ristek dalam satu kementerian, maka PMP semakin dilupakan. Kita terlalu sibuk dengan iptek. Tetapi kita lupa pada dasar dan ideologi negara kita, Pancasila.
Seharusnya lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) semakin kuat dan nyaring suaranya untuk membumikan Pancasila melalui sistem pendidikan. BPIP ini bertugas membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan dan melaksanakan penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara dan seterusnya. Namun sayang, lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jaab kepada Presiden ini tampaknya tidak memiliki “taring”, dan belakangan, suaranya nyaris tidak terdengar. Nah, lalu kepada siapa kita berharap?
Sementara itu, kita harus berhadapan dengan generasi baru Indonesia, yang hanya memiliki harapan-harapan yang kuat. Ya, hal itu boleh-boleh saja. Tetapi harapan seperti itu, meskipun tidak salah, tetapi sama sekali tidak cukup dalam menghadapi tantangan Indonesia yang kian berat ke depan. Indonesia mengalami tantangan ideologis secara internal dan eksternal. Oleh karenanya, Pancasila tidak boleh kita lupakan, baik dengan sengaja atau tidak. *) Penulis, Guru Besar pada Fakultas Pertanian Univ. Udayana dan Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar (*).