Oleh : Drs. Nengah Maharta, M.Si (Lampung)
Om Swastyastu
Seseorang berpindah agama, umumnya disebabkan suatu perkawinan dan faktor ekonomi. Mereka memandang, bahwa perkawinan itu terjadi karena jodoh. Cara pandang ini sangat keliru dan sangat berbahaya bagi generasi Hindu selain karena mereka tidak meyakini Hyang Widhi/Brahman. Kalau memang setiap perkawinan itu karena jodoh, mengapa tidak ada orang Eskimo dari Kutub Utara menikah dengan orang Bali? Mengapa tidak ada gadis Uganda yang berkulit hitam pekat menikah dengan pemuda dari Bali?
Tidak ada Mantram atau Sloka dalam kitab suci Veda yang mencantumkan tentang perkawinan karena jodoh. Hyang Widhi/Brahman hanya mewahyukan hukum untuk dijadikan pegangan hidup umatnya. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan bergantung dari Karma seseorang.
Jangan pernah mengatakan bahwa agama apa pun yang dianut seseorang sama saja. Mari cermati kitab suci Manava Dharmaśastra, XII.96, sebagai berikut :
Utpadyante cyawante ca, yanyato’nyani kanicit,
Tanyarvakalika taya, nisphalanya nṛtani ca.
Artinya: Semua ajaran yang berbeda dari Veda akan segera musnah, karena tidak bernilai dan palsu, karena lahir pada jaman modern.
Veda diwahyukan saat jaman Kerta Yuga, Treta Yuga dan Dwapara Yuga. Kalau ada ajaran baru, turun pada jaman kekerasan (Kaliyuga) dan tidak mengacu pada Veda, maka ajaran itu tidak akan bernilai dan palsu karena turun pada jaman modern (Kaliyuga). Jaman Kali (Kaliyuga) dimulai 18 Pebruari 3.102 SM. Jaman Kali sudah terjadi selama 5.123 tahun. Masih ada waktu cukup lama, karena jaman Kali terjadi selama 1.200 tahun Dewa = 432.000 tahun manusia ( 1 tahun dewa = 360 tahun manusia).
Penyebab Pindah Agama (Konversi)
Pindah agama juga sering menimpa para remaja Hindu. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor:
- Perkawinan Beda Agama
Sebelum memasuki Gṛhastha, seorang Brahmacāri sudah harus mandiri agar nantinya mampu mewujudkan perkawinan (pawiwahan) yang sempurna. Dalam Susastra Hindu, ada 8 (delapan) parameter yang perlu dijadikan pedoman untuk mencari pasangan (Vivāha Samskāra)
No | Parameter | Nilai | |
1 | Varna | Status/profesi | 1 |
2 | Vashya | Cinta, daya tarik, kasih saying | 2 |
3 | Tara | Kesehatan pasangan | 3 |
4 | Yoni | Kecantikan/ganteng dan kewajaran seksual | 4 |
5 | Graha maitri | Intelektual dan spiritual | 5 |
6 | Guṇa | Karakter, temperamen, dan tabiat | 6 |
7 | Bhakut | Kesejahteraan/ekonomi keluarga | 7 |
8 | Nadi | Penampilan luar yang suci | 8 |
Total Nilai | 36 |
Perkawinan sempurna akan diperoleh bila pasangan suami-istri memiliki nilai 36 (tentu berasal dari agama yang sama). Bila ada perkawinan di mana salah satu pasangan berasal dari agama lain, walaupun pada awalnya dia mau masuk Agama Hindu, tetapi pada akhirnya kebanyakan dari mereka akan kembali ke agama asalnya. Hal ini disebabkan ada 4 (empat) parameter yang nilainya 0 (nol) yaitu parameter No. 1, 5, 6, dan 8 dengan total nilai 20, sehingga tinggal nilainya 16. Tentu dengan nilai 16 ini, dilangsungkan perkawinan, maka akan terjadi perkawinan tidak normal. Seiring waktu, akhirnya pasangannya kembali ke agamanya semula. Banyak orang Hindu melangsungkan perkawinan dengan pasangan yang tadinya lain agama, tetapi, sebagian besar dari mereka mengalami kegagalan dalam membangun perkawinan, karena istrinya/suaminya kembali ke agama asalnya. Bahkan orang kita yang beragama Hindu turut berpindah agama. Hal ini disebabkan orang Hindu tidak mampu menuntun ajaran Dharma kepada istrinya/suaminya yang sudah rela meninggalkan agamanya ke Hindu. Ini sangat sering terjadi karena lemahnya pemahaman umat Hindu terhadap ajaran agamanya.
Perkawinan berbeda agama juga terjadi karena orang Hindu bekerja dan berada di dalam komunitas orang beragama lain. Akhirnya, lama-lama orang Hindu berpindah agama. Begitu juga orang tuanya berasal dari perkawinan yang berbeda agama, walaupun perkawinan kedua orang tuanya masih langgeng, tetapi putra/putrinya selalu ada yang berpindah agama.
- Salah Memilih Teman atau Pergaulan
Diawali dari saling kenal diteruskan berteman, akhirnya timbul rasa suka. Kalau sudah ada rasa suka, maka akan mudah sekali di-klik dengan ilmu guna-guna (pelet), sehingga mudah kepincut. Mereka tidak lagi mempedulikan perbedaan agama, sehingga sering terkena jerat yaitu diajak melakukan perbuatan zina yang sangat dilarang Agama Hindu. Mereka yang telah berbuat terlalu jauh ini, sulit sekali untuk dipisahkan, walaupun orang tua mereka berusaha keras untuk memisahkannya. Perlu kita ketahui, bahwa ada agama tertentu memberikan keyakinan atau dogma kepada pemeluknya, bila mampu memindahkan orang lain masuk ke agama tersebut, maka sorgalah imbalannya. Oleh karena itu para gadis Hindu harus waspada, bentengilah diri Anda dengan selalu melakukan saddhana (sembahyang, japa, meditasi, membaca kitab suci, yoga, puasa, dll) dengan penuh disiplin. Kalau saddhana ini dilakukan dengan tekun, maka di dalam diri Anda akan dibentengi baju mantra (kawaca mantra), sehingga tidak mudah kena ilmu guna-guna (istilah Balinya : paid kaung).
Dalam Pustaka Ṡuci Manava Dharmaśastra, VIII.357 dan 358 tersurat:
357 Upacārakriyā keliḥ sparśo, bhūṣaṇa vāsaṣān,
saha khaṭvāsanañ caiwa, sarvaṁ saṁgrahaṇaṁ smṛtam
Artinya : Memberi hadiah kepada seorang wanita, bergurau dengannya, memegang pakaiannya dan perhiasannya, duduk di tempat tidur dengannya, semua perbuatan ini dianggap perbuatan zina.
358 Strīyaṁ spṛśeda deśe yaḥ, spṛṣto vā marṣayettayā,
Parasparasyānumate, sarvaṁ saṁgrahaṇaṁ smṛtam.
Artinya : Bila seseorang menyentuh wanita di bagian yang tidak harus disentuh atau membiarkan seseorang menyentuhnya bagian itu, semua perbuatan itu walaupun dilakukan dengan persetujuan bersama, dinyatakan sebagai perbuatan berzina. Hukuman bagi yang berzina, tercantum dalam kitab suci “Bhagavata Puraṇa” tentang neraka:
Yas tv iha va agamyah strīyam
agamyam va purusam yosid
abhigacchati tav amutra kasaya
tanayantas tigmaya surmya lohamayya
puruṣam aliigayanti strīyam ca puruṣa-rupaya surmya
Artinya :
Laki-laki atau perempuan yang melakukan hubungan kelamin tidak sah dengan lawan jenisnya (diluar pernikahan), setelah mati dihukum oleh para pembantu Dewa Yama di Neraka Taptasurmi. Di sana, para lelaki atau perempuan dicambuk (dicemeti). Yang laki-laki dipaksa memeluk bentuk perempuan terbuat dari besi panas membara, dan yang perempuan dipaksa memeluk bentuk serupa orang laki. Begitulah hukuman bagi pelaku hubungan kelamin tidak sah (berzina).
- Ekonomi dan Kemiskinan
Perpindahan agama juga terjadi karena faktor kemiskinan. Sasaran misionaris adalah umat Hindu yang tergolong miskin. Mereka memberi sumbangan, dengan iming-iming janji hidup lebih enak, tawaran hidup lebih tenang, sejahtera, bahagia dan damai. Akhirnya umat Hindu pindah agama dengan harapan mampu mengubah nasibnya menjadi lebih baik. Misionaris tergolong sukses menarik banyak orang Hindu berpindah agama. Berdasarkan data penelitian Dr. Ni Kadek Surpi Ayadharma, dosen UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, dari data penelitian selama 3 tahun (2008-2010) ada sebanyak 30.000 orang Hindu pindah ke Kristen. Belum lagi yang bepindah ke Agama Islam dan Budha.
- Sistem Patrialistik yang Tidak Adil
Sistem patrialistik, yang memberikan tanggung jawab kepada kaum laki-laki menyebabkan kaum perempuan terpinggirkan. Anak perempuan tidak mendapat hak waris dari harta gono-gini dari orang tuanya, tidak mendapatkan pendidikan sewajarnya, dan tidak mendapat hak-hak lainnya setelah menikah. Padahal menurut agama Hindu, kedudukan perempuan sangat terhormat di dalam keluarga. Sistem patrialistik menyebabkan kebanyakan orang tua merelakan putrinya berpindah agama mengikuti agama suaminya. Orang tuanya merelakan putrinya “mepamit” dari leluhurnya. Menurut Dewa Suratnaya, leluhur tidak akan pernah memberi ijin keturunannya berpindah agama. Mengijinkan putrinya berpindah agama sedangkan para leluhurnya tidak mengijinkan, akan berefek buruk terhadap putrinya dan orang tuanya. Sistem adat patrialistik ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman. Sudah seharusnya ditinggalkan dan dihilangkan dari sistem adat, karena sangat merugikan kelangsungan Agama Hindu dan melanggar hak asasi manusia karena diskriminasi terhadap kaum perempuan. Terlebih-lebih sekarang kebanyakan orang Hindu hanya memiliki dua keturunan (2 anak). Kalau hal seperti ini terus dipertahankan dan tidak pernah ada pencegahan, bagaimana kelanjutan Agama Hindu kedepannya?
Perpindahan agama juga terjadi karena adanya pengaruh wangsa (klan). Banyak kalangan umat Hindu justru merelakan putrinya berpindah agama daripada putrinya dikawini oleh wangsa lebih rendah (Bahasa Bali : Nyerod). Ini terjadi pada umat atau keluarga Hindu yang berpandangan sempit dan tidak berpengetahuan sehingga tidak memahami perbedaan antara Wangsa dan Warna.
- Kurangnya Pemahaman Teologi Hindu.
Lemahnya pemahaman terhadap Agama Hindu yang meliputi: Mengapa kita lahir? Apa yang mestinya kita lakukan saat hidup ini? Kemana kita pergi setelah mati? Apa yang kita bawa setelah mati? Ketidaktahuan ini menyebabkan banyak kerugian. Kita banyak kehilangan kader dan generasi Hindu. Kasus perpindahan agama itu banyak terjadi pada kalangan terpelajar di perkotaan. Bahkan ada kecenderungan, di perkotaan jumlah umat Hindu mengalami penurunan. Lemahnya pemahaman dharma dan sraddha dari orang tuanya, menyebabkan orang tua tidak pernah memberi “doktrin” bahwa pindah agama itu dosanya tidak terampuni.
Dalam kitab suci Manava Dharmaśastra, IX.3: orang tua laki-lakilah (ayah) yang seharusnya lebih banyak menaruh perhatian dan melindungi anak gadisnya, setelah menikah perempuan harus mendapat perlindungan dari suaminya, dan setelah tua perempuan harus mendapat perlindungan dari putranya. Di kalangan umat Hindu asal Bali, sangatlah berdosa kalau sampai membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, hanya karena urusan purusa yang diatur oleh adat. Di hadapan Hyang Widhi, Dewa-Dewi, dan Leluhur, mestinya anak laki dan perempuan harus diperlakukan sama. Sangatlah tidak benar, bila ada orang tua maupun saudaranya, mengijinkan si gadis itu melakukan perkawinan dengan mengikuti agama sang suami yang bukan Hindu. Nanti setelah meninggal, Dewa Yama akan meminta pertanggungjawaban kepada orang tua atau saudaranya yang membolehkan anak atau saudara perempuannya berpindah agama ke non-Hindu.
6.Tak Ada Janji Suci Sebelum Memilih Calon Suami/Istri
Bila seseorang tidak memiliki janji seperti: saya akan berusaha dan bertekad akan mencari calon suami/istri yang seagama atau kalau saya tidak mendapatkan calon suami/istri yang seagama, maka saya akan berusaha menarik calon suami/istri saya itu agar mengikuti agama saya. Bila tidak mau, maka saya tidak jadi menjadikan dia sebagai suami/istri saya.
Kenyataan di lapangan, justru mereka tidak mampu mengendalikan nafsunya. Malah mereka cenderung berpacaran melewati batas, menyebabkan hamil sebelum menikah (vivāha). Saat ini, remaja Hindu dihadapkan kepada 2 (dua) pilihan, yaitu bagi:
1). Remaja perempuan Hindu, akan memilih pindah agama ikut agama laki-laki pilihannya.
2). Remaja laki-laki Hindu, dia akan mendapat tekanan oleh keluarga perempuannya agar menikahi secara agama non Hindu. Bila tidak mau menikahinya secara agama perempuan, maka dia akan dilaporkan ke polisi dengan alasan menghamili anak di bawah umur. Dibandingkan ditahan dan dimasukkan ke penjara, akhirnya mereka berpindah agama ke agama istri (paid bangkung).
Menurut UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, perkawinan bisa dilakukan kalau sudah berusia di atas 20 tahun. Bila ada remaja mau menikah dengan gadis yang berbeda agama yang umurnya belum 20 tahun, maka harus mendapat persetujuan dari kedua orang tuanya. Bila tidak mendapat persetujuan, maka tidak bisa melakukan perkawinan. UU Perkawinan ini perlu disosialisasikan kepada remaja Hindu, agar mereka tidak terjebak menikah saat belum cukup umur.
- Mengikuti Jejak Keluarganya yang Berpindah Agama
Perpindahan agama juga banyak terjadi karena ajakan atau tarikan dari saudaranya yang sudah berpindah agama terlebih dahulu. Pengaruh mereka sangat kuat sekali, hampir setiap orang yang telah berpindah agama itu berhasil mengajak saudaranya seperti adik dan keponakannya untuk berpindah agama. Mereka sangat perlu diwaspadai, seperti di dalam kapal, ada satu orang yang mengebor kapal itu, lama-kelamaan air akan masuk secara perlahan ke kapal itu, menyebabkan semua orang ikut tenggelam. Artinya, bila ada satu orang berpindah agama, maka orang lain (di keluarganya) cenderung akan ikut berpindah agama. Apalagi mereka mempunyai keyakinan, kalau bisa mengajak orang lain ikut berpindah agama, maka Sorga sudah menanti.
HUKUMAN BAGI ORANG HINDU YANG BERPINDAH AGAMA
1. Tidak Ketemu Jalan di Alam Kematian
Sebenarnya kita mengalami reinkarnasi sudah berkali-kali bahkan sampai ribuan kali. Berarti kita sudah berkali-kali melewati jalan menuju Alam Kematian (Mṛtyun Loka) ini setiap mati. Bila karma selama hidup di bumi ini sangat baik, maka kita dengan cepat ketemu jalan kematian yang lebih suci. Sebaliknya, seseorang pindah agama, berarti orang itu membuat jalan baru. Membuat jalan baru tidaklah mudah dan tidak bisa cepat, karena harus menunggu karma baru. Keburu mati, akhirnya tidak punya jalan suci di alam kematian. Akhirnya dia berada pada Alam Kegelapan.
Dalam Kitab Ṡuci Bhagavad-gītā, III.35” tersurat :
Śreyᾱn sva-dharmo viguṇah, para-dharmāt sv-anuṣṭhitāt,
Sva-dharme nidhanaṁ śreyaḥ , para-dharmo bhayāvahaḥ.
Artinya: Lebih baik mengerjakan kewajiban sendiri walaupun tiada sempurna daripada dharmanya orang lain yang dilakukan dengan baik, lebih baik mati dalam tugas sendiri daripada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya.
Kita sebenarnya telah beragama Hindu sejak Atman diciptakan Hyang Widhi/Brahman. Jangan sampai mengatakan, bahwa kita beragama Hindu sejak kita lahir ke bumi ini. Kecuali mokṣa, kita tidak hidup sekali ini saja, karena dulu kita pernah lahir. Jadi kita lahir ke bumi ini secara berulang-ulang yang disebut Reinkarnasi. Lahir secara berulang-ulang dalam wujud manusia, karena sifat satvam lebih besar dari sifat rajas, dan tamas.
Bila sifat satwam dapat mengendalikan sifat rajas dan tamas, maka kita akan Mokhsa (bersatu dengan Brahman). Untuk dapat masuk Mokhsa sangat sulit sekali. Sebagai contoh Maha Rsi saja baru masuk mokhsa setelah lahir ke bumi ini 2 (dua) sampai 3 (tiga) kali.
Berarti sejak Hyang Widhi/Brahman menciptakan Atman kita, selama itu pulalah umur kita telah beragama Hindu. Bila Atman seseorang telah diciptakan Hyang Widhi/Brahman telah berumur 1.000 tahun, maka orang itu telah beragama Hindu 1000 tahun. Bila Karma Wasana kita selama hidup di bumi ini baik, maka Atman kita dengan penuh kebahagiaan dapat hidup di alam Swargan sampai berjuta-juta tahun lamanya.
Nah, kalau seseorang sudah beragama Hindu, sudah sejak Atman diciptakan Hyang Widhi/Brahman, lalu pindah ke agama lain, maka Karma Wasana di agama lain tidak ada artinya, karena dikumpulkan dalam waktu yang sangat singkat kendatipun dilakukan dengan penuh disiplin dan ketat, sehingga Rohnya (setelah meninggal) nantinya tetap akan gentayangan karena tidak ketemu jalan. Boro-boro masuk Sorga, jalannya saja tidak ketemu.
2 . Tidak Bisa Mencapai Kebahagiaan dan Kedamaian
Orang yang berpindah agama, tidak akan memproleh kebahagian dan kedamaian. Hal ini
tersurat dalam kitab suci Veda “Bhagavad-gita, XVI.23”
Yaḥ śāstra-viddhim utsṛja,vartate kāma-kāratah,
Na sa siddhim avāpnoti, Na sukhaṁ na parāṁ gatim.
Arti : Ia yang meninggalkan ajaran-ajaran kitab suci Veda, ada di bawah pengaruh Kama (nafsu), tidak akan mencapai kesempurnaan, kebahagiaan dan tujuan tertinggi (mokhṣa). Mantram ini memberi tuntunan, agar kita jangan meninggalkan kitab suci Veda, hanya karena ingin menuruti Kama (nafsu) yang bersifat sementara semasih hidup di bumi. Bisa jadi, orang yang meninggalkan Agama Hindu, di bumi maya ini dia bahagia, tetapi dapat dipastikan kelak di alam kematian, Atmannya tidak akan pernah mencapai kedamaian. Kebahagian itu sifatnya sementara hanya bisa dinikmati semasih hidup di bumi ini. Kebahagian ini akan lenyap dengan sendirinya setelah meninggal. Tetapi, yang kekal abadi adalah kedamaian yang hanya dapat diraih melalui agama (sradha dan bhakti, serta spiritual). Oleh karena itu, janganlah menunda waktu untuk berbuat baik sedini mungkin. Menentukan kebahagian dan kedamaian seseorang adalah Karma Wasana yang dibawa saat kehidupan terdahulu ditambah Karma yang dilakukan saat kehidupan sekarang.
- Atmannya Akan Tenggelam ke Lembah Neraka
Seseorang yang sudah meninggalkan Agama Hindu tidak bisa lagi membayar tiga macam hutang (Tri Ṛṇa). Dalam Pustaka Ṡuci Manava Dharmaśastra, VI.35” tersurat:
Ṛṇāni trīṇyapākṛityamanomokṣe nveśayet,
anapākṛitya mokṣam tu, sevamānovrajatyadhaḥ.
Artinya : Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya (kepada Brahman, Leluhur, dan orang tua), hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir. Ia yang mengejar kebebasan terakhir ini tanpa menyelesaikan tiga macam hutangnya akan tenggelam ke bawah (lembah Neraka).
Tri Ṛṇa tersurat dalam Prasastri Kawitan Leluhur yang isinya sebagai berikut :
Pratisentana, kalau kamu lupa dengan Kahyanganmu terkutuklah Engkau, tidak akan pernah cocok bersaudara, banyak bekerja tanpa hasil, tidak henti-hentinya menderita penyakit, jatuh kewibawaannya dan dihukum oleh Bhuta Kala.
Begitu juga dua penasihat spiritual Kerajaan Majapahit yaitu Dang Hyang Sabdo Palon dan Dang Hyang Noyo Genggong pernah bersumpah saat Raja Majapahit Brawijaya V pindah agama. Ini adalah cuplikan sejarahnya.
Setelah Kerajaan Majapahit berhasil diambil-alih oleh Raden Patah, ayahnya Prabhu Brawijaya V bersama dua orang suci yang menjadi penasehat spiritual kerajaan yaitu “Dang Hyang Sabdo Palon dan Dang Hyang Noyo Genggong” meninggalkan Majapahit pergi ke Timur menuju Kerajaan Blambangan. Di tengah perjalanan pasukan Raden Patah yang dipimpin oleh pamannya dan Sunan Kalijaga berhasil mencegatnya. Suruhan Raden Patah itu berhasil membujuk Ayahnya Prabhu Brawijaya V untuk kembali ke kerajaan. Sedangkan dua orang suci Dang Hyang Sabdo Palon dan Dang Hyang Noyo Genggong tidak mau diajak ke kerajaan, bahkan beliau bersumpah.
Isi sumpahnya sebagai berikut:
Sekarang boleh Engkau ambil kerajaan ini dan Engkau lenyapkan ajaran Adi Luhung ini, tetapi setelah 500 (lima ratus) tahun mulai hari ini, akan kami ambil lagi ajaran Adi Luhung (Agama Buddhi) ini untuk menyelamatkan Leluhur dan keturunan Majapahit, tetapi bagi mereka yang mengingkari petunjuk hidup yang berasal dari Sangkan Paraning Dumadi ini, maka mereka akan mendapatkan Mala Petaka.
Mala petaka sudah dimulai dan terus berlangsung, puncak mala petaka akan terjadi pada tahun 2056 Masehi (1978 Saka), yaitu saat: “Lawon Sapta Ngesti Aji”(Lawon: 8, Sapta: 7, Ngesti: 9, Aji: 1= 1978 Saka). Sumber: Ki Renggo Prahono (2011).
- Tidak Mendapatkan Bantuan dari Leluhur
Setiap ada keturunannya (pratisentananya) berpindah agama, para leluhurnya tidak pernah memberi ijin. Tapi karena mereka sudah terlanjur berpindah agama dari Hindu ke non-Hindu, maka Atmannya di Alam Kematian tidak mendapatkan bantuan dari leluhurnya. Orang berpindah agama dari Hindu ke non-Hindu, kehilangan 4 (empat) hak yaitu:
- Pintu Sorga (Swargan) tertutup.
- Tidak ada lagi bantuan dari Leluhur (Pitra Ṛṇa).
- Tidak lagi punya hak waris, karena hak waris melekat pada tanggung jawab (Tri Ṛṇa).
- Tidak mampu mencapai alam 3 (tiga) dimensi, melainkan hanya sampai alam 1 (satu) dimensi.
Sering kita lihat orang yang sudah berpindah agama itu, saat orang tuanya meninggal, dia memakai pakaian adat/pakaian sembayang (Hindu). Dia melakukan sembahyang secara Hindu saat orang tuanya di-Aben. Intinya dia melakukan seperti apa yang dilakukan saudaranya yang beragama Hindu. Keluarga mereka menerima seolah-olah tidak ada beban, demikian juga masyarakat tidak pernah peduli dengan hal seperti itu. Kalau ada keluarganya mengerti Agama Hindu, maka saudara yang sudah berpindah agama itu tidak akan diperbolehkan menyembah orang tuanya lagi, karena hal itu akan menghambat jalannya Atman orang tua menuju alam leluhur dan alam para Dewa. Demikianlah akibat buruk dan besarnya dosa bagi umat Hindu yang meninggalkan ajaran Hindu dan leluhurnya. Dosanya tak terampuni. Semoga artikel ini menyadarkan umat Hindu untuk tetap kuat craddha dan bhaktinya di dalam keyakinan Hindu. Oṁ, Śāntiḥ, Śāntiḥ, Śāntiḥ Oṁ