TANAH yang kita tempati bersama berbagai ciptaan-Nya adalah
titipan, bukan warisan untuk anak dan cucu yang dilahirkan.
Memelihara tanah/Ibu Pertiwi wajib hukumnya sebagai titipan Sang Hyang Widhi Wasa dan mengembalikan kepada anak cucu dalam kondisi yang lebih baik. Apabila tanah ini tercemar dan kering, di manakah generasi penerus hidup untuk mendapatkan sumber kehidupan? Tuhan menciptakan Bumi (Bhuwana Agung) dan Manusia (Bhuwana Alit) sudah sangat sempurna dengan keseimbangannya, apabila satu keseimbangan diganggu, maka akan terganggu semuanya. Budaya Bali, keseimbangan kehidupan dan kebahagiaan hidup didasarkan pada TRI HITA KARANA, yaitu filosofi kosmologi Bali yang menjalinkan tiga keharmonisan hidup untuk mencapai kebahagiaan. Manusia adalah alam itu sendiri, manusia harus sejalan/seirama dengan alam, hidup menghidupi, urip-nguripi. Hidup harus menghormati alam, alam ibarat orang tua, untuk itu hidup harus mengasihi alam. Falsafah hidup terkait dengan alam sebagai “orang tua”.
Sebenarnya dalam hidup ini, kita punya dua Ibu (Ibu kandung dan Ibu Pertiwi (tanah) dan dua ayah (Ayah kandung dan Bapa Akasa (Matahari). Ibu Kandung dan Ayah Kandung melahirkan kita dan Ibu Pertiwi dan Bapa Akasa melahirkan/menghasilkan makanan berupa buah, biji, daun, umbi, oksigen, air dll. melalui proses fotosinsintesis dengan bantuan tanaman. Hal ini terkait dengan Bhisama Lontar Batur Kalawasan yang isinya adalah “Ling ta kita akabehan, riwekasan, wenang ta kita pratyaksa ukir lan pasir, ukir pinaka wetuning kara, pasir angelebur sehananing mala, ri madya kita awangun kahuripan,
mahyun ta kita maring relepaking talapak tangan, aywa kamaduk
aparikosa dening prajapatih, yan kita tan eling, moga-moga kita
tan amangguh rahayu, dih panganinum, cendek tuwuh, kageringan, lan masuduk maring padutan”. Artinya : Ingatlah pesanku wahai anak-anakku sekalian, di kemudian hari jagalah kelestarian gunung dan laut, gunung adalah sumber kesucian, laut tempat menghilangkan kekotoran, di tengah “dataran” melaksanakan kegiatan kehidupan, hiduplah dari hasil tanganmu sendiri, jangan sekali-kali hidup senang dari merusak alam, kalau tidak mematuhi, kamu terkena kutuk. Tidak akan menemukan keselamatan, kekurangan bahan makanan dan minuman, terkena berbagai macam penyakit dan bertengkar sesama saudara.

BALI, pulau kecil dengan empat danau (Batur, Beratan, Bulian/Buyan, dan Tamblingan) sebagai “tower”-nya, mesti dikelola dalam satu kesatuan ekosistem istilah leluhur dengan konsep Nyegara Gunung (hulu – tengah – hilir) ibarat seekor naga. Sebelum tahun 1970an, tanah Bali dengan sistem pertanian tradisional, dikenal sangat subur dengan keanekaragaman tanaman, keanekaragaman binatang. Petani mandiri benih, pupuk, pangan, keamanan pangannya terjamin dan berdaulat pangan. Petani beternak lebah, babi, ayam, sapi dan ternak lainnya. Setiap rumah tangga petani punya 2 ekor babi sebagai “tatakan banyu” untuk memakan yang tersisa di dapur dan air cucian perabot di dapur ini merupakan ciri minimal punya babi. Hal ini menyebabkan cacing tanah berkembang dengan baik menyebabkan tanah sangat subur. Seorang peneliti dari Jerman mengatakan bahwa sebelum tahun 1970 an, tanah Bali adalah tanah yang tersubur di seluruh dunia.
Namun, Revolusi Hijau (Green Revolution) berhasil membuat petani meninggalkan pertanian tradisional, tidak lagi memanfaatkan sumber daya lokal dan kearifan lokal sudah turun-temurun. Revolusi hijau menjadikan petani tergantung produk luar, sehingga petani tidak melindungi sumber daya alamnya karena dirasakan semua itu tidak menguntungkan sudah tergantikan sumber daya yang lain yang mereka beli. Tanah menunjukkan ketidakmampuannya menahan beban akibat ekploitasi. Para pelaku pertanian melupakan kaidah-kaidah alam yang harus dijaga (Titah/ Sabda Pandita Ratu/ Bhisama), kearifan lokal merupakan sisi-sisi lain yang sangat sulit untuk dijelaskan secara ilmiah sehingga tidak pernah menjadi pertimbangan. Revolusi hijau menyebabkan terjadinya kerusakan pada alam khususnya tanah dan lingkungan. Tanah menjadi gersang karena cacing tanah berkurang dan mulai hilang, bukit gundul tanpa tanaman, danau dan sungai mengering, gunung meletus dan gempa dahsyat, kualitas air tanah terus merosot. Hal serupa terjadi pada kualitas air danau, kualitas air sungai, muara air ditumbuhi eceng gondok yang sangat sulit dikendalikan. Satu-satunya cara untuk mengatasi masalah besar tersebut adalah kembali ke sistem pertanian yang memberdayakan potensi alam dan bersahabat alam yakni sistem pertanian organik.

Sistem pertanian organik menyebabkan Bali lestari melalui tiga komponen yakni alam Bali, manusia Bali dan budaya Bali. Dengan sistem pertanian organik, petani dapat memelihara alam Bali, mensejahterakan manusia Bali, dan menjaga kebudayaan Bali. Demikian antara lain, orasi ilmiah Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S pada upacara pengukuhan 18 Guru Besar Universitas Udayana di Kampus Unud, Sabtu 16/9 lalu.
Beberapa tahun lalu, Ni Luh Kartini meraih gelar Doktor setelah menciptakan sistem pertanian organik terpadu SaBiCaITaLA (sapi, biogas, cacing tanah, ikan, tanaman organik, lebah dan agrowisata). Menuirutnya, hasil penelitian secara berkelanjutan selama 20 tahun telah terbukti memperbaiki kualitas tanah dan meningkatkan pendapatan petani sebesar 400-500%, di tanah yang marginal seperti di Br Yeh Mampeh Desa Batur Selatan. Menurutnya, sistem pertanian organik terpadu SaBiCaITaLA bisa diterapkan di semua kondidi tanah dengan memanfaatkan sumber daya lokal dan kearifan lokal untuk mendukung ekonomi hijau dan ekonomi kreatif.
Menurut perempuan kelahiran Desa Bulian, Kabupaten Buleleng ini, sistem pertanian organik terpadu SaBiCaITaLA telah terbukti bisa dilakukan secara lembaga/kelompok tani seperti subak sawah, subak abian, kelompok tani, sekehe tani dan secara individu. Untuk memaksimalkan sistem ini, petani dapat menggunakan sampah organik, limbah pertanian, pupuk kandang hewan, pucuk daun muda, bunga, buah, air kelapa, arang, ikan, air cucian beras, dll. Sumber daya lokal ini ada sepanjang bumi ini ada, karena berasal dari kehidupan.

Ni Luh Kartini merinci, dengan sistem pertanian organik terpadu SaBiCaITaLA, pendapatan petani bisa diperoleh dari 7 (tujuh) komponen sebagai berikut: 1. Sa = sapi, pendapatannya (kotoran sapi, kencing sapi, tenaga sapi dan daging sapi); 2. Bi = Biogas (pemanfaatan kotoran dan kencing sapi) mendapat gas metan untuk memasak dan untuk listrik/lampu penerangan) sehingga tidak perlu lagi membeli gas elpiji, tidak perlu membayar listrik dan tidak perlu menebang kayu; 3. Ca = Cacing tanah (kotoran sapi setelah gas metannya diambil bisa menjadi pakan cacing). Kotoran cacing tanah adalah pupuk organik kualitas terbaik, cacingnya untuk obat herbal, untuk pakan ikan, ayam dan burung; 4. I = Ikan, dengan adanya kolam ikan, airnya bisa untuk menyiram tanaman sebagai pupuk, pakan ikan didapat dari cacing tanah yang dihasilkan. Kolam ikan menjadi tempat rekreasi anak-anak muda untuk memancing dan beli ikan; 5. Ta = Tanaman organik, petani dalam bercocok tanam tidak membeli sarana dan prasarana untuk bertani karena dihasilkan sendiri secara mandiri sehingga ongkos produksi sangat rendah, hasil pertaniannya punya segmen pembeli khusus dengan harga khusus; 6. L = Lebah, karena wilayah sudah organik, maka lebah itu datang sendiri hanya disiapkan kungkungan yanhg bisa menghasilkan madu dan ini merupakan komoditas yang bisa dijual selain lebah juga membantu petani untuk penyerbukan; 7. A = Agrowisata, dari 6 (enam) komponen yang ada dalam satu lahan dirangkai dan ditata dalam satu alur yang ergonomis dikemas sehingga menjadi tatanan yang menarik untuk dikunjungi oleh wisatawan sekaligus sebagai tempat pelatihan dengan well come drink-nya adalah jus cacing tanah campuran cacing tanah dengan sayur dan buah yang dihasilkan di lahan petani. Ini bisa menjadi tempat pelatihan sistem pertanian terpadu dengan materi pelatihan sangat menarik bagi tamu dalam dan luar negeri.

Upacara pengukuhan Guru Besar ini dihadiri oleh sejumlah tokoh, pembina dan pengurus Paiketan Krama Bali sebagai sebuah apresiasi dan rasa bangga bagi Paiketan Krama Bali karena Ni Luh Kartini adalah Ketua Departemen Pertanian dan Konservasi Lingkungan di Paiketan Krama Bali (*ram).