Selain Wajib Melayani Umat Hindu Setiap Dibutuhkan
Profesi Pemangku Menjanjikan Hidup Layak. Pantas atau Tidak?

Dewa K. Suratnaya dalam sebuah kesempatan memberikan dharma wacana

Oleh : Dewa K. Suratnaya *)

Berikut adalah curhat seorang warga Hindu kepada penulis. “Melihat fenomena bahwa fungsi Pemangku sudah menjadi profesi sebagai sumber penghasilan. Masyarakat Hindu  khususnya di perkotaan membutuhkan jasa Pemangku di dalam setiap upacara keagamaan. Apakah hal ini pantas dan dibenarkan?”

Dilihat dari sudut pandang masyarakat Hindu, memang tidak salah kalau pelayanan seorang Pemangku sudah berkembang menjadi profesi. Akibatnya, ada juga warga Hindu  yang mengeluhkan banyaknya muncul Pemangku yang motifnya justru untuk mencari penghidupan, tidak lagi murni untuk pelayanan yang bersifat rohani.

Ada kisah yang menarik ketika seorang tokoh dan juga pejabat di Bimas Hindu menegur seorang Pemangku yang dilihatnya kurang etis dalam melayani umat di sebuah Pura. Dengan enteng sang Pemangku menjawab, “Pemangku juga ingin punya (mobil)  Inova.” Dan sang tokoh hanya bisa menghela nafas, karena jawaban sang Pemangku sangat logis. Lalu, apa yang salah dengan munculnya curhat dan cerita-cerita tentang Pemangku bahkan juga Sulinggih?

Terlepas dari berbagai motif yang melatarbelakangi seseorang Pemangku “memenuhi” panggilannya menjadi pelayan atau pemandu umat, khususnya upacara Manusa Yajna, penulis melihat ada hal yang patut disadari, terutama dari sisi masyarakat yang membutuhkan jasa seorang Pemangku.

Sejauh ini, maaf, penulis amati  kebanyakan warga Hindu umumnya tidak/kurang memperhatikan kesejahteraan (taraf hidup) Pemangku.  Sebagai manusia normal, Pemangku juga butuh hidup. Yang penulis nilai masih aneh, walaupun Pemangku sudah menjalani kehidupan suci sebagai Wanaprastin melalui prosesi Eka Jati, namun para Pemangku tetap saja termasuk dalam kategori seorang Walaka dan sama saja dengan warga Hindu lainnya. Selama ini penulis amati, Rsi Yajna lebih mengutamakan Sulinggih. Lalu porsi untuk Pemangku bagaimana? Kalau mau jujur, pengabdian dan pelayanan oleh para Pemangku tidak kalah bila dibandingkan dengan Sulinggih.  Malahan, kalau mau jujur, Pemangku lebih sering beradaptasi dengan masyarakat selain menjadi “jan panggul” Ida Bhatara. Salahkah apabila kemudian Pemangku “mencari” kesejahteraan/penghidupan melalui jasa pelayanannya itu? Mari kita renungkan !

Lalu, coba perhatikan berapa nilai sesari uang tunai yang dihaturkan oleh warga Hindu kepada seorang Pemangku (atau disebut Wasi di Jawa), yang biasanya diselipkan di Daksina Pejati Taksu Kepemangkuan atas pelayanannya? Tidak lebih sepuluh-dua puluh ribu rupiah. Memang menyedihkan, namun inilah  faktanya. Di Jawa, nasib Sulinggih Jawa dan Pemangku Jawa tidak jauh berbeda.  Mereka sangat “peduli” kepada umat, namun “kurang dipedulikan” oleh umat (Hindu).

Wrhaspati Tattwa Sloka 25 menegaskan ada tujuh pengamalan dharma yang patut dilakukan oleh umat Hindu yaitu : sila, tapa, “yajna,” pravirya, “dana,” diksa dan yoga. Dari tujuh pengamalan dharma ini,  ada dua yang perlu mendapat perhatian lebih yaitu “yajna” dan “dana.” Masing-masing bernilai  4.75 % dari penghasilan bersih. Pertanyaannya, sudahkah kita menyisihkan penghasilan kita dan mengaplikasikan persentase ini (yajna dan dana) untuk Pemangku dan Sulinggih?  Maaf, penulis hanya mengingatkan karena kedua pengamalan dharma ini sesungguhnya justru menyelamatkan kehidupan kita.

Seorang Pemangku sedang menjalankan tugas pelayanan kepada umat Hindu (sumber : Santiasa, diunduh tgl 11 /1/2023 pukul 12.46 Wita)

Faktanya, untuk bisa bertahan hidup, seorang Pemangku harus punya penghasilan tetap, tidak mungkin mengandalkan “sesarin canang.”  Untuk bisa bertahan hidup yang wajar, maka perkerjaan yang paling mudah dilakukan adalah menjual banten. Pekerjaan ini akhirnya menjadikan pelayanan umat menjadi profesi yang menjanjikan. Tapi terkadang pula akhirnya seorang Pemangku yang menjual banten melupakan kewajiban sucinya (sebagai pelayan umat). Sekali lagi, penulis hanya ingin mengingatkan kepada umat Hindu agar jangan melupakan kesejahteraan Pemangku.  Kepada Pemangku, penulis juga mengingatkan bahwa mencemarkan kewajiban suci akan menurunkan derajat Punarbhawa menuju Punarbhawa yang lebih rendah dan menderitakan. Ada kisah Pemangku yang mengkomersilkan kewajiban sucinya, kemudian harus mendapatkan tubuh hewan dalam kelahiran berikutnya.  Bukan hanya Pemangku, bahkan ada kisah seorang Sulinggih yang menyisihkan uang komisi  kepada umat yang membawa seorang “pelanggan” untuk sebuah upacara Manusa Yajna. Jadi, ada “komisi” bagi umat yang membawakan pelanggan baru.

Baik Sulinggih atau pun Pemangku,  kalau sudah tercemar oleh motif materi maupun uang, maka nilai spirit dalam pelaksanaan upacaranya sangat patut diragukan. Apalagi, motif dari pilihannya sebagai pelayan atau pemandu umat adalah komersial (bisnis), maka bisa dipastikan nilai pelayanannya semu, dan ritualnya sekedar menyenangkan umat.

Terkait dengan kualitas SDM Pemangku, menurut penulis, seorang Pemangku setidaknya harus memiliki kompetensi umum seperti yang diharapkan umat Hindu seperti berikut. Pertama, tahu struktur banten atau sesaji (penyucian, ayaban, saksi dan harapan serta ciri khas upacara); Kedua, memahami dengan baik bagaimana “men-sukla-kan” banten, sebelum dipersembahkan; Ketiga, paham bagaimana menjadikan setiap banten menjadi linggih/stana dewata; Keempat, tentu seorang Pemangku juga harus paham benar “fungsi” dan “cara bekerja” setiap banten (sesaji), dan “kapan” bekerjanya;        Kelima, setelah dewata “melinggih” di setiap banten, apa yang dilakukan oleh Pemangku dan bagaimana respon dewata dan dampaknya terhadap Pemangku dan juga yang “meduwe karya.”

Agar semua prosesi, baik “sekala” maupun “niskala” berjalan dengan hasil baik, “sida sidaning don”,  maka seorang Pemangku perlu selalu meningkatkan “Taksu Kepemangkuan” yang didasari oleh “kesadaran” serta “laku” dan “perilaku” atau sesana seorang Wanaprastin sehingga bisa menjadi teladan bagi masyarakat Hindu (* Penulis adalah Wakil Ketua Sabha Walaka Bidang Keagamaan dan Spiritualitas yang sekaligus Ketua Yayasan Dharma Sarati).

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email