Sakuni bangkit dari tempat duduknya dan mengangkat Wirocana kembali duduk berhadapan. Wirocana nampak gemetaran dan wajahnya pucat berkeringat.
Wirocana mendengar Sakuni seorang Pangeran Gandara yang kejam, licik dan licin. Pangeran Sakuni dapat berlaku dermawan bila terpenuhi keinginannya. Memikirkan ini, Wirocana hatinya kecut, dan apabila di istana ini ia diperdaya tidak akan ada yang tahu. Ia melirik para penjaga dan tembok yang tinggi. Pasti tidak dapat melarikan diri dari istana Pangeran Sakuni yang sangat licik ini, pikir Wirocana. Bukanlah Wirocana namanya bila ia tidak berhasil mengambil sikap dusta untuk menyelamatkan hatinya, apalagi nyawanya. Segera ia bersikap merendah dan tunduk. Pancingan Wirocana dengan sikap tunduk dan menyerah membuat hati Sakuni terbuai.
Dalam hati Sakuni membatin bahwa Wirocana orang yang patut dipercaya. Karenanya Sakuni ingin mendapatkan keuntungan yang banyak dari Wirocana. Sakuni juga menerapkan kelicikannya dengan berpura-pura welas asih dan merendahkan dirinya mengangkat seorang kasta rendahan untuk duduk bersamanya. Sakuni sedang membutuhkan Wirocana untuk kepentingannya sendiri. Suatu saat bisa saja Sakuni memenggal leher Wirocana. Srigala jantan berhadapan dengan srigala jantan-bukan betina. Dalam dunia perjudian, tidak ada kesetiaan abadi. Kesetiaan Wirocana adalah keuntungan dan kepentingannya.
Wirocana mulai menjelaskan tentang berbagai hal mengenai dadu. “Ampunilah kekeliruan hamba dan anak buah hamba karena hampir menyakiti paduka pada malam itu”, kata Wirocana membuka kata. Wirocana sengaja mengatur kata-katanya perlahan, sengaja memancing respon Sakuni. Tiba-tiba Sakuni membentak keras membuat Wirocana gemetaran. Dalam bentakan itu seperti ada tenaga besar yang menghantam dada Wirocana, ia terduduk dan menghela nafas.
“Wirocana !!! Aku….sebagai keluarga kerajaan bisa saja melumat dan meratakan kawasan itu bila aku mau”, kata Sakuni sambil menelisik sikap Wirocana. Kali ini Wirocana yang berbadan tambun sungguh-sungguh kehilangan nyalinya berhadapan dengan Sakuni yang kejam.
Dalam sekejap Wirocana tunduk dan kembali menenggelamkan kepalanya di lantai permadani yang lembut itu. Seorang prajurit, yang bertugas menjaga Sakuni telah mengangkat tubuh Wirocana dan siap membantingnya. Prajurit itu nampak kekar dan matanya lebar mendelik. Hanya dengan satu tangan, prajurit itu telah mengangkat tubuh Wirocana.
“Jollbadra berhenti!!! Apa yang engkau lakukan? Paman ini sangatlah penting bagiku!”, kata Sakuni membentak keras. Prajurit itu menurunkan tubuh Wirocana perlahan. Kemudian menunduk di hadapan Sakuni. Prajurit berbadan gempal itu mengundurkan diri, kemudian berdiri di tempat yang tak jauh dari Pangeran Sakuni. Sandiwara demi sandiwara mulai dimainkan. Perang dingin yang berkecamuk dalam hati mereka hanya mereka yang tahu. Namun siapakah Sakuni? Kalau bukan ahli dalam berbagai sandiwara!
“ Ampun paduka….”, katanya sambil mundur dan berdiri tegak beberapa depa dari Sakuni. Wirocana nampak ketakutan. Ia mengigil.
“Jangan takut paman Wirocana, sebagai adik Permaisuri tentu saja keamananku sangat diperhitungkan. Jangan engkau ambil hati paman Wirocana. Mari….., lalu Sakuni menuju sebuah bangunan yang telah dirancang untuk permainan dadu.
Wirocana terkagum-kagum melihat ruangan tersebut dan ornamen dadu dalam berbagai bentuk. Terdapat meja besar yang dilapisi kain bludru warna merah tua, di pinggirnya terdapat beberapa bantal besar yang dapat dijadikan tempat duduk. Namun Sakuni menyiapkan kursi pendek yang berukir indah sebagai tempat duduk yang saling berhadapan, bersila. Beberapa dayang menghidangkan berbagai jenis kue dan buah yang lezat. Tentu saja tidak ketinggalan minuman berbau alkohol.
“Paman Wirocana….”, kata Sakuni serta melirik sebuah kursi di depannya. Sakuni mempersilahkan kepada Wirocana untuk duduk di satu kursi yang berhadapan dengannya.
“Jelaskanlah seluk-beluk dadu, dan menjadi pemenang paman”, kata Sakuni meminta dengan sangat lembut namun terdengar jelas. Wirocana belum berakhir kekagumannya pada ruangan dadu ini, dan sadar ketika diminta menjelaskan berbagai hal tentang dadu. Gelagapan ia mulai menjelaskan dadudyutha.
“Baiklah pangeran…..”, kata Wirocana. Nampak Wirocana memejamkan matanya dan mengucapkan beberapa mantra untuk keberuntungan bermain judi. Dyuta. Dyutajnanam. Sakuni memperhatikannya dan tak berkedip.
“Setiap pelajaran ada gurunya paduka. Hamba belum dapat dikatakan sebagai seorang ahli. Hamba masih harus banyak belajar”, kata Wirocana seraya mengeluarkan dadu dari kontong yang terselip di pinggangnya. Sepasang dadu itu terbuat dari gading gajah, sangat mengkilat. Sakuni memperhatikan dadu yang indah itu. Lalu ia memperhatikan bagaimana Wirocana mengocok dadu itu di tangannya, sangat indah dan mempesona. Sakuni menahan nafas saking kagumnya.
“Aku ingin memahami keahlianmu itu paman Wirocana. Aku dapat memberikan kedudukan yang bagus bagimu bila engkau berhasil mengajariku dengan baik seperti dirimu”, kata Sakuni bersungguh-sungguh. Lalu, ia menengadahkan tangannya, Wirocana meletakkan kedua dadu itu di tangan Sakuni. Sakuni merasakan ada getaran magis yang menyertai sentuhan dadu yang terasa dingin. Wirocana untuk pertamakalinya tersenyum dan hatinya lega. Ia membayangkan akan mendapatkan banyak keping uang emas.
“Ampun paduka. Hamba tidak layak mengajari paduka. Guru hambalah yang patut mengajari. Hamba telah belajar selama hampir 29 tahun darinya sampai saat ini.”, kata Wirocana sambil mengangkat tangannya di dada. Namaste.
“Duapuluh Sembilan tahun? Mengapa lama paman?”, tanya Sakuni penasaran. “Membaca dadu adalah membaca jatuhnya angin tuanku. Apakah paduka mampu mendengar angin mendesir tanpa adanya benda lain? Kita mendengar desir angin karena ada daun cemara. Daun bambu atau kain yang direntangkan. Artinya seorang ahli dadu harus mampu dengan tepat mendengar jatuhnya angka.”, katanya. Pangeran Sakuni mendengarkan dengan seksama, lalu berkata : “Dimana gurumu itu paman?”, tanya Sakuni (Kendari: 28072021, 13.37)