Ketika Jokowi Bicara Pasca Panen
Seberapa Peka Pemda Bali Merespon dengan Kebijakan Nyata ?

Oleh : Wayan Windia

Akhir-akhir ini, Presiden Jokowi telah mulai berbicara tentang pasca panen. Ia menganjurkan agar petani mulai terjun ke dalam dimensi pasca panen. Untuk apa? Tentulah untuk menambah nilai tambah produksinya. Tetapi kalangan press tidak ada yang secara luas mem-blow up pikiran Presiden itu. Meskipun mendasar, tetapi tampaknya mungkin kurang menarik bagi kalangan pers. Karena saat ini di Indonesia dimensi per-politik-annya telah berkembang menjadi Panglima Besar. Kalau soal politik, khususnya soal pilpres, pastilah semua TV akan menyiarkan dalam berita head line dan bahkan mem-blow up habis-habisan.

Dalam berbagai kajian, proses pengolahan produksi (pasca panen/industri hilir) memang sangat lemah. Padahal prosentase pertumbuhan di sektor industri (pengolahan) sangat signifikan mampu menyerap tenaga kerja. Data yang menunjukkan, kalau sektor sekunder meningkat 1%, maka penyerapan tenaga kerjanya bisa meningkat 3%.

Diduga bahwa Jokowi tampaknya mendapat laporan yang akurat tentang kondisi sektor pertanian saat ini. Kondisi sektor pertanian memang sangat memprihatinkan dan sangat terpinggirkan. Sektor pertanian terus diterjang untuk menunjang sektor lainnya. Sektor pertanian (di Bali) telah dikanibal oleh sektor pariwisata. Tidak banyak ada realisasi perhatian pemerintah terhadap sektor pertanian. Angka-angka statistik yang disampaikan BPS dan Bank Indonesia (yakni NTP, sumbangan pada PDRB, dll) sudah secara nyata menunjukkan keterpinggiran sektor pertanian kita. Tetapi tidak ada aksi nyata untuk membantunya. Sektor ini tumbuh sendiri, bagaikan kerakap yang hidup di batu karang.

Saat ini misalnya, nilai produksi salak di Kabupaten Karangasem  sudah sangat  merugikan petani. Salak gula pasir yang sebelumnya bisa mencapai harga Rp. 25.000/kg, kini hanya Rp.7.000/kg. Selanjutnya salak Bali yang sebelumnya harganya bisa mencapai Rp. 12.000/kg, kini hanya Rp. 3.000/kg di tingkat petani. Nah, pada saat-saat seperti inilah diperlukan adanya industri hilir (pasca panen) untuk bisa membantu harga produksi salak milik petani.

Untuk itu, “perintah” Presiden Jokowi, agar petani bisa bermain di kawasan pasca panen, seharusnya disambut oleh semua pihak. Dalam berbagai kesempatan, Gubernur Bali Wayan Koster sudah berkali-kali mengemukakan bahwa betapa pentingnya pengembangan industri hilir di Bali. Tujuannya, agar produksi salak, jeruk, manggis, durian, mangga, anggur dan lainnya, bisa diproses dalam industri bila produksinya melimpah sehingga memiliki nilai tambah.

Bahwa faktanya saat ini keadaan petani salak dalam kondisi terjepit. Maka, hal itu berarti bahwa pikiran Gubernur Bali yang disampaikan di mana-mana (bahkan di depan mantan Menteri Riset, Bambang Brodjonegoro), belum terealisasi dengan baik. Artinya, baru sebatas wacana semata (omong doang). Pikiran yang dilontarkan Gubernur Koster, saya lihat, belum tercermin dalam anggaran pedapatan dan belanja daerah (APBD). Sebaiknya, Dinas Pertanian dan Bappeda Bali perlu dengan cerdik segera menjabarkan pikiran Gubernur, agar petani tidak terus-terusan terjepit. Kita mengetahui bahwa dalam diskusi yang dikelola oleh HKTI, ada “kesepakatan” antara Ketua Bappeda Bali dan Ketua Komisi II DPRD Bali saat itu, bahwa untuk menunjang sektor pertanian, diperlukan alokasi dana sekitar 5% dari APBD Bali.  Tetapi hingga saat ini kesepakatan itu belum ada terealisasikan (belum ada bukti).

Dalam suatu diskusi yang dikelola BEM Unud, yang berkait dengan APBD Bali, sempat dikatakan oleh kalangan petinggi di Pemerintah Daerah  Bali, bahwa yang penting bukan anggaran di APBD, tetapi bagaimana indikator sasaran dan target sektor pertanian bisa tercapai. Ah, yang benar saja. Bagaimana bisa indikator kinerja sektor pertanian bisa tercapai bila tidak ada dukungan dana dari APBD Bali. Ya, syukurlah bila ada dana dari APBN dan investor. Tetapi Pemda Bali harus siap bertaruh terhadap konsep-konsep yang dicanangkan. Jangan sekadar wacana, dan menjadi pemanis (janji-janji palsu) bagi sektor pertanian.

Diharapkan, dengan adanya pernyataan dari Presiden Jokowi,  semua pihak di jajaran pemerintah daerah harus sadar bahwa sektor pertanian memerlukan perhatian yang sepadan. Arahnya sudah digariskan bahwa petani harus diarahkan ke pasca panen. Pandangan itu sangat tepat sekali. Tetapi seberapa peka para pejabat di Pemda terhadap pernyataan Presiden. Juga, seberapa jauh kepekaan pejabat di Kementerian Pertanian untuk menjabarkan pernyataan Presiden Jokowi. Kita tahu, secara teoritis dinyatakan bahwa pembangunan di hilir (hilirisasi), jauh lebih penting dibandingkan dengan pembangunan di hulu. Jepang telah menerapkan konsep ini sejak ia membangun pada tahun 1950-an. Pembangunan di hilir jauh lebih cepat mendorong pembangunan usahatani (on-farm), dibandingkan pembangunan di hulu. Bahwa pembangunan di hilir akan langsung bisa dinikmati oleh petani dengan porsi yang lebih besar. Dibandingkan dengan pembangunan (pertanian) di hulu, yang bisa sarat dengan kepentingan kaum birokrat dan kapitalis. Lagi-lagi, ini mesti dijauhkan dari kepentingan politik, mesti murni untuk kepentingan petani. *) Penulis adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti (*).

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email