Oleh : I Ketut Puspa Adnyana, Kendari
Hutan perawan di bagian barat Kota Gajah Oya jarang dimasuki orang. Kadang-kadang pangeran remaja Bangsa Kuru bermain di sana bersama gurunya untuk melakukan latihan. Udara masih segar, matahari baru saja menyembulkan dirinya di ufuk timur, tampak temaram. Sinarnya menembus celah-celah kosong dedaunan dan membuat garis yang menakjubkan. Tuhan menciptakan keindahan yang tidak terpikirkan oleh manusia. Terdengar lenguh kijang dan bangsa satwa lainnya membuat suasana pagi terasa merdu.
Dedaunan diam karena angin belum berhembus. Sinar matahari masih sangat sejuk sehingga tidak dapat mengembangkan angin dan mendorongnya bergerak. Burung-burung berkicau saling bersautan. Ekalawya duduk di atas pohon tumbang yang besar sambil menjemur tubuhnya. Di punggungnya tergantung panah yang cukup banyak dalam wadah terbuat dari kulit kayu. Ia memegang busur, memandang ke arah terbitnya matahari.
Pangeran Gandara menutupi wajahnya bergegas melaju dengan kuda belangnya diikuti beberapa prajurit. Ia menuju ke Barat ke luar gerbang besar. Juru kunci dan penjaga pintu gerbang sudah mengetahui tanda-tanda ada Pangeran Sakuni, yang mereka tahu, pangeran itu adik permaisuri Hastinapura. Sebelumnya Pangeran Sakuni tidak membutuhkan pemeriksaan, namun semenjak terjadinya pemberontakan Tatsaka di malam itu, pengamanan diperketat. Sakuni terpaksa mengikutinya dan turun dari kudanya, menulis pada daun lontar ke mana arah dan tujuan kepergiannya. Di sana ia tulis “tirtayatra”, dengan penuh sopan prajurit gerbang mempersilahkannya. Karena memang Sakuni tak pernah membawa gerobak yang berisi mesiu, senjata atau pun hal yang mencurigakan. Keberadaan prajurit pengawal istana membuat perjalanannya lebih mudah.
Ekalawya terperanjat ketika mendengar deru langkah kuda. Ia kemudian turun dari batang kayu besar itu dan mendekatkan telinganya ke tanah memperkirakan jumlah pasukan. Ia tampak tersenyum. Sebagai seorang pemburu, Ekalawya dengan tepat bisa menghitung derap langkah setiap hewan di sekitarnya. Lalu ia menyembunyikan dirinya dalam sebuah rerimbunan perdu. Ekalawya melihat rombongan itu berhenti di bawah pohon beringin yang rindang, lalu seorang prajurit melesatkan panah api ke arah hutan pertanda kehadirannya.
Ekalawya perlahan keluar dari persembunyiannya dan mendekati Sakuni demikian juga Sakuni berserta prajuritnya menuju arah Ekalawya.
“Selamat anak muda. Engkau ternyata orang yang menghargai waktu”, kata Sakuni sambil terkekeh. Ekalawya, menaikkan kedua tangannya di dada dan menyambut kedatangan Sakuni.
“Hamba menunggu perintah pangeran, adik ipar Maharaja Hastinapura. Sungguh hamba mendapat kehormatan ditemui Raja Gandara. Selamat datang di wilayah perburuanku ini”, kata Ekalawya. Mereka saling berjabat tangan, lalu menuju batang pohon tumbang besar itu.
“Aku sangat mengagumi dan menghargai pengorbananmu, Bangsa Nisada, atas kesungguhan daksinamu kepada gurumu”, kata Sakuni membuka pembicaraan. Nampak wajah Ekalawya murung dan merasa sangat kecewa. Sakuni sengaja menekankan intonasi kata-katanya pada Bangsa Nisada, agar Ekalawya sadar akan posisi kastanya.
“Ketika aku dikatakan sebagai murid Dronacharya, hatiku sangat gembira. Tidak ada kebahagian yang lebih tinggi dari pengakuan itu. Sebagai murid, aku berkewajiban melaksanakan apa pun perintah guruku. Aku adalah murid dari seorang Wiradharma Dronacharya, murid terbaik dari Rsi Parasurama yang tersohor serta putra Rsi Baradwaja yang perkasa itu. Aku meyakininya sampai hari ini. Ini aku pegang sampai ajalku…”.
Sakuni lalu menatap Ekalawya yang menunjukkan wajah prihatin.
“Bangsamu tidak diperkenankan membaca dan belajar Weda anak muda perkasa. Lalu bagaimana engkau merangkai kata-katamu itu seolah-olah keluar dari ucapan seorang brahmana dan memahami ajaran Weda?” Sekali lagi Sakuni bermaksud untuk mengatakan bahwa Ekalawya harus tunduk pada Pangeran Gandara ini dengan merendahkan derajat Ekalawya.
Ekalawya tersenyum dan melanjutkan kata-katanya.
“Hemmm..meskipun aku seorang Bangsa Nisada, namun aku tetap manusia ciptaan Tuhan. Ayahku seorang Senapati dari kerajaan yang tidak terlalu buruk dan tidak mepersoalkan kasta seperti kalian. Aku belajar dari guruku dengan caraku sendiri. Aku mendengar perbincangan antara guru dan murid dari balik semak-semak, para pengeran Kuru dan Dronacharya guruku. Sebagai pemburu aku dapat mendengarkan suara orang asal aku melihatnya. Aku mendengar seluruh percakapan guruku. Karenanya, aku mengerti Weda. Engkau seorang ksatriya…yang memiliki niat untuk menghancurkan negeri yang memberi engkau kehidupan yang mewah. Aku berjuang seperti ini bukan untuk diriku tetapi untuk bangsa-bangsa yang tertindas, seperti bangsaku, bangsa asura dan bangsa naga?” papar Ekalawya
Sakuni kaget ketika Ekalawya menyebut Bangsa Naga, tampa sempat ia berpikir Ekalawya sudah berbicara lagi, katanya.
“Pangeran…engkau hampir saja mencelakai Tatsaka, naga yang ceroboh itu. Aku tidak akan berada pada posisi seperti itu. Aku memiliki prinsipku sendiri. Bila pun aku mau menemuimu…pangeran pagi hari ini, bukan karena kita telah sepakat, tetapi aku ingin memastikan pergerakanmu. Katakanlah apa sebenarnya yang pangeran inginkan”.
Sakuni tidak heran, meskipun ia baru pertama kali bertemu dengan orang yang gigih atas pendiriannya, ia tidak menampakkan keterperanjatannya. Lalu katanya:
“Wowww…engkau memang pilihan anak muda. Aku tahu orang tuamu yang perkasa itu, aku mengakui ayahmu patut sebagai seorang ksatriya meskipun akhirnya terbunuh di tangan Bhima, yang diperalat oleh…tukang sihir Krishna. Ya..engkau sudah tahu aku adalah adik ipar Maharaja Hastinapura, kerajaan besar ini. Bahkan kakakku adalah permaisuri yang sangat dihormati. Namun, apakah engkau dapat mengampuni Bima yang telah membunuh ayahmu”.
Ekalawya bangkit dari duduknya dalam sekejap ia melayangkan sebuah tembakan panah yang mengenai kalajengking yang menghampiri Sakuni, yang hanya kurang sejengkal dari kakinya. Sakuni terkejut dan takjub atas ketangkasan Ekalawya.
“Aku ingin engkau bersama Bangsa Asura dan Bangsa Naga menyerbu Dwaraka. Aku akan membiayai seluruh pergerakan ini”, kata Sakuni setelah menyingkirkan bangkai Kalajengking dengan sebilah kayu di sebelah pahanya.
Ekalawya tertawa terbahak membuat burung-burung beterbangan, lalu berkata : “Tentu saja aku menaruh dendam pada Bima, namun ia saudara seperguruanku. Aku tidak akan melawannya, kalaupun aku berperang nantinya atas nama salah satu kelompok itu…itu hanya karena panggilan negaraku Hastinapura” ucap Ekalawya
“Bagaimana engkau tahu akan terjadi peperangan?”, tanya Sakuni.
Ekalaya tersenyum dan mengarahkan panahnya pada tubuh Sakuni. Sakuni gelagapan, namun ia tahu anak panah itu tidak akan lepas. Ia mencoba menenangkan dirinya. Ekalawya sambil mengedorkan gandewa, berkata:
“Aku telah menjelaskan bahwa aku mendengar setiap pembicaraan dua kelompok pengeran itu: Kurawa dan Pandawa. Dua kubu yang akhirnya akan berperang untuk sebuah tahta. Itu sangat mudah ditebak. Jelaskan mengapa engkau menghendaki aku ikut dalam penyerangan Dwaraka”.
Sakuni berdiri dan meloncat dari batang pohon yang tumbang itu, lalu memanggil seorang prajurit yang membawa beberapa kantung uang emas.
“Aku ingin melenyapkan Dwaraka. Kerajaan ini penghalang terbesarku dalam mencapai tujuanku. Di sana ada Sri Krishna yang disebut sebagai Awatara Wisnu yang aku sendiri belum meyakininya, dan ada kakaknya yang berwajah tenang dan damai Balarama. Bila aku gagal dalam penyerangan ini, itu membuktikan bahwa Sri Krishna patut diyakini sebagai awatara, sehingga strategiku untuk mencapai tujuanku mudah aku rencanakan”, kata Sakuni tegas serta mengangkat satu kantong uang emas itu, sementara 4 prajurit masih memegang kantong yang lain.
Ekalawya diam dan membalik badannya dan memandang Sakuni dengan kuat,
“Engkau musuh bebuyutan Sri Wisnu sejak jaman purba…..”, kata Ekalawya. Sakuni tertawa menggelegar, tertawa yang nampak aneh intonasinya dan jarang didengar oleh orang orang biasa. Ekalawya menggigil ada perasaan gentar, beberapa orang prajurit yang menemani Ekalawya tampak terduduk.
“Perang ini kelak bukanlah antara Pandawa dan Kurawa…saudara sedarah itu. Tetapi antara Aku, Pangeran Gandara Sakuni dengan Sri Krishna….”
Ekalawya tiba tiba tertawa melengking seperti lenguh seekor kerbau yang terdengar menggelagar sehingga burung-burung kembali ambyar beterbangan.
“Aku akan membantumu sebatas pada upaya meramaikan penyerbuan ke Dwaraka. Tapi aku tidak akan mengorbankan diriku untuk dirimu Pangeran Gandara” kata Ekalawya.
Sakuni tersenyum dan memeluk Ekalawya lalu menyerahkan lima kantong uang emas itu. Setelah menerima uang emas itu, Ekalawya melesat diikuti oleh prajurit yang menemaninya. Darap langkah kuda itu membuat kepulan debu menuju ke arah kejauhan hutan. Sakuni perlahan menaiki kudanya dan melecutnya menuju Istana. Seorang yang memakai peralatan pemburu nampak berjalan perlahan meninggalkan tempat persembunyian, setelah kepergian Ekalawya dan Sakuni. Orang itu juga menuju Hastinapura lewat gerbang yang lain. (Kendari, 10.04.2020/16.28).