PERHELATAN Pilpres dan Pileg serentak secara nasional sudah usai, ada pihak yang kalah dan menang tapi mereka semua akan tetap berpikir untuk bangsa Indonesia yang dicintainya. Perbedaannya hanya masalah cara, mau membangun Indonesia dari Timur, Barat, Utara, Selatan atau dari tengah-tengah semuanya sah-sah saja, karena bangsa ini begitu besar. Lalu pertanyaannya, apa kira-kira dampak suksesi kepemimpinan Indonesia terhadap Bali saat ini dan kedepan ? Bali (Indonesia) akan ke mana ?
Dalam satu kesempatan kampanye di Buleleng, cawapres Gibran Rakabuming Raka sempat berjanji bila menang akan merealisasikan Pembangunan Bandara di Buleleng Barat. Padahal rencana itu sudah dicoret dari daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Entah apalagi janji-janji politiknya. Kita boleh percaya atau tidak terhadap janji politik.
Sebagai anggota Komisi Penilai Amdal (KPA) Provinsi Bali sejak Tahun 2011, saya mengamati gerak pembangunan Bali, hingga pandemi melanda, dan ditetapkannya UU Cipta Kerja. Bukankah Bali berani berhenti dan menyepi, seperti cukilan lagu Navikula, dkitengah derap pembangunan sarana pariwisata yang tetap kencang. Teriring pula rencana pembangunan jalan toll Gilimanuk-Mengwi (Gilimawi), yang akan “ditunggangi” berbagai investasi di sekitar jalan toll, termasuk perusahaan besar dari Amerika yang akan memangsa lahan hampir 600 an hektar di Jembrana belum terhitung lahan sawah yang akan lenyap di Tabanan dan Badung.
Akankah Hari Raya Nyepi sebatas ritual (tanpa menafikan Nyepi menjadi ajang maceki buat sebagian orang Bali yang hobi judi), tanpa mampu menghentikan nafsu pembangunan sektor pariwisata yang belum lama porak-poranda dilanda pandemi Covid-19. Untungnya, ada sektor pertanian yang masih mampu menyangga “perut” rakyat Bali, sehingga masyarakat Bali dapat bertahan hidup tanpa gejolak berarti. Dan, ke depan sektor pertanian akan semakin kurus-kering karena tergerus alih fungsi lahan. Dampaknya, petani-buruh tani yang adalah kaum marhaenis akan semakin tertekan hingga akhirnya mati, seperti sistem Subak yang juga sudah mati suri secara ideology. Faktanya, saat ini, Subak hanya menjadi ajang pembagian bantuan pupuk sintetis/kimia dan terus menengadahkan tangan ke pemerintah.
Kemarin, Sabtu, 23 Maret 2024, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) merayakan ulang tahunnya yang ke-70, umur yang tidak pendek bagi sebuah gerakan besar di bumi Indonesia. DPD GMNI Bali dan DPD Persatuan Alumni (PA) GMNI Provinsi Bali berkumpul di markas para pejuang pemikir, pemikir pejuang di Jalan Banteng Nomor 1 Denpasar, merayakan HUT sambil berdiskusi dengan tema “2024 Rekonstruksi Skema Gerakan”. Seratusan lebih anggota dan alumni GMNI berkumpul, mempererat pertemanan dan persahabatan dalam menemukan kembali ideologi nasionalisme di Abad ke-21.
Bagi saya, generasi muda harus menjadi pejuang untuk masa depan dan anak cucu kita nanti. Bali harus diperjuangkan sebagai tanah warisan leluhur yang sarat makna-makna spiritualitas manusia dan alam semesta, untuk mampu menjadi manusia yang selalu berjuang menegakkan (swa) Dharma. Konsolidasi dalam romantisme, dialektika dan dinamika dalam mengasah sensitivitas dan empati kepada semua makhluk khususnya kaum tertindas mesti digaungkan terus. Gerakan ini harus dilakukan secara holistik, karena di Bali semua pendekatan (seharusnya) dibangun dengan keterhubungan antarelemen yang kuat (konektivitas). Semua kader GMNI yang tersebar di semua unsur masyarakat (ASN, Legislatif dan yudikatif, wartawan, pengusaha/UMKM, petani, LSM) harus dikonsolidasikan untuk bergerak di ranahnya masing-masing dalam satu irama terpadu menuju Bali yang Jagadhita (menjadi kekuatan alam semesta), Bali yang Santih, damai (menjadi kekuatan manusia untuk menggaungkannya). Bali, di tangan GMNI mesti terus menggaungkan doa Loka Samasta Sukinoh Bhavantu.
Sektor pariwisata tidak boleh membunuh “ibu kandungnya” sendiri yaitu sektor pertanian dan kebudayaan dan kearifan lokal Bali. Spirit GMNI, prinsip keseimbangan senantiasa harus dijaga oleh semua elemen. Bali boleh maju sesuai derap kemajuan jaman, tapi tidak boleh menyingkirkan prinsip hidup untuk menghidupkan (sekala-niskala). Perda tentang batas ketinggian maksimal bangunan tidak boleh dinilai sebagai bentuk kekolotan, alias tidak mau atau menolak maju. Pertanyannya buat kita semua, Bali mau maju seperti apa? Dan mau ke mana ? Apakah akan ada kota metropolis di Bali dengan kemegahan bangunan menjulang, sedang di beberapa wilayah komunitas tengah berjuang untuk mempertahankan adat budayanya sembari rakyatnya berkutat bertahan hidup terhimpit hirup-pikuk pariwisata Bali yang bergelimang dolar namun dolarnya mengalir ke luar Bali ?
Adat budaya yang masih kita warisi (menjadi daya lenting Bali untuk bertahan dari gempuran budaya luar) adalah kebersamaan, menyama braya, paras-paros sagilik-saguluk salunglung sebaya antaka, saling asah-asih-asuh, menggunakan alam sebagai simbol persatuan dan kebersamaan dalam menjaga dan memelihara tradisi warisan tetua Bali, yang sudah diperkirakan leluhur akan mengalami banyak gempuran atas nama kemajuan jaman.
Mari kita lihat Masyarakat Adat Dalem Tamblingan yang terdiri dari 4 desa (Gobleg, Munduk, Umejero dan Gesing) yang kerap disebut sebagai Catur Desa. Mereka tengah berjuang untuk mendapat hak pengelolaan atas kawasan hutan “Alas Merta Jati” di sekitar Batukaru dan Tamblingan, yang menjadi hulu bagi belasan desa (di wilayah Tabanan dan Buleleng) yang menikmati air dari hutan dan danau. Ritual “ngiringang” Ida Bhatara Sesuhunan dan para Dewa dari Tamblingan ke Labuhan Aji dengan berjalan kaki masih berjalan hingga sekarang. Dalam ritual tersebut, semua masyarakat di desa-desa yang dilewati akan menyiapkan makanan dan minuman. Di Pura Labuhan Aji mereka “makemit” selama 3 hari, dan lagi-lagi masyarakat yang menerima manfaat air dari hutan dan danau menyediakan makanan yang disebut sebagai “paica”. Indahnya kebersamaan (sebagai kekuatan, atas tuntunan paswecan Ida Betahara). Dan, Bali masih kukuh menyimpan keindahan itu.
Para leluhur sudah meletakkan dasar-dasar dan senantiasa mengingatkan kita lewat berbagai ritual, tinggal apakah orang Bali memiliki kesadaran itu atau tidak. Skema Gerakan GMNI ke depan tidak hanya sebatas demonstrasi, advokasi, kaderisasi, tapi harus diperkaya dengan penguatan spritualitas manusianya, kadernya dan alam semesta, karena di situ ada energi (power, taksu) yang senantiasa bergerak dan berubah bentuk. Ada pelajaran tentang Mekanika Kuantum, Pseudoscience, Biodymanic hingga Tantra. Pelajaran yang akan memberi perspektif tentang energi, keterhubungan dan keseimbangan, karena kita menghadapi musuh besar yang semakin menghegemoni lewat kekuatan kapital dan neoliberalisme.
Dalam pemotongan tumpeng, Bung Kariyasa Adnyana, anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Daerah Pemilihan Bali sekaligus Sekretaris DPD PA GMNI Bali mengatakan, perjuangan GMNI harus semakin mengerucut pada kekuatan para kader sebagai pejuang pemikir-pemikir pejuang yang nantinya akan memegang posisi-posisi penting di semua elemen pemerintah, masyarakat dan swasta sehingga Bali akan berjalan menuju kemajuan yang dinamis tanpa melupakan tradisi leluhur, adat budaya dan alamnya. Bali diharapkan semakin kokoh dalam konstelasi kebangsaan hingga konstelasi global. Karenanya, GMNI penting untuk Bali, Bali penting untuk Nusantara dan Nusantara penting untuk dunia. “Let’s build a world a new”. Merdeka !!!(Oleh : I Made Iwan Dewantama, Kader GMNI Yogyakarta dan Wakil Ketua Bidang Kaderisasi, Organisasi dan Kepemimpinan DPD PA GMNI Bali 2019-2024).