Oleh : I Ketut Puspa Adnyana*
Om Swastyastu
PENGANTAR
Teriring doa, semoga semua makhluk berbahagia. Tulisan ini adalah wujud dari keinginan yang besar untuk memahami apa sebenarnya Sampradaya, yang sejak menjadi pengurus Parisada terdengar sayup-sayup. Keinginan itu menjadi terkuak kembali karena beberapa waktu terakhir kata Sampradaya banyak menjadi perbincangan, bukan saja di kalangan umat Hindu. Tulisan ini dapat dikatakan merupakan rajutan yang benangnya warna-warni dari berbagai sumber referensi yang dapat dipercaya. Kalaupun ada kejanggalan dan kesalahan, hal itu terjadi karena kelalaian saya dalam mengutip, menganalisis dan menarasikan, kiranya dapat dimaafkan.
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari, setiap manusia menunjukkan prilaku kehidupan yang berbeda-beda. Ada yang berkarakter positif (subhakarma) dan ada pula yang berkarakter negatif (asubhakarma). Dualisme ini tidak dapat dihindari dan merupakan kenyataan hidup. Manusia dapat memilih mengembangkan satu di antara kedua karakter tersebut atau menggabungkannya. Naluri manusia dengan adanya budhi cenderung berkarakter positif yang bermanfaat untuk manusia dan mahluk lainnya. Karakter positif ini menjadi harapan setiap manusia di seluruh belahan bumi, tidak dibedakan oleh asal-muasal, jenis kelamin, pekerjaan dan agama yang dianut.
Semua agama besar di dunia seperti Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, Khong Hutcu, Sinto dan lainnya mengajarkan agar pemeluknya mengembangkaan karakter positif. Penganut agama tersebut dan lembaganya mendirikan tempat belajar dan sistem belajar sendiri yang menjadi pusat belajar agama mereka. Di Indonesia, penganut Islam misalnya, memiliki sistem pendidikan Pesantren, Kristiani memiliki Seminari/Paroki, Hindu memiliki Pasraman/Aguron-guron dan demikian juga agama lainnya.
Dalam perkembangannya, setiap agama tersebut memiliki rohaniawan (guru suci atau nama lain). Guru suci dengan yang lainnya sangat mungkin berbeda pendapat dan menafsirkan ajaran agamanya. Misalnya, Islam paling sedikit terdapat tujuh aliran. Kristen kita kenal terfragmentasi menjadi Katolik dan Protestan. Hindu dengan sangat banyak Ista Dewatanya menyebabkan timbul banyak aliran atau sekte, yang pada masa lalu disebut sakha, yang tidak berbeda dengan Sampradaya.
PENGERTIAN SAMPRADAYA
Hindu mengenal banyak Ista Dewata. Dalam pustaka suci Reg Weda, ista dewata yang sering disebutkan adalah Indra, Wayu/Marut, Agni, Aswin dan lainnya. Sementara itu dalam Maha Purana yang sering disebut adalah tiga Ista Dewata utama yaitu: Brahma, Wisnu dan Siwa, yang selanjutnya sering disebut Trimurti. Namun demikian, nama-nama Ista Dewata seperti Indra, Wayu, Surya, Agni, Yama, dan lainnya juga disebutkan dalam Maha Purana dan Itihasa. Kemudian muncul juga nama-nama Sri atau Sakti Trimurti yaitu: Saraswati, Laksmi dan Parwati/Durga. Umat Hindu juga memuja Ganesha dan Awatara misalnya: Sri Rama, Sri Krishna dan Hanuman. Pemujaan terhadap ista dewata melahirkan sakha, sekte atau aliran yang dalam Itihasa dan Purana disebut Sampradaya. Guru yang memiliki garis keturunan dari sakha di dalam Bhagawad Gita disebut guru-parampara (BG.IV.2).
“evaà paramparä-präptam, imaà räjarñayo viduù, sa käleneha mahatä, yogo nañöaù parantapa”
Artinya: “Wahai Arjuna, demikianlah diteruskan turun-temurun, para raja rsi mengetahuinya, ajaran ini lenyap di dunia bersamaan dengan berlalunya masa yang amat panjang”
Setiap kelompok pemuja yang terhimpun dalam Sampradaya memiliki buku pedoman atau semacam statuta yang disebut Upanisad. Dengan demikian, Sampradaya memiliki tradisi yang terkait dengan guru parampara, Upanisad dan pengikut yang disebut bhakta (pemuja). Untuk menjadi anggota sebuah Sampradaya, seseorang harus melewati inisiasi atau semacam ritual wisuda yang disebut dhiksa.
Berdasarkan uraian tersebut, Sampradaya adalah komunitas pembelajaran spiritual yang memiliki garis perguruan yang jelas (guru parampara), memuja salah satu Ista Dewata dan mempelajari beberapa aspek ajaran Weda dengan tata cara yang jelas sesuai dengan hal yang menjadi kesepakatan perguruan dalam bingkai ajaran Weda.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa Sampradaya seperti sebuah sekolah kejuruan yang memiliki ciri khas tersendiri dengan guru dan instruktur yang terlatih dan profesional pada bidang kejuruannya serta memiliki kostum yang khas yang mencirikannya. Padanan ini hanyalah sebuah ilustrasi untuk memudahkan pemahaman mengenai Sampradaya, dengan pikiran manusia yang terbatas, tidak bermaksud untuk mengecilkan Sampradaya yang lebih bersifat rohani atau spiritual.
Para bhakta sebuah Sampradaya memuja Ista Dewata dengan aturan yang ketat berdasarkan ajaran Weda, yang berlandaskan pada konsepsi Nawa Vidha Bhakti atau 9 teknik dalam memuja Ista Dewata atau Brahman, berdasarkan waktu (dauh) yang ketat pada hitungan detik dan menit dalam frekuensi tertentu. Hal ini dapat dipahami, karena vibrasi setiap waktu dalam ajaran Hindu dipilahkan dengan jelas terkait dengan payogan Ista Dewata. Sampradaya juga memiliki ritual dengan sarana ritual sendiri yang mungkin sama atau berbeda dengan Sampradaya lainnya.
KELOMPOK SAMPRADAYA BERDASARKAN ISTA DEWATA
Sampradaya merupakan keniscayaan dari ajaran Weda, karena para bhakta adalah penekun ajaran Weda (meskipun hanya pada beberapa aspek saja). Ajaran Weda sangatlah luas dan dalam Bhagawad Gita dijelaskan bahwa dalam satu kelahiran tidak akan dapat memahami ajaran Weda secara utuh sehingga dibutuhkan kelahiran demi kelahiran untuk memahaminya. Pada awalnya, Weda tidak tertulis, namun menjadi hafalan para guru parampara dan bhakta dari sebuah Sampradaya. Menjelang berakhirnya Dwapara Yuga dan munculnya Kaliyuga ajaran Weda baru ditulis. Yang menghimpun dan mengkodifikasi Weda adalah Maharsi Weda Wyasa yang nama aslinya Krishna Dwipayana (putra dari Maharsi Parasara dengan Dewi Satyawati). Kodifikasi ajaran Weda dihimpun dari perguruan-perguruan yang ada pada saat itu, berupa wahyu yang diterima langsung dari sang guru. Dalam proses penulisannya Maharsi Weda Wyasa mendiktekan kepada Dewa Ganesha yang kemudian menuliskannya dengan potongan gadingnya. Usia Ajaran Weda tertulis telah mencapai lebih dari 5.000 tahun, berdasarkan perhitungan terjadinya perang besar wangsa Bharata/Kuru. Konon hanya sekitar 28 persen dari seluruh ajaran Weda berhasil ditulis yang diwariskan sampai sekarang. Setelah Maharsi Weda Wyasa selesai menulis Catur Weda, muncul kegelisahan beliau berupa perasaan yang galau atas apa yang Beliau tulis. Atas dasar itu lalu beliau melakukan samadhi untuk memperoleh petunjuk Mahadewa. Maharasi Weda Wyasa mendapat petunjuk bahwa Beliau harus menulis lagi sebuah kitab yang kemudian dikenal dengan Srimad Bhagawatam. Dalam Srimad Bhagawatam ditemukan istilah Sampradaya.
Dalam ajaran Hindu ada 4 (empat) kelompok tradisi pemujaan atau Sampradaya, yaitu: Saiwa Sampradaya; Waisnawa Sampradaya; Shakti Sampradaya; dan Smartha Sampradaya. Pengelompokan ini sebenarnya tidaklah tegas, tetapi terjadi perangkapan, terutama shakti dan Smartha. Disamping itu terjadi juga asosiasi antara satu Sampradaya dengan Sampradaya yang lainnya, misalnya Gaudiya Sampradaya (asosiasi Brahma Sampradaya). Hal ini terjadi karena Hindu memberikan kebebasan dalam menempuh jalan spiritual menuju Tuhan (Brahman).
Tradisi Saiwa/Saiwa Sampradaya
Paham Siwaisme memuja Siwa sebagai Tuhan Tertinggi, baik immanen maupun transenden. Yang menerapkan monisme atau nondualisme. Juga dikenal sebagai penari Nata Raja dan lingga yang tanpa pangkal dan akhir. Juga dikenal sebagai Dewa Bhairawa.
Saiwa Sampradaya meliputi : Saiva Siddhanta, atau disebut juga Nandinatha Sampradaya atau Maykandar Sampradaya; Shiva Advaita sampradaya; Phasupatha Sampradaya; Aghory Sampradaya; Adinath Sampradaya atau Adisidhanta Sampradaya; Ichegery Sampradaya; Linggayat Sampradaya; dan lainnya.
Tradisi Waisnawa/Waisnawa Sampradaya
Paham Waisnawa memuja ista dewata Sri Wisnu sebagai Tuhan tertinggi (Svaya Brahman). Penganut Waisnawa juga memuja dan percaya pada 10 awatara Wisnu (dashawatara). Dua di antara awatara tersebut yang terkenal adalah Sri Rama (Ramayana) dan Sri Krishna (Mahabbharatha). Paham Waisnawa dikenal pula dengan Waisnawa Sampradaya, yang meliputi: Sri-Vaishnava Sampradaya; Sadh-Vaishnava Sampradaya; Ramanandi Sampradaya, atau disebut juga Ramayat Sampradaya, atau Ramavat Sampradaya; Brahma Sampradaya; Gaudiya Vaishnawa Sampradaya (berasosiasi dengan Brahma Sampradaya); Kumara Sampradaya; Rudra Sampradaya; Swaminarayana Sampradaya; Waikhanasa Sampradaya; Krishna Pramani Sampradaya; Warkari Sampradaya dan lainnya.
Tradisi Shakti/Sakti Sampradaya
Penganut paham Shakti memuja Sakti dari Trimurti yang meliputi Prawati/Durga, Laksmi dan Saraswati. Paham ini sangat dekat dengan tantra dalam ajaran Hindu. Parwati sebagai sakti dari Mahadewa/Siwa. Laksmi sakti dari Sri Wisnu dan Saraswati merupakan sakti dari Brahma.Tidak banyak disebutkan dalam referensi sampradaya yang termasuk di dalamnya. Shakti Sampradaya meliputi: Kaikula Sampradaya dan Srikula Sampradaya.
Tradisi Smartha/Smartha Sampradaya.
Paham Smartha memandang bahwa dewa-dewa adalah sama sehingga dalam pemujaan mereka memuja Pancopasona atau Pancadewatha, baik saguna maupun nirguna. Dalam hubungannya dengan Tuhan, mereka mengenal konsep Saguna Brahman dan Nirguna Brahman. Dalam konsep ista Dewata, mereka percaya Saguna Brahman yaitu Brahma, Wisnu, Siwa, Ganesha dan lainnya.
MATRIK PERBANDINGAN SAMPRADAYA UTAMA
URAIAN | KELOMPOK SAMPRADAYA | |||
Siwa Sampradaya | Waisnawa Sampradaya | Shakti Sampradaya | Smartha Sampradaya | |
Kitab Suci Utama | Weda, Upanisad, agama, | Weda, Upanisad, agama, | Weda, Upanisad | Weda, Upanisad |
Ista Dewata | Dewa Siwa | Dewa Wisnu | Dewi | – |
Pencipta | Dewa Siwa | Dewa Wisnu | Dewi | Brahman |
Awatara | Kuat | Kunci Utama | Sangat kuat | Lemah |
Monastik | Merekomendasikan | Menerima | Manerima | Merekomendasikan |
Ritual | Tegas | Menegaskan | Menegaskan | Pilihan |
Ahimsa dan Vegetarian | Merekomendasikan, Pilihan | Menegaskan | Pilihan | Merekomendasikan, Pilihan |
Keinginan Bebas, Maya, Karma | Menegaskan | Menegaskan | Menegaskan | Menegaskan |
Metafisik | Brahman (Siwa), Atman (Jiwa, Diri) | Brahman (Wisnu), Atman | Brahman (Dewi), Atman | Brahman, Atman |
Epitemologi (pramana) | Persepsi, Kesimpulan, Kesaksian Handal, Pembuktian diri, | Persepsi, Kesimpulan, Kesaksian Handal, | Persepsi, Kesimpulan, Kesaksian Handal, | Persepsi, Kesimpulan, Kesaksian Handal, Perbandingan dan analogi; Postulasi, Derivasi, Bukti Kognitif, Pembuktian diri
|
Filosofi | Dwaita, adwaita berkualitas, Adwaita | Dwaita, adwaita berkualitas, Adwaita | Shakti-Adwaita | Adwaita |
Keselamatan (Soteriologi) | Jivanmukta, Karya–Kriyā–Yoga–Jnana |
Widehamukti, Yoga, Kehidupan rumah tangga baik, | Bhakti, Tantra, Yoga | Jivanmukta, Advaita, Yoga,
Kehidupan monistik yang baik |
Berdasarkan pada paparan tersebut, tampak adanya pengulangan aspek ista dewata yang dipuja terutama pada paham Shakti dan Smartha. Dari beberapa referensi mengenai Sampradaya tidak disebutkan Sampradaya yang termasuk di dalamnya. Namun demikian, terdapat juga beberapa tradisi pemujaan/Sampradaya yang lainnya dalam ajaran Hindu. Sampradaya yang lain yang tidak termasuk dalam empat Sampradaya utama, dijelaskan sebagai berikut.
Tradisi Surya/Surya Sampradaya
Dalam ajaran Weda juga disebutkan ada beberapa tradisi pemujaan, termasuk Tradisi Surya. Paham ini memuja Dewa Surya sebagai Saguna Brahman. Tradisi Surya ini mengalami kejayaannya pada abad ke-12 dan 13 dan sekarang masih terdapat di Bihar Jankhar dan Utar Pradesh. Konak Sun Temple merupakan salah satu kuil peningggalan Surya Sampradaya.
Tradisi Ganapata/Ganapata Sampradaya
Kelompok Ganapata Sampradaya memuja Dewa Ganesha sebagai Saguna Brahman (Tuhan Berwujud). Penganut Ganapata Sampradaya berkembang di wilayah Maharasthra.
Sampradaya-sampradaya berikutnya merujuk atau berlindung pada garis perguruan dari empat Samparadaya Utama. Apabila sebuah Sampradaya, guru paramparanya tidak menginduk pada Sampradaya utama, perguruan tersebut tidak bisa disebut Sampradaya tetapi disebut Apasampradaya. Apasampradaya adalah Sampradaya yang tidak memiliki guru parampara yang berasal dari salah satu dari empat Sampradaya utama, meskipun mereka mempelajari ajaran Weda dan melakukan pemujaan sesuai dengan ajaran Weda. Karena ruh atau penegas ciri dari Sampradaya adalah guru parampara, maka dikhawatirkan Weda yang diajarkan menyimpang dari maknanya dalam proses belajar dalam apasampradaya.
Umat Hindu dianjurkan untuk menghindar belajar pada apasampradaya. Namun, dewasa ini ditemukan ratusan apasampradaya di India dan selalu dirilis oleh lembaga yang berwenang. Tidak dilarang, namun umat harus memahami ke mana ia harus belajar. Komersialisasi ajaran Weda untuk kepentingan ekonomi atau keuntungan telah menjadi bagian dari ciri beragama dewasa ini (Kaliyuga).
Institute, universitas atau sekolah tinggi Hindu merupakan pendidikan formal. Perlu kajian yang lebih mendalam apakah institusi ini masuk Sampradaya atau lainnya. Karena di sini ada proses belajar Weda dari aspek ilmu pengetahuan dengan kaidah-kaidah ilmiah. Meskipun mereka (para dosen dan mahasiswa) tidak diinisiasi atau di-dhiksa, namun mereka memiliki pengetahuan yang lengkap tentang ajaran Weda.
Menurut Bhagawad Gita, mempelajari ajaran Weda harus dibimbing oleh seorang guru suci, karena hanya guru sucilah yang memahami makna dan tafsir dari ajaran itu. Sampradaya yang kemudian tumbuh, tidak lepas dari Sampradaya utama tersebut dikembangkan oleh guru parampara yang terus mengalami suksesi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seluruh Sampradaya yang pernah ada merupakan garis perguruan dari Sampradaya utama tersebut.
KEUNIKAN SAMPRADAYA
Sampradaya menjadikan ajaran Weda sebagai pedoman dalam menemukan sumber pengetahuan sejati (sang diri yang sejati). Sampradaya memiliki empat keunikan yang utama, yaitu: (1) Setiap Sampradaya mengangkat dan mengembangkan bagian tertentu dari ajaran Veda beserta ista dewatanya. (2) Setiap Sampradaya memberikan bhasya/tafsir ajaran Weda sesuai peraturan perguruan, yang kemudian disebut upanisad; (3) Setiap Sampradaya bersaing secara sehat untuk mempelajari dan menjaga autentifikasi atau keaslian Ajaran Weda; (4) Setiap Sampradaya mampu berdebat dalam suasana tenang dan saling menghargai serta tidak menistakan atau “menyesatkan” Sampradaya yang lain.
Sampradaya dapat dikatakan sebagai upaya untuk menjaga kemurnian ajaran Weda. Pada Sampradayalah umat belajar ajaran Weda. Pada dasarnya salah satu kebenaran adalah adanya perubahan yang terus-menerus, bukan saja alam semesta tetapi juga manusia. Sampradaya adalah himpunan manusia, dan manusia memiliki karakter cenderung berubah pikirannya. Perubahan pikiran ini akibat belenggu triguna. Adanya guru parampara (guru suci) menjamin kemurnian ajaran Weda tetap terjaga. Hal ini terjadi karena setiap Sampradaya mempelajari dan menjaga kemurnian ajaran Weda bersama para guru suci dan sisya yang telah memiliki kesadaran dan kebijaksanaan. Dalam suasana demikian, perdebatan dapat dipastikan berjalan dengan damai dan tetap menjaga sikap sebagai sebuah Sampradaya yang mengimplementasikan ajaran Weda dalam kehidupan. Dalam Bhagawad Gita IV. 19 disebutkan:
“Yasya sarve samarambah, kama-sankalpa-varjitah, jananagni-dgadha-kamarnam, tam ahuh panditam budhah”
Artinya: “Ia yang bekerja dalam semua kerjanya tidak terikat oleh motif atau karma, yang karmanya terbakar oleh api pengetahuan, sesungguhnya orang bijaksana menamakannya pendeta”.
MANFAAT SAMPRADAYA
Apa pun yang ada di dunia ini memiliki manfaat. Pada dasarnya manfaat ada dua, manfaat positif dan negatif. Memperhatikan eksistensi Sampradaya sebagai kelompok pembelajar spiritual berdasarkan ajaran Weda, dapatlah dimaknai dan dipastikan bahwa Sampradaya memiliki manfaat sangat positif bagi Hindu dan umat Hindu.
Ada beberapa manfaat Sampradaya, yaitu : (1) tempat belajar Weda yang tepat, karena adanya guru parampara dan peraturan perguruan memberikan kepastian tentang proses dan hasil akhir pembelajaran Weda yang tepat dan tidak menyimpang; (2) menjaga kemurnian ajaran Weda, yang implementasinya cenderung berubah sesuai dengan tingkat kematangan manusia dalam belenggunya oleh triguna. Namun, karena adanya guru suci tetap dapat menjaga kemurniannya; (3) membangun kesadaran sejati dalam menemukan diri sebagai stana Tuhan (badan manusia sebagai altar Tuhan) sehingga dapat hidup berkeseimbangan; (4) berlomba menunjukkan sikap dan prilaku yang patut diteladani dalam menjalankan hidup berdasarkan ajaran Weda, tanpa mengganggu kepentingan individu atau kelompok/Sampradaya lainnya; (5) tempat mencari solusi atas berbagai kesulitan dan kerumitan hidup keseharian, baik lahiriah maupun batiniah.
CIRI-CIRI SAMPRADAYA
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kodifikasi Catur Weda didasarkan pada himpunan ajaran Dharma yang terdistribusi pada guru parampara (guru suci) yang menerima wahyu. Setiap guru suci memiliki garis perguruan atau Sampradaya. Berdasarkan uraian sebelumnya, mengenai keunikan dan manfaat Sampradaya dapat disusun ciri-ciri Sampradaya, yaitu:
- Mempelajari Pustaka Suci Weda sebagai sumber utama ajarannya: yang disebut juga ajaran Sanathana Dharma;
- Adanya guru suci/guru parampara yang terus-menerus, menurun dalam garis perguruan;
- Menjaga kemurnian ajaran Weda agar tidak terjadi salah penafsiran dan pemaknaan dalam kehidupan lahiriah dan rohani;
- Menginduk pada salah satu dari 4 (empat) Sampradaya utama;
- Adanya inisiasi (dhiksa) bagi suksesi guru suci/guru parampara dan pengangkatan sisya;
- Menunjukkan keteladanan sikap dan prilaku dalam mempelajari dan mengimplementasikan ajaran Weda dalam kehidupan sehari-hari;
- Bersedia melakukan debat terbuka dengan sikap yang damai, saling menghormasi dalam posisi sejajar dan menerima dalam bingkai ajaran Weda yang ditujukan, bukan untuk mencari kalah-menang, tetapi kesejahteraan manusia;
- Melakukan kegiatan lahiriah dan batiniah (spiritual) sesuai dengan garis perguruan tanpa mengganggu keberlangsungan kegiatan Sampradaya yang lain.
KEBERADAAN SAMPRADAYA DI INDONESIA DAN DUNIA
Sampradaya telah menyebar ke berbagai belahan bumi sejak adanya ajaran Weda. Awalnya ada sekitar 1.018 shaka dalam ajaran Hindu, yang jumlahnya naik dan turun seiring perkembangan waktu. Pada abad ke-4 ada informasi shaka di India telah menyebar ke berbagai belahan bumi. Tujuannya untuk menjajal pengetahuan spiritual kelompok-kelompok pembelajar di belahan bumi, untuk membuktikan bahwa India unggul dalam ajaran spiritual yang berbasis ajaran Weda. Menurut publikasi online PHDI Pusat, saat ini ada sekitar 300 Sampradaya di dunia. Sumber lain menyebutkan ada sekitar seratus apasampradaya yang ditertibkan di India
Penertiban Sampradaya ini juga pernah terjadi di Indonesia, khususnya di Bali pada abad ke-11 pada masa pemerintahan Raja Udayana. Penertiban tersebut dilaksanakan dalam sebuah pesamuhan besar oleh Paduka Mpu Kuturan yang menjabat sebagai Purohita Kerajaan dan juga Senapati. Pada saat itu di Bali ada 13 Sampradaya, yaitu : Brahma, Siwa Sidantha, Boudha, Waisnawa, Linggayat, Ganapatha, Indra, Kala, Tantrayana, Sambu, Saurapatha, Waisnawa dan Pasupatha.
Pesamuhan besar itu menghasilkan kristalisasi Sampradaya menjadi Trimurti, yang dikembalikan kepada 4 Sampradaya utama. Kristalisasi Sampradaya tersebut dilakukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan di Bali, karena pada saat itu antarsampradaya terjadi salah pengertian dan pertentangan yang tajam. Komunikasi tidak terwujud sebagaimana ciri Sampradaya yang seharusnya membuka debat terbuka dan tidak bermaksud untuk mencari kalah dan menang, dalam bingkai Hindu Raya di Bali (sebutan Agama Hindu saat itu belum dikenal, namun istilah-istilah ajaran Hindu sudah dilaksanakan oleh para pendeta dan masyarakat adat Bali).
Setelah kristalisasi sekitar abad ke-11, selanjutnya lebih dari 1.000 tahun tidak disebutkan lagi mengenai Sampradaya. Sampradaya hilang bersamaan dengan lahirnya desa pakraman dan Kahyangan Tiga di Bali. Budaya “nyantri” sebagai salah satu bentuk kegiatan aguron-guron di setiap Sampradaya tak nampak lagi. Griya sebagai pusat pergerakan Agama Hindu pasca kritalisasi mulai nampak perannya, dan akhirnya muncullah istilah Siwa-Budha dan sarwa sadaka di Bali dalam kegiatan yajna. Akar dari Sampradaya yang pernah ada di Bali kemudian menunjukkan keberadaannya. Misalnya dapat kita lihat dalam pelaksanaan upacara-upacara besar.
Sesuai dengan perkembangan dinamika semangat untuk menggali laku spiritual pada zaman modern ini juga Sampradaya terus berkembang. Ada beberapa Sampradaya yang telah berkembang sejak abad ke-19 sampai dengan abad ke-20, terutama di India.
Beberapa Sampradaya modern tersebut juga sampai di Indonesia. Sampradaya tersebut meliputi: Adi Dharma (Brahmo Samaj, Sadharan Brahmo Samaj); Ananda Marga; Arya Samaj; Ayyavazhi; Brahma Kumaris; Chinmaya Mission; Divine Life Society; Hanuman Foundation; Himalayan Institute of Yoga Science and Philosophy; Hindutva; Isha Foundation; Mahima Dharma; Matua Mahasangha; Prarthana Samaj; Ramakrishna Mission/Ramakrishna Math; Sahaja Yoga; Sathya Sai Organization; Self-Realization; Fellowship/Yogoda Satsanga; Shri Ram Chandra Mission; Sri Aurobindo Ashram; Swadhyay Parivar; Swaminarayan Sampradaya; Transcendental Meditation; dan lainnya.
Dewasa ini, dalam kisaran dunia modern dalam khasanah Ajaran Weda ada beberapa Sampradaya yang masuk Indonesia, khususnya Bali yaitu: (1) Brahma Kumaris yang didirikan oleh Paduka Brahma Dada tahun 1930 an, memiliki cabang di 110 negara, (2) Hare Krishna/ISKCON yang didirikan di New York dan berkembang di berbagai negara di hampir semua Benua, yang menjadikan Paduka Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabupada sebagai pendiri dan satguru, yang terus menurunkan ajaran kepada murid-murid yang layak menerima suksesi. Kelompok Hare Krishna termasuk dalam Gaudiya Waishnawa Sampradaya; dan (3) Sai Study Group (SSG) yang menempatkan Paduka Sadguru Bhagawan Sri Sathya Sai Baba sebagai guru suci tunggal yang merupakan reinkarnasi Paduka Sirdi Baba yang juga berkembang di seluruh dunia.
Paduka Sirdi Baba adalah reinkarnasi dari Paduka Dattareja, seorang brahmana yang menginjinkan persembahan bersama tanpa melihat latar belakang asal-muasal. Ketiga Sampradaya ini berkembang di Indonesia dan telah diikuti oleh cukup banyak kalangan, termasuk di Bali. Berikut digambarkan secara umum profil dari 3 Sampradaya yang ada di Indonesia.
Hare Krishna
Sampradaya Hare Krishna yang dimotori lembaga ISKCON mendasari ajarannya pada Bhagawad Gita dan Srimad Bhagawatam, dengan menempatkan Paduka Sri Krishna (Awatara Sri Wisnu) sebagai Tuhan tertinggi. Sampradaya Hare Krishna menginduk pada Gaudiya Waishnawa Sampradaya yang diayomi oleh Waisnawa Sampradaya (salah satu dari 4 Sampradaya utama). Dalam tata kehidupan spiritual para bhakta Hare Krisna mendasari teknik memuja Tuhan Sri Krishna dengan berpedoman pada salah satu atau gabungan dari Nawa Vidha Bhakti.
Para bhakta Hare Krishna mudah dikenali karena menunjukkan penampilan yang khas sesuai dengan pedoman perguruan, baik cara berpakaian dan model rambut dikuncir. Mereka menggunakan tali pawitra yang diselempangkan di bahu. Ada 4 prinsip yang harus ditaati, yaitu: vegetarian; tidak meminum minuman keras; tidak berjudi dan tidak melakukan hubungan sek yang tidak sah. Sumber ajaran yang utama adalah Pustaka Suci Bhagawad Gita, Upanisad, Darsana dan lainnya.
Hare Krishna berkembang pertama kali di New York, tahun 1966, yang kemudian berkembang ke seluruh dunia oleh Paduka Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabupada. Hare Krishna adalah bagian dari Hindu, meskipun dalam wacananya di New York, Swami Parabupada menyatakan tidak mengajarkan Hindu, namun Mahkamah Agung India menetapkan bahwa Hare Krishna adalah Hindu dan diperbolehkan masuk ke semua mandir di India.
Brahma Kumaris
Brahma Kumaris yang didirikan tahun 1930an oleh Brahma Baba, nama aslinya Dada Lekhraj Kirpalani di Hyderabad Sidh (sekarang bagian dari Pakistan) berkantor di Mount Abu (Gunung Abu), Rajashtan, India. Brahma Kumaris termasuk Organisasi Spiritual terbesar di dunia sekarang ini yang mengedepankan perempuan sebagai pemimpin, memiliki cabang di 110 negara. Masuk Indonesia sekitar tahun 1989, memiliki kantor cabang di Jakarta dan Bali.
Brahma Kumaris menekankan pada pentingnya dharma dari setiap agama, yang diciptakan Tuhan untuk membantu manusia menemukan jati dirinya. Pelajaran utama yang dilaksanakan adalah Latihan Dasar Meditasi Raja Yoga untuk memberikan pemahaman praktis tentang hubungan antara jiwa dan unsur alam, serta pemahaman tentang interaksi antara jiwa, Tuhan dan dunia material. Latihan yoga ini memfasilitasi perjalanan bathin peserta dalam cara yang efisien dan efektif, meliputi pelajaran tentang : kesadaran dan realisasi diri; koneksi dan hubungan dengan Tuhan; hukum karma; siklus waktu; Pohon Kehidupan; dan gaya hidup spiritual.
Dharma merupakan unsur penting dalam setiap agama menjadi fokus Brahma Kumaris, yang bertujuan untuk penanaman prinsip universal, diajarkan oleh Tuhan untuk kemanusiaan, untuk pembaharuan dan perbaikan rohani. Melalui dharma, seseorang akan memiliki kesadaran spiritual untuk membawa keadilan, kedamaian dan kesejahteraan pada kemanusiaan. Brahma Kumaris sadar betul bahwa setiap jiwa apa pun agamanya dibentuk secara rohani oleh hubungannya dengan Tuhan. Dalam melaksanakan kegiatannya, Brahma Kumaris berpedoman pada Ajaran Weda khususnya Bhagawad Gita, terutama membangun pohon kehidupan.
Sai Study Group
Dalam Garis Besar Haluan Organisasi, Sai Study Group dengan jelas disebutkan bahwa sumber ajaran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba adalah Sanathana Dharma yang berisfat universal. Sai Study Group juga berada di bawah naungan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Ajaran utama adalah agar setiap bhakta mengembangkan cinta kasih yang ikhlas yang diwujudkan dalam bentuk pelayanan (seva). Ajaran Bhagawan Sri Sathya Sai Baba dapat diikuti oleh seluruh umat manusia, dan memberikan dukungan agar para penganut Hindu menjadi penganut Hindu yang lebih baik, penganut Islam agar menjadi penganut Islam yang lebih baik, penganut Kristen/Katolik agar menjadi penganut Kristen/Katolik yang lebih baik dan seterusnya. Berpusat di Prasanthi Nilayam, India berjuta-juta orang datang dari seluruh dunia untuk belajar. Ada 9 Pedoman Perilaku dan 10 Prinsip Kehidupan Bermasyarakat yang dianjurkan kepada para bhakta Sai Baba.
Sembilan Pedoman Perilaku, yaitu: (1) Bermeditasi dan bersembahyang atau berdoa setiap hari; (2) Menyanyikan kidung suci (bhajan) dan bersembahyang bersama keluarga seminggu sekali; (3) Berpartisipasi dalam pendidikan anak yang diselenggarakan organisasi; (4) Mengikuti acara kidung suci bersama (bhajan) di center-center organisasi sekurang-kurangnya sekali sebulan; (5) Berpartisipasi dalam pelayanan kemasyarakatan yang dilaksanakan organisasi: (6) Mempelajari wacana-wacana Sadguru Bhagawan Sri Sathya Sai Baba; (7) Berbicara lembut penuh kasih kepada siapa pun; (8) Tidak membicarakan keburukan orang lain, baik pada saat orangnya hadir, terlebih pada saat orangnya tidak ada; (9) Menjalankan kehidupan mengurangi keinginan, dan menggunakan tabungan dari hasil pengendalian keinginan tersebut untuk pelayanan kemanusiaan.
Sepuluh Prinsip Kehidupan Bermasyarakat meliputi: (1) Cinta dan bersikap patriot terhadap tanah air. Jangan membenci/mengkritik tanah air orang lain; (2) Hormati semua agama karena semua agama mengajarkan kebenaran yang sama; (3) Mengakui persaudaraan antarmanusia, memperlakukan semua orang sebagai saudara dan mencintai semua; (4) Jagalah kebersihan rumahmu dan lingkungan karena ini dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan; (5) Bangkitkan usaha kedermawanan, jangan memberi uang kepada pengemis yang membiasakan mereka menjadi pemalas. Berilah makanan, perlindungan kepada yang cacat, sakit dan tua; (6) Jangan sekali memberi suap dan menerima suap; (7) Hapuskan semua perasaan cemburu, irihati dan dengki. Perlakukan semua orang sama tanpa melihat kasta dan kepercayaan; (8) Jangan tergantung kepada orang lain. Berusahalah Mandiri. Lakukan pelayanan oleh diri sendiri; (9) Miliki dan tanamkan cinta kasih kepada Tuhan dan rasa takut akan dosa; dan (10) Patuhilah semua undang undang negara. Jadilah warga negara teladan.
Ajaran Sai Baba berkembang di hampir seluruh negara di dunia yang diikuti oleh bukan saja umat Hindu, tetapi juga penganut penganut agama lainnya. Ada sekitar 15 Center Sai Baba di Bali dan lebih dari seratus di Indonesia.
Hindu di Nusantara, yang di dalamnya ada Hindu Bali, Hindu Jawa, Hindu Alukta, Hindu Kaharingan, Hindu Sunda Wiwitan, Hindu Batak Karo dan lainnya perlu dikaji lebih mendalam kaitannya dengan Sampradaya. Khusus untuk Hindu Bali, telah dijelaskan pernah ada 13 Sampradaya. Namun demikian, Hindu Bali sekarang ini perlu dipelajari kaitannya dengan istilah Sampradaya. Jawabannya ada dua kemungkinan: Ya, sebagai Sampradaya bila dilihat dari sejarah adanya Sampradaya di Bali dan dapat juga bukan Sampradaya, bila dilihat dari ciri-ciri Sampradaya yang telah diuraikan di atas.
KONFLIK SAMPRADAYA
Bila pandangan dan pemaknaan diarahkan pada keunikan, manfaat dan ciri Sampradaya seharusnya tidak ada pertentangan yang mengarah pada konflik. Karena seluruh Sampradaya menguyapakan terwujudnya kehidupan yang harmonis di dunia dan damai di alam baka (mokshartham jagaditha ya ca iti dharmah). Disamping itu, seluruh Sampradaya berlomba untuk menunjukkan keteladanan dalam mengimplementasikan ajaran Weda dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan adalah ciri Sampradaya, karena itu sangat wajar bila setiap orang memandang bahwa kehadiran Sampradaya harus mendatangkan kebahagiaan bagi seluruh manusia dan makhluk lainnya. Karena itu, bila terjadi pertentangan antarsampradaya harus dikembalikan kepada eksistensi Sampradaya itu sendiri. Menjadi sangat tidak wajar apabila para guru suci bertentangan pendapat dan berujung pada konflik.
Perbedanaan pandangan dan tafsir atas ajaran Weda sudah ada tata cara penyelesaiannya dalam ajaran Hindu. Secara kelembagaan, PHDI adalah satu-satunya Majelis Agama Hindu yang dapat menetapkan dan menyelesaikan sebuah konflik “keragu-raguan dalam ajaran Weda” sebagaimana wewenang yang diberikan berdasarkan pustaka suci Weda Smerthi Manawa Dharma Sastra Adyaya XII, sukta 110-114.
PENUTUP
Hindu sungguh indah. Hindu sungguh mempesona. Hindu dengan berbagai Sampradayanya tidak memiliki celah untuk menimbulkan persinggungan kepentingan karena masing-masing Sampradaya telah memiliki peraturan ketat yang ditaati. Bahkan Budha yang dipandang Nastika (tidak percaya ajaran Weda) tetap dihormati sebagai awatara. Sampradaya memiliki tugas untuk mempelajari ajaran Weda dan menjaga kemurniannya.
Bhakta Sampradaya memiliki karakter untuk menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari dalam mengimplementasikan ajaran Weda. Karena itulah Hindu sangat menghargai perbedaaan cara memuja dan mengekspresikan diri dalam laku spiritual dalam bingkai Dharma. Konsepsi adikara memberikan ruang untuk menempuh cara yang bebas dalam memuja Tuhan.
Ista Dewata yang dipuja bhakta Sampradaya sesuai dengan pemahamannya yang terbatas adalah Ista Dewata yang disebutkan dalam ajaran Hindu, yang tiada lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa (Brahman). Hanya guru suci dan para orang bijaksana menyebutkan dengan nama berbeda. Semoga Hindu semakin jaya dan umatnya maju dalam berbagai aktivitas kehidupan. Om Santih Santih Santih Om. Kdi-27082020: 14.07.
*I Ketut Puspa Adnyana, seorang Widyaiswara Ahli Utama (Guru Bangsa). Sebagai PNS di Sulawesi Tenggara sejak tahun 1985 sampai sekarang. Mantan pejabat utama pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara pada sedikitnya empat Jabatan Tinggi Pratama. Pendidikan terakhir Doktor Perencanaan Wilayah dan Tata Ruang, Geografi Fisik dan Manusia UGM Tahun 2003. Pernah sebagai Ketua Parisada Kabupaten dan Provinsi sejak tahun 1990 sampai dengan 2015 dan sekarang sebagai anggota Sabha Walaka PHDI Pusat. Tinggal di Kota Kendari.