Perayaan Hari Suci Saraswati
Momentum Turunnya Pengetahuan Kebijaksanaan dan Peningkatan Kualitas Diri

I Wayan Gede Suacana

Oleh  : I Wayan Gede Suacana *)

Om Sarasvatī namas tubhyam, vara-de kāma-rūpiņi,

vidyārambham karişyāmi, siddhir bhavatu me sadā.

(Om Dewi Saraswati, sembah sujud kehadapan-Mu, Yang melimpahkan anugerah,

Yang menukar wujud-Mu atas kehendak. Hamba akan memulai suatu usaha, semoga berhasil.

Curahkanlah keberhasilan selalu terjadi pada hamba).

 Purwaka

Berbagai upaya atau cara yang terbentang bagi umat Hindu untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia (acintya), untuk kepentingan bhakti, diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang Berpribadi atau Personal God. Di dalam teologi Hindu dikenal adanya manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa yaitu: Brahma dengan saktinya Saraswati, Wisnu saktinya Sri atau Laksmi, dan Durga saktinya adalah Durga atau Parwati. Tata cara pemujaan terhadap Personal God itu biasa dilakukan oleh kelompok Dvaita yakni penganut  aliran filsafat Hindu yang berfokus pada dualisme antara Tuhan dan jiwa individu. Dvaita, yang berarti “dual” dalam bahasa Sanskerta, didirikan oleh Madhvacharya (1238-1317 M).

Seperti halnya di India, umat Hindu di Indonesia juga memuja Personal God salah satunya yaitu Dewi Saraswati setahun dua kali, yakni setiap 210 hari sekali menurut perhitungan kalender Jawa Bali yakni pada setiap Saniscara Umanis Wuku Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing Wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan perayaan Saraswati. Dengan demikian, Saraswatipuja mengambil dua wuku yaitu Watugunung (wuku yang terakhir) dan Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan disamping sebagai penopang hidup, juga untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi Saraswati (Wiana, 1995).

Pengetahuan Kebijaksanaan

Hari Suci Saraswati adalah hari yang sangat baik untuk memuja Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Saraswati, dewi yang menganugerahkan ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan yang bersumber pada kitab suci Weda. Dewi Saraswati diwujudkan sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai (padma).  Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta yakni “Saras” yang berarti “sesuatu  yang mengalir” atau “ucapan”. Kata “Wati” artinya memiliki. Jadi, kata “Saraswati” berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis meskipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup kepada umat manusia. Begitu pentingnya peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia, hal ini terlihat juga dari betapa tingginya kedudukan Dewi Saraswati dalam pemujaan berikut:

“Dewi Saraswati yang hamba puja, sarana pemujaan hamba adalah bunga yang berbau harum, juga melalui dhyana, japa dan pengucapan mantra yang hamba lakukan, hanya untuk menyembah Dewi Saraswati. Hakikatnya, hanyalah Engkau sebagai akhir dari ilmu pengetahuan. Berbagai karakter semuanya adalah jalan menuju Engkau, walaupun telah diuraikan dalam berbagai ilmu pengetahuan, sesungguhnya untuk menemukan hakikat yang tertinggi, hakikat ilmu pengetahuan. Sesungguhnya Engkaulah asal dari segala ilmu pengetahuan, hanya Engkaulah yang menganugerahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan. Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada. Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia. Engkau keutamaan dari setiap istri yang mulia. Demikian pula perilaku seorang anak yang sangat mulia. Karena kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu”.

Kenyataan ini dijabarkan dengan sangat indah dalam wacana Svami Sathya Narayana: “Hormati pengetahuan seperti engkau menghormati ayahmu; pujalah kasih seperti engkau memuja ibu kandungmu; anggaplah kebenaran seperti saudara-saudaramu; tumbuhkan keyakinan dari hari ke hari dalam dirimu seperti engkau menaruh kepercayaan penuh pada teman baikmu; milikilah kedamaian karena dia adalah istri/suamimu; hadapilah kewajiban dan lindungi selalu dalam kebenaran seperti engkau melindungi anak-anakmu. Bergeraklah bersama mereka, hiduplah bersama mereka, janganlah mereka kautinggalkan atau kaulalaikan. Pegang keenam prinsip hidup tersebut, maka engkau akan selamat dan bahagia”.

Tujuan dari penguasaan ilmu pengetahuan kebijaksanaan adalah untuk “membedah  bidang yang tidak diketahui dengan pedang pembedaan (wiweka)”. Untuk itu diperlukan kemampuan membedakan bagian permukaan dari diri kita, yang terletak berlapis-lapis di bagian luar dengan diri kita yang lebih luas yang terletak di bawahnya. Jalan untuk memperoleh kemampuan ini menurut Huston Smith  ada tiga langkah.

Langkah pertama adalah mendengar. Dalam langkah ini kita perlu mendengarkan ucapan orang-orang bijaksana, kitab-kitab suci serta naskah-naskah filsafat. Kita diperkenalkan dengan hipotesis pokok bahwa, tanpa disadari, di pusat jati diri sesungguhnya terletak sumber kehidupan yang tak terhingga yang tidak dapat dipadamkan.

Langkah kedua adalah berpikir. Melalui refleksi yang mendalam dan terus-menerus, apa yang telah muncul dalam langkah pertama sebagai kemungkinan abstrak dilihat sebagai sesuatu yang memuat kehidupan atman dalam pandangan kita, diubah dari konsep yang kosong menjadi kenyataan penting. Untuk itu, ditawarkan beberapa cara renungan yang bisa dipilih. Misalnya, kita disarankan untuk menelaah bahasa yang digunakan sehari-hari dan merenungkan maknanya. Perkataan “punyaku” selalu mengandung arti adanya pembedaan antara pemilik dengan yang dimiliki. Jika saya berbicara tentang bukuku, atau jasku, sama sekali tidak ada pikiran bahwa saya adalah benda-benda itu. Namun, saya juga berbicara mengenai tubuhku, pikiranku atau pribadiku, yang karena itu merupakan bukti bahwa dalam arti tertentu saya berbicara tentang diri sendiri yang terpisah dari hal-hal itu juga. Apakah “saya” yang merupakan pemilik tubuh dan pikiran tidak dapat disamakan dengan tubuh dan pikiran itu sendiri ? “Saya” dalam pengertian ini tiada lain dari “atma”.

Salah satu perumpamaan yang paling bagus tentang pemahaman tersebut ditemukan dalam kitab-kitab Upanisad. Disebutkan, ada seorang pengendara kereta yang duduk dengan tenang tidak bergerak dalam keretanya. Setelah menyerahkan tanggung jawab keselamatan perjalanan kepada kusirnya, ia bebas untuk duduk bersandar dan dengan penuh perhatian memperhatikan pemandangan yang dilaluinya. Perumpamaan ini  ibarat kehidupan kita. Tubuh jasmani kita adalah kereta itu. Jalan yang dilalui kereta itu adalah obyek-obyek inderawi. Kuda-kuda yang menarik kereta tersebut adalah pancaindera itu sendiri. Pikiran yang mengendalikan pancaindera tersebut, jika didisiplinkan, merupakan tali kekangnya. Kemampuan pikiran untuk mengambil keputusan adalah kusirnya, sedangkan pemilik kendaraan yang mempunyai kekuasaan penuh, tetapi tidak perlu lagi mengangkat satu jari pun untuk memberi perintah, adalah Pribadi Yang Mahatahu–Atma.

Namun, apabila ada orang yang bertanya, “Engkau terus-menerus berbicara mengenai atma, atma; nah, bagaimana rupa dan wujud atma itu?”. Dalam kitab Dharma Vahini (Pancaran Dharma) dijelaskan tidak ada yang dapat memberi wujud pada Atma.  Atma itu abadi, tidak berubah, tidak pernah mati. Atma adalah kebaikan, kebenaran, kebajikan. Atma tidak berubah, tidak ternoda. Atma tidak dapat dibatasi dengan nama dan wujud tertentu. Atma dapat dipahami dengan pengetahuan kebijaksanaan yang timbul dalam dan melalui karmadeha, yaitu “raga yang diperoleh dari hasil kegiatan”. Hanya badanlah yang mempunyai nama dan wujud, karena itu pada setiap kegiatan jasmani harus mengungkapkan atmadharma, yakni “dharma yang didasarkan pada kesadaran atma”.

Seseorang bhakta yang terbiasa berkontemplasi dan melakukan refleksi-refleksi seperti dalam langkah kedua tersebut, pada waktunya akan memiliki  kesadaran yang hidup tentang atma yang mendasari kepribadian yang fenomenal ini. Kedua hal ini akan terpisah dalam pikiran kita, bagaikan minyak dengan air, dan  tidak lagi seperti susu dengan air. Pada saat demikian seorang bhakta sudah siap memasuki langkah ketiga, yakni pengalihan identifikasi dirinya dari bagian hidupnya yang masih berlangsung terus ke bagian hidupnya yang abadi. Cara yang paling langsung untuk melakukan hal ini adalah dengan bersamadi, membayangkan dirinya sendiri sebagai atma sambil melakukan pekerjaan sehari-hari. Namun, cara ini memang tidak mudah. Samadhi, apalagi Nirwikalpa atau Asamprajnata Samadhi  yang tergolong Satwika Samadhi dimana Bhakta merasakan dirinya sebagai Brahman, proses penghayatannya adalah Brahman, dan obyek sasaran penghayatannya pun tidak lain adalah Brahman menuntut kemampuan untuk memusatkan atau menyatukan  unsur, psoses dan  obyek penghayatan. Disamping itu lima klesa (selubung) yang menguasai pikiran yakni: awidya (kebodohan), asmita (ahamkara, ego, keakuan), raaga (nafsu-nafsu keinginan atau indria), dwesa (rasa tidak suka atau benci), serta abhiniwesa (ketergantungan pada kehidupan duniawi) harus dihilangkan terlebih dahulu (Jendra, 1994).

Suatu cara yang efektif untuk melakukan pengalihan identifikasi diri ini adalah dengan membayangkan diri yang berhingga ini sebagai orang lain. Sewaktu berjalan menyelusuri sebuah jalan, bhakta tidak mengatakan, “Saya sedang berjalan”, melainkan “Si A sedang berjalan di jalan itu”. Bahkan seharusnya kita berusaha untuk membayangkan diri-sendiri terlihat dari jauh. Baik bukan sebagai pelaku maupun sebagai sasaran, pendekatannya yang tidak akan goyah dasarnya terhadap semua pengalaman haruslah mengidentifikasikan “Saya adalah Saksi”. Kita memandang riwayat kehidupan sehari-hari dengan sikap lepas bebas secara tenang, seperti sikap orang yang melihat sepotong rambutnya diterbangkan angin. Seperti pelita yang menerangi sebuah ruangan tidak memperhatikan apa yang terjadi dalam pelita itu sendiri.  Demikian halnya dengan saksi yang mengamati segala hal terjadi dalam protoplasma ini, dalam pribadi ini atau pun “pakaian” pentas ini. Memandang diri-sendiri sebagai orang lain mempunyai dua manfaat sekaligus. Kita memisahkan identifikasi diri dengan pribadi lahiriah, dan sekaligus menekankan identifikasi diri ini ke taraf yang lebih dalam, sampai pada akhirnya, melalui pengetahuan yang identik dengan jati diri (atmawidya) kita bisa menuju dan menyatu dengan pusat jati diri, yakni Paramatma.

Oleh karenanya perlu keselarasan kehidupan material dan spiritual agar penguasaan ilmu pengetahuan tersebut tidak hanya menjadi sumber nafkah dan penopang hidup, tetapi juga sebagai wujud pemujaan pada Tuhan. Selanjutnya, bagaimana pemahaman tentang pengetahuan kebijaksanaan yang meliputi tiga langkah tersebut akan dapat meningkatkan kualitas diri ?

Peningkatan Kualitas Diri

Dalam kitab Pancaran Kebijaksanaan (Jnana Vahini)  disebutkan bahwa pengetahuan tentang kesunyataan hanya dapat diperoleh dengan penyelidikan bathin yang tiada putusnya. Kita harus terus menerus menyelidiki sifat Tuhan; kenyataan tentang Aku (diri yang sejati); perubahan yang terjadi pada manusia pada waktu lahir dan mati, serta hal-hal semacam itu. Jika kita secara sadar memulai kehidupan rohani, maka kita perlu mengingat dasarnya. Svami Sathya Narayana menyatakan dasar itu adalah ajaran yang diajarkan oleh seluruh agama. Ajaran ini diringkas dalam aturan emas, “perlakukan yang lain sebagaimana engkau ingin diperlakukan mereka”. Sedangkan kewajiban bagi seorang bhakta adalah; Pertama, pelihara kedua orang tua kita dengan kasih, hormat dan rasa terima kasih; Kedua, berbicaralah kebenaran dan bertindaklah yang bajik; Ketiga, manakala memiliki beberapa saat waktu luang, ulangi nama Tuhan dengan bentuk dalam pikiran kita; Keempat, jangan pernah terlibat dalam berbicara buruk tentang yang lain atau mencoba menemukan kesalahan orang lain. Pada akhirnya, jangan menyakiti orang lain dalam bentuk apa saja.

Selanjutnya, didalam kehidupan spiritual juga dituntut adanya penyangkalan diri dan disiplin melaksanakan kewajiban sesuai tahap kehidupan kita. Suatu kali ketika Ramakrishna ditanya,”Apakah yang diajarkan Bhagawadgita?” Beliau menjawab, “Jika engkau mengucapkan kata ‘Gita’ beberapa kali, engkau akan mulai mengatakan ‘Tagi’, Tagi berarti seseorang yang yang telah melaksanakan penyangkalan diri. Dengan kata lain cita-cita penyangkalan diri adalah jiwa ajaran Bhagawadgita. Svami Sathya Narayana dalam Intisari Bhagawad Gita meringkas seluruh ajaran Gita dengan mamadharma ‘kewajibanku atau pekerjaanku’ setiap bhakta harus melaksanakan kewajiban yang telah ditentukan sesuai dengan kemampuan serta sebaik dan sesempurna mungkin mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan tahapan kehidupan.

Disiplin dalam melaksanakan kewajiban dan kehidupan spiritual berarti mengintruksi diri-sendiri agar giat menumbuhkan kesadaran luhur kita. Praktek yang sukses untuk mengubah diri-sendiri memerlukan disiplin bathin tingkat tinggi. Kita harus secara terus-menerus mempelajari ajaran dan praktek aturan jalan rohani agar sampai ke tujuan. Svami Sathya Narayana juga menyatakan kshama atau ‘kesabaran dan ketabahan” adalah inti semua latihan rohani. Sifat ini harus dimiliki oleh setiap orang dalam hidupnya. Dikatakan bahwa kesabaran dan ketabahan adalah kemuliaan orang yang mulia, penebusan dosa bagi orang yang bertobat, dan kebenarannya orang yang jujur.

Di dalam RgWeda VII.32.9 dinyatakan: Wahai orang-orang yang berpikiran mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk mencapai tujuan. Orang yang tekun akan berhasil, hidup bahagia dan menikmati kemakmuran. Para dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malasan. Dengan demikian, disiplin dan penyelidikan bathin yang tiada henti, kesabaran dan ketabahan, serta ketekunan merupakan suatu keharusan dalam menjalankan sadhana untuk meningkatkan kualitas diri setiap bhakta.

I Made Titib (1997) menyatakan sadhana akan sangat berperanan sebagai: Pertama, faktor motivatif, mendorong manusia untuk menentukan sikap memilih yang baik dan benar serta menghindarkan yang buruk dan salah. Dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas diri, seseorang akan terdorong menekuni latihan spiritual untuk berbuat baik dan benar. Kedua, faktor kreatif dan inovatif, yang mendorong manusia untuk berkreasi dan mengadakan pembaruan pada diri dan lingkungannya.Ketiga, faktor integratif. Keyakinan yang utuh terhadap pengetahuan kebijaksanaan yang tercermin dalam pengamalan berupa tingkah laku yang baik dan benar. Bila pengetahuan tersebut tidak didayagunakan sebagai faktor integratif, kepribadian seseorang akan pecah, tidak utuh dan perbuatannya niscaya akan bertentangan dengan dharma. Keempat, faktor transformatif dan sublimatif. Mampu mengubah sikap dan perilaku, perkataan dan perbuatan sesuai dengan ajaran agama yang disebut dengan Trikaya Parisudha. Kelima, Faktor inspiratif dan edukatif yakni  faktor inspiratif, mengilhami  para bhakta bahwa berbuat kebajikan akan menghasilkan pahala kebaikan dan sebaliknya, sedangkan  faktor edukatif secara sadar mendorong untuk melakukan proses pembelajaran dan pendidikan diri-sendiri demi kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.

Pengetahuan kebijaksanaan akan dapat membangkitkan kesadaran akan sifat-sifat diri sendiri yang sejati. Ilmu pengetahuan sekuler lebih berfokus pada rasionalitas, padahal hidup membutuhkan lebih banyak kesadaran. Pendidikan modern lebih banyak mengembangkan kecerdasan dan keterampilan, tetapi kurang memperhatikan pengembangan kesadaran dan budi pekerti. Akibatnya, ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan modern yang bersifat material belum berhasil membangkitkan kesadaran dan meningkatkan kualitas diri.

Purnawacana

Hari Suci Saraswati mencerminkan betapa pentingnya peranan ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia, baik sebagai penopang hidup maupun sebagai upaya sadhana untuk pencapaian realisasi penyatuan Atman dengan Paramatma.  Pendalaman dan praktek sadhana secara terus-menerus akan dapat meningkatkan kualitas diri setiap bhakta dalam sathyam ( keselarasan antara perkataan dan perbuatan),  darma (kebajikan), nyaaya (keadilan), ritam ( keselarasan antara pikiran, perkataan dan perbuatan manusia), samyama (pengekangan diri), dan damam (pengendalian indera). Jadi, peningkatan kualitas diri membutuhkan pengetahuan kebijaksanaan agar dapat melaksanakan penyelidikan bathin dan penyangkalan diri secara terus-menerus dengan disiplin yang tinggi (Nitisastra,V.1).

Semoga dengan perayaan Hari Suci Saraswati, Dewi Saraswati senantiasa memberikan  karunia berupa pengetahuan kebijaksanaan, inspirasi, kejernihan pikiran serta kedamaian yang didambakan oleh setiap orang.

Vidyā dadāti vinayam

vinayādyāti pātratām

pātratvāddhanamāpnoti

dhanāddharmam tatah sukham.

(Ilmu pengetahuan menanamkan kesopanan. Dari kerendahan hati, seseorang mencapai kelayakan. Setelah seseorang menjadi layak, ia akan mendapatkan kekayaan. Dengan kekayaan, seseorang akan dapat melakukan perbuatan baik (dharma) dan dengan dharma seseorang mencapai kebahagiaan).

*) Penulis, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan,  Magister Administrasi Publik, Ketua Pusat Kajian Pancasila, Universitas Warmadewa di Denpasar.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email