Esensi Hari Suci Pagerwesi
“Sadar Hati, Pagar Diri Sejati”

Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd, Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Buleleng

Oleh : Luh Irma Susanthi S.Sos, M.Pd *)

Om Swastyastu. Om Avignamastu Namo Siddham.

Hari Raya Pagerwesi adalah hari suci umat Hindu setiap 210 hari menurut sistem wariga yang jatuh setiap Budha Kliwon dan Wuku Sinta. Evoria perayaan Hari suci Pagerwesi memiliki nilai yang sangat unik dan khas di masyarakat sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah.  Dari catatan Sejarah, kemeriahan perayaan Pagerwesi khususnya di Kabupaten Buleleng erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Bali  di jaman Hindia Belanda.

Buleleng tempo dulu adalah pusat ibukota Provinsi Sunda Kecil. Daerah ini pernah berjaya dimasa kerajaan, sebagai pusat pemerintahan. Ditilik secara geografis, di Buleleng Timur berkembang ajaran Siwa Pasupata yang mengagungkan Siwa sebagai tujuan pemujaan dengan persembahan yang menyeimbangkan Tri Guna (Satwika, Rajasika dan Tamasika).   Sedangkan di Buleleng Barat berkembang ajaran Buddha Mahayana yang mengedepankan kasih sayang dalam memuliakan Sang Pencipta.  Sejarah mencatat, terdapat kearifan lokal, bagaimana masyarakat Buleleng merayakan Hari Raya Pagerwesi layaknya Galungan.  Pagerwesi menurut warga Buleleng adalah bentuk penghormatan kepada Sang Hyang Pramesti Guru sebagai Siwa Guru agar manusia mampu mengendalikan emosi atau mengekang Sad Ripu, Sapta Timira di dalam dirinya. Pengendalian diri dilaksanakan secara simbolis memotong hewan, selain untuk menyeimbangkan unsur juga untuk membantu meningkatkan derajat hewan yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan.

Pagerwesi merupakan hari suci umat Hindu yang memberi ruang untuk mampu memagari diri secara sekala dan niskala dengan ilmu pengetahuan setelah mendapatkan siraman ilmu pengetahuan pada Hari Suci Saraswati dan Penglukatan Tirtha Banyu Pinaruh. Jadi, Pagerwesi berhubungan erat dengan perayaan turunnya ilmu pengetahuan pada Hari Suci Saraswati. Setelah menerima ilmu pengetahuan, dan mendapatkan Tirtha Banyu Pinaruh, manusia harus menguatkan dan memagari dirinya agar tidak tersesat dalam kebodohan (awidya) dan kesesatan (ajñana).

Pagerwesi berasal dari kata “pager” (pagar) dan “wesi” (besi), yang melambangkan pertahanan diri dengan ilmu pengetahuan dan spiritualitas agar tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negative dan atau perbuatan buruk.  Pagerwesi juga memiliki nilai sejarah yang sangat diagungkan yaitu penghormatan Sunda Kecil. Di Kawasan Sunda Kecil (Bali, Nusa Tenggara, dan sekitarnya), Pagerwesi telah lama dikenal sebagai hari pemujaan kepada Sang Hyang Pramesti Guru (manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai Guru Agung atau Siwa Guru).  Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu di Nusantara, khususnya di Bali dan Buleleng,  perayaan Pagerwesi memiliki akar yang kuat dalam ajaran Siwa Siddhanta, di mana Siwa Guru dianggap sebagai sumber kebijaksanaan tertinggi.

Di Buleleng, Pagerwesi memiliki makna khusus sebagai hari besar keagamaan yang lebih menekankan pada kekuatan spiritual dan perlindungan diri, mengingat sejarah daerah ini kaya akan pengaruh intelektual dan spiritual dari para Brahmana dan Bhujangga Waisnawa. Hari suci Pagerwesi dikaitkan dengan epos Mahabharata, maknanya bisa dipetik dari Pustaka suci  Bhagavad Gita, di mana Sri Krishna mengajarkan kepada Arjuna tentang pentingnya Jnana (pengetahuan) dan Vairagya (pengendalian diri). Salah satu sloka yang relevan dengan Pagerwesi adalah:

“Tadviddhi pranipatena  pariprasnena sevaya,

Upadeksyanti te jñanam jñaninas tattva-darśinah” (Bhagavad Gita 4.34).

Artinya: “Pelajarilah kebenaran dengan berserah diri, bertanya dengan tulus, dan melayani dengan rendah hati. Orang bijaksana yang telah melihat kebenaran akan mengajarkan pengetahuan kepadamu.”

Konsep Pagerwesi dalam Mahabharata juga identic dengan strategi Pandawa dalam menghadapi perang Kurukshetra. Sebelum bertempur, mereka mempersiapkan diri dengan ilmu pengetahuan dan disiplin spiritual, sama seperti manusia yang harus memperkuat diri dengan ilmu dan keimanan agar tidak tergelincir ke dalam kegelapan.

Warna-warni Perayaan Pagerwesi di Buleleng

Perayaan Pagerwesi di Buleleng sangat khas dan penuh makna. Pagerwesi di Buleleng dirayakan dengan berbagai tradisi unik, seperti: Pelaksanaan upacara di Pura Jagatnatha Singaraja dan pura-pura desa untuk menghormati Sang Hyang Pramesti Guru.  Pemujaan leluhur melalui persembahyangan di merajan atau sanggah dan banyak kita lihat antusias warga mengunjungi setra untuk membawa punjung sebagai persembahan kepada leluhur (Pitara) sesuai dresta masing masing.  Pelaksanaan Brata dan Upawasa untuk mendalami makna spiritual Pagerwesi, dengan tujuan memohon sinar suci dan pengendalian diri agar selalu ada dalam cahaya kesadaran.  Pemujaan di sumber mata air (tirtha) sebagai simbol penyucian ilmu pengetahuan yang memberikan ruang bahwa ilmu pengetahuan sangat penting selalu dipelihara dalam kebersihan jiwa secara spirit dan rohani.

Beberapa Desa Adat di Buleleng juga ada yang merayakan Pagerwesi dengan ritual sesuai dengan dresta masing-masing seperti contoh mengadakan pementasan Duwe Tatri atau Seni Pewayangan. Pagerwesi juga dirayakan dengan menggelar wayang atau pertunjukan seni yang mengangkat nilai-nilai dharma dalam Mahabharata, sebagai bentuk pewarisan nilai luhur kepada generasi muda.

Jadi, Hari Raya Pagerwesi  adalah momentum untuk menyadarkan hati dalam bentuk sebuah pagar diri manusia, khususnya generasi muda Hindu agar  mampu mengimplementasikan ajaran-ajaran luhur dari leluhur Nusantara.  Sikap pengendalian diri hedaknya mengedepankan nilai-nilai dalam filosofi Tri Hita Karana yakni menjaga keharmonisan hidup dengan Tuhan (Parhyangan), Lingkungan (Lalemahan) dan sesama manusia (Pawongan) dengan  selalu memagari diri dengan mengedepankan ajaran-ajaran ilmu pengetahuan yang dilandasi dharma.

Pagerwesi bukan hanya sekadar perayaan rutin, tetapi merupakan momentum untuk memperkuat benteng spiritual, sebagaimana Arjuna dipandu oleh Sri Krishna dalam pustaka suci Bhagavad Gita. Pagerwesi di Buleleng dirayakan sama meriahnya dengan Hari Raya Galungan. Namun bentuk perayaannya beragam sesuai loka dresta sebagai wujud indahnya keberagaman.  Perayaan Pagerwesi ini memiliki corak khas dengan ritual dan tradisi yang kaya dengan kearifan lokal. Perayaan ini mencerminkan upaya masyarakat dalam menjaga dan melestarikan warisan leluhur sekaligus memperkuat spiritualitas di tengah perubahan jaman.

Mari, melalui perayaan Hari Suci Pagerwesi, kita umat sedharma menghormati Guru Sejati (Guru Swadhyaya) yakni Tuhan dalam manifestasi-Nya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru dengan menjalankan pmujaan dan  sadhana spiritual guna meningkatkan kualitas hidup secara rohani.  Om Santih, Santih, Santih Om. *) Penulis, Koordinator penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email