BALI – Kasus penutupan sebuah ashram (Bahasa Bali, Pasraman) secara paksa di Desa Subagan, Kabupaten Karangasem, Bali pada 9 Juni 2025 lalu menuai reaksi keras dari sejumlah tokoh di Bali. Ketua Umum Veda Poshana Ashram dari Grya Santabana Br. Payuk, Desa Peninjoan, Kecamatan Tembuku, Kabupaten Bangli, Ida Shri Bhagawan Yogananda menyampaikan sikap tegas dan penuh keprihatinan terhadap penutupan paksa sebuah Ashram di Desa Subagan Karangasem, Bali. Menurut Ida Shri Bhagawan Yogananda yang juga aktif sebagai salah satu Penasihat Paiketan Krama Bali, penutupan paksa ini dinilai melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi. Berikut ini pernyataan sikap yang dikirim Rabu (25/6/2025) ke berbagai media online dan media sosial.
- Menyayangkan Kejadian Penutupan Paksa
Kami menyayangkan kejadian penutupan paksa Ashram di Desa Subagan Karangasem, Bali, yang melibatkan dugaan intimidasi, pemindahan paksa atribut suci, dan penandatanganan surat pernyataan yang dipaksakan. Tindakan ini tidak hanya melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan, tetapi juga menunjukkan adanya tindakan yang melanggar hukum dan norma kesusilaan.
- Mendukung Proses Hukum
Kami mendukung pihak-pihak pelapor yang telah melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian dan sedang dalam proses penyelidikan. Kami percaya bahwa proses hukum harus berjalan dengan adil dan transparan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak.
- Meminta Penegakan Hukum yang Adil dan Transparan
Kami meminta pihak berwajib untuk memastikan penegakan hukum yang adil dan transparan dalam menangani kasus ini. Hal ini termasuk penyelidikan yang obyektif, pemanggilan saksi-saksi, dan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Meminta Dialog dan Mediasi
Kami meminta Pemerintah Daerah Karangasem, PHDI Kabupaten Karangasem, MDA Kabupaten Karangasem, dan pihak terkait lainnya untuk memfasilitasi dialog dan mediasi untuk mencari solusi yang terbaik bagi semua pihak. Dialog ini harus melibatkan perwakilan dari Ashram dan pihak-pihak yang merasa keberatan.
- Meningkatkan Toleransi dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Kami percaya bahwa pendidikan dan sosialisasi mengenai pentingnya toleransi, saling menghormati, dan kebebasan beragama sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik serupa di masa depan. Pemerintah dan masyarakat harus menjamin hak-hak dasar warga negara, termasuk hak untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya, serta hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
- Evaluasi Peraturan dan Kebijakan
Kami juga meminta agar dilakukan evaluasi terhadap peraturan dan kebijakan terkait hubungan antar dan inter-agama dan adat, serta kajian terhadap potensi konflik yang timbul akibat perbedaan keyakinan dan tradisi. Hal ini sangat penting, untuk memastikan bahwa peraturan dan kebijakan yang ada tidak memihak dan dapat melindungi hak-hak semua warga negara sesuai dengan Pasal 28 dan 29 UUD 1945.
Dengan demikian, kami berharap bahwa penutupan paksa Ashram di Desa Subagan, Karangasem, Bali, dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk meningkatkan toleransi, saling menghormati, dan kebebasan beragama. Kami juga berharap bahwa proses hukum dapat berjalan dengan adil dan transparan untuk memastikan keadilan bagi semua pihak.

Pernyataan sikap tegas tersebut merupakan cermin wujud keprihatinan dari para pegiat ashram dan pembelajar spiritual di Bali. Sebelumnya, Selasa (24/6/2025) Ketua DPD Prajaniti Hindu Indonesia Provinsi Bali, dokter Wayan Sayoga juga mengeluarkan sikap resmi yang dimuat sejumlah media online Rabu (25/6/2025).
Menurut Sayoga, tindakan sepihak beberapa oknum yang mengatas namakan adat dan ditemani aparat formal merupakan tindakan arogan dan sewenang wenang , yang sangat disesali oleh berbagai kalangan. Memasuki properti pribadi orang lain yang disertai dengan tindakan menurunkan foto-foto yang terpajang di dinding dan tindakan yang tidak pantas lainnya merupakan tindakan arogan dan memalukan ditengah kehidupan yang menjunjung adab, etika dan moral.

Sebelumnya juga, Akademisi UHN IGB Sugriwa, Prof. Dr. I Gede Sutarya, SST. Par, M.Ag ikut menyayangkan bahwa Pulau Bali kembali terjadi dugaan tindak pidana persekusi, intimidasi, dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dalam kasus Penutupan Asram di Karangasem, Senin (9/6/2025). “Hal-hal seperti itu seharusnya dimulai dari dialog, sebab desa adat tidak punya kekuatan paksa seperti negara. Desa adat tidak bisa main hakim sendiri. Negara ini punya aturan yang harus dipatuhi. Saya sarankan apa pun konflik yang terjadi, harusnya diselesaikan dengan dialog sebab esensi desa adat adalah dialog,” kata Sutarya di Denpasar, Selasa (24/6/2025).
Budayawan, Pengamat Pengamat Kebijakan Publik, salah satu Pendiri Peradah Indonesia dan Forum Merah Putih, Drs. Putu Suasta, M.A juga sangat menyayangkan terjadinya kasus penutupan ashram di Karangasem Bali. Menurut Putu Suasta, kasus penutupan paksa ashram itu merusak citra Bali, kultur Hindu yang moderat di Pulau Dewata. Bali dikenal sebagai Pulau yang sangat toleran, terbuka menerima keberagaman secara kultural, dan itu sudah berlangsung selama 1.000 tahun. “Kok prilaku kacau dan sewenang – wenang begitu kasar dan sangat primitif ini dipertontonkan. Mengobrak-abrik tempat orang. Itu mesti segera diproses hukum oleh Polres, Polda, Kejaksaan, Mabes Polri. Karena tindakan para oknum desa itu sudah masuk kategori kriminal dengan pasal pengancaman, pasal membuat perasaan kurang nyaman Pasal 335 KUHP, pasal pencemaran, pasal hal-hak kemerdekaan berkumpul,” kata Putu Suasta.

Penutupan paksa ashram itu jelas-jelas melanggar hak kebebasan berkeyakinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang. Pasal 335 ayat (1) KUHP yang berbunyi “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan menimbulkan ketakutan, baik terhadap diri orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Tindakan tersebut di atas diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, antara lain Pasal 28 G, ayat (1), Pasal 29 ayat (2) UUD RI Tahun 1945, Pasal 156a , Pasal 167, Pasal 170, Pasal 310 dan 335 KUHP, dan Pasal 422 KUHP .
Bahwa Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 29 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga menentukan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”.
Dalam Pasal 156a KUHP menentukan bahwa “Barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; atau b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun”.
Selanjutnya dalam Pasal 167 KUHP menentukan bahwa “Barang siapa dengan melawan hukum memasuki rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain, atau yang ada di situ dengan tidak berhak, dan tidak segera pergi setelah diperintahkan oleh atau atas nama orang yang berhak, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal 170 KUHP menegaskan bahwa: “Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.”
Pasal 310 KUHP menegaskan bahwa: “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Pasal 335 ayat (1) KUHP menegaskan: “Barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu dengan memakai kekerasan, ancaman kekerasan, atau dengan menimbulkan ketakutan, baik terhadap diri orang itu sendiri maupun orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Dan Pasal 422 KUHP menyatakan bahwa “Pejabat yang dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabatnya memaksa seseorang untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan sesuatu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan”.
Putu Suasta yang juga alumni UGM dan Cornell University di Amerika Serikat ini sangat berharap aparat penegak hukum agar melakukan penanganan super serius. Apalagi laporan itu sudah ditembusan kepada Presiden Republik Indonesia, Ketua DPR RI, Komnas HAM Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Kabareskrim Mabes Polri, Kapolda Bali, Direskrim Polda Bali, Inspektorat Daerah Kepolisian Polda Bali, Dirpropam Kepolisian Polda Bali, Kabinkum Kepolisian Polda Bali di Denpasar (*).