Oleh : Luh Irma Susanthi, S.Sos.,M.Pd
(Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Buleleng-Bali)

Om Swastyatu.
Hari suci Tumpek Landep dirayakan oleh umat Hindu di seluruh Nusantara setiap 210 hari (6 bulan sekali dalam perhitungan kalender wariga). Umat Hindu sangat akrab dengan perayaan Tumpek Landep. Namun, ada kebiasaan baru yang muncul dalam perayaan Tumpek Landep adalah mempersembahkan banten/sesajen di sepeda motor, mobil, traktor, bahkan computer. Semua dihias dengan janur, bunga. Tumpek Landep seolah berubah menjadi odalan motor/mobil. Ketua PHDI Kabupaten Badung, Dr. Drs. I Gede Rudia Adiputra, M.Ag mengkritisi evoria odalan motor/mobil itu sebagai budaya baru. “Mebanten di sepeda motor, mobil atau peralatan lain itu pada Hari Tumpek Landep tidak diwajibkan di dalam susastra Hindu, tetapi itu tidak salah mungkin sebagai ungkapa rasa syukur” ungkapnya pada Kamis, 18 September 2025 saat Simakrama PHDI bersama sejumlah lembaga kerjasama di Puspem Badung.
Evoria mebanten di sepeda motor/mobil atau peralatan rumah tangga lainnya pada setiap Tumpek Landep bahkan flexing di media sosial telah menuai kontroversi. Bagi umat Hindu yang literasinya sangat rendah, dikhawatirkan evoria itu sebagai sebuah kebenaran sesuai pustaka suci. Bahkan, belum lama ini viral sebuah video seorang Jro Mangku mengupacarai mobil Avansa dengan menyebut Dewa Avansa. Dari sudut pandang sastra, tentu cara berupacara itu tidak bisa dibenarkan karena dalam pustaka suci tidak dikenal Dewa Avansa.
Konsep Tri Kerangka Dasar Agama Hindu yang menjadi acuan dalam kegiatan keagamaan, mulai bergeser karena ketidakpamahaman umat Hindu. Hasilnya, umat kurang tepat melakukan upacara keagamaan dengan dalih pembenaran, bukan kebenaran sesuai susastra Hindu. Pertanyaannya, apakah Tumpek Landep hanya tentang mempersembahkan banten di peralatan berbahan besi atau ada makna lebih dalam yang bisa menuntun umat Hindu ?
Leluhur Nusantara memberi pedoman perilaku keagamaan melalui Lontar Sundarigama. Di dalam lontar itu dengan sangat jelas disebutkan : Kunang ring wara Landep, Saniscara Kliwon, puja wali Bhatara Siwa, mwah yoganira Sanghyang Pacupati, puja wali Bhatara Siwa tumpeng putih kuning adan-adanan, iwak sata sarupania, grih trasibang, sedah wah, haturakna ring sanggar. Yoga Sanghyang Sri Pasupati, sesastra jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi, astawakna ring sarwa sanjata, lendepaning prang. Kalingania ring wwang, denia pacupati, landeping idep, samangkana talaksanakna kang japamantra wisesa Pacupati”. Terjemahan bebasnya : Pada hari Wuku Landep, Saniscara Kliwon (Sabtu Kliwon) adalah hari pemujaan Bhatara Siwa dan hari yoganya Sang Hyang Pasupati. Ada pun sarana untuk pemujaan Bhatara Siwa adalah tumpeng putih selengkapnya, lauknya ayam sebulu-bulu, grih trasibang (ikan asin dan terasi merah), sedali woh, dihaturkan di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan). Sementara itu, untuk pemujaan Sang Hyang Pasupati dihaturkan, sesayut jayeng prang, sesayut kusuma yudha, suci, daksina, peras, canang wangi-wangi. Babantenan ini ditujukan (di-ayab-kan) kepada semua jenis senjata sehingga bertuah dalam perang. Ada pun hakikatnya dalam diri manusia, adalah tajamnya pikiran (manah lan idep), untuk itu laksanakanlah japa mantra untuk mendapatkan anugerah.
Dengan demikian, Lontar Sundarigama sangat jelas menyebutkan, hari suci Tumpek Landep adalah momentum untuk memuja Bhatara Siwa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Pasupati di Sanggar Pamujan (tempat pemujaan). Pasupati dalam konsep teologi Hindu merupakan manifestasi dari Siwa sebagai raja dari binatang. “Pasu” artinya “ Binatang”, dan “ Pati” artinya “Raja”. Namun, di sisi lain Pasupati juga didefinisikan sebagai suatu upacara yang bertujuan untuk memberikan tuah atau kekuatan. Kekuatan yang dimaksud itu pada hakikatnya adalah kekuatan pikiran. Itulah kenapa pikiran sangat perlu dipasupati. Dari pikiranlah, tubuh akan menciptakan stimulus, perkataan dan perbuatan. Karena itu, secara simbolik, pikiran akan mampu mengakses energi melalui pengendalian pikiran sehingga tercipta energi positif.
Saat ini, Bali sedang terguncang, pikiran umat mulai terstigma kenapa umat Hindu sudah melakukan yadnya (persembahan) tetapi mengapa musibah mengujinya dengan bencana banjir. Timbul gejolak pikiran yang mulai kecewa dan putus asa. Ketika banjir menenggelamkan sawah, sampah plastik memenuhi sungai dan perubahan iklim membuat musim tidak menentu, umat Hindu dituntut untuk menghidupkan makna sejati Tumpek Landep, menajamkan pikiran dan hati agar bhakti diwujudkan dalam perilaku menjaga alam semesta sebagai sebuah yadnya mulia.
Jaman kerajaan-kerajaan Bali kuno, momentum Tumpek Landep digunakan untuk memuliakan keris, tombak, dan pedang senjata utama para ksatria agar selalu tajam. Namun, yang sesungguhnya dipuja bukanlah besinya, melainkan kekuatan dharma yang terkandung di baliknya.
Seorang ksatria sejati tidak hanya mahir menebas musuh, tetapi juga tajam dalam pikiran, mampu membedakan dharma dan adharma. Itulah mengapa, keris diperlakukan dengan hormat, bukan sekadar benda, melainkan simbol pikiran yang tajam, simbol kekuatan dan keperkasaan.
Hari ini, senjata kita bukan lagi keris atau tombak tapi handphone, laptop dan jaringan internet. Dengan satu klik saja, kita bisa menyebarkan kebaikan, tetapi juga kebencian. Dengan satu postingan, harusnya kita bisa menginspirasi, bukan justru melukai.
Pertanyaan sekaligus renungan kita adalah, apakah kita menajamkan “keris digital” itu untuk kebaikan, atau membiarkannya menusuk diri-sendiri dan orang lain? Ketika manusia mulai menumbuhkan kesadaran dan eling, maka setiap umat akan mengingat bahwa kelahiran kita adalah proses membayar hutang karma yang disebut Tri Ṛṇa. Para śāstrawan Hindu mengingatkan bahwa setiap manusia lahir membawa tiga hutang yang disebut Tri Ṛṇa : hutang kepada Tuhan (Dewa Ṛṇa), hutang kepada Ṛṣi/guru (Ṛṣi Ṛṇa), dan hutang kepada leluhur (Pitṛ Ṛṇa).
Jika dikaitkan dengan bencana banjir besar beberapa hari lalu yang menerjang sejumlah wilayah di Bali, maka Tri Ṛṇa bisa dipahami lebih dalam.
- Dewa Ṛṇa: menjaga alam ciptaan Tuhan adalah bentuk bhakti. Saat kita tega merusak alam, berarti kita mengkhianati hutang kepada Tuhan, kita melecehkan ciptaan-Nya.
- Ṛṣi Ṛṇa: guru mengajarkan keseimbangan hidup, tetapi sering kita abaikan. Ilmu digunakan untuk membangun gedung, tetapi melupakan drainase-aliran air limbah. Tajam di beton, namun tumpul di logika ekologis.
- Pitṛ Ṛṇa: leluhur mewariskan Bali yang hijau, sawah yang luas, dan laut yang bersih. Apakah kita tega mewariskan Bali yang penuh sampah dan udara beracun kepada anak cucu kita ?
Pesan alam yang dengan kata lain, bencana alam adalah tagihan hutang yang ditagih oleh Dewa, Ṛṣi, dan Pitṛ. Kehidupan mengajarkan banyak hal, epos Mahabaratha adalah salah satu pengingat, apakah umat Hindu sudah menjalankan acara atau yadnya yang benar atau pelayanan yang sederhana sekali pun.
Panca Pandawa dalam Mahābhārata, bila dikaitkan dengan pengetahuan bathin di era digital adalah teladan ksatria dharma, juga melambangkan lima kekuatan bathin manusia. Yudhiṣṭhira (Dharma), teguh dan sabar di jalan kebenaran, meski semua orang tergoda menempuh jalan pintas. Bhīma (Kekuatan), berani menghadapi dan menumpas ketidakadilan ekologis misalnya berani menolak penebangan liar, perusakan hutan, alih fungsi lahan pertanian dan penyerobotan sempadan sungai. Arjuna (Konsentrasi), fokus dan cermat saat membidik mata burung, fokus mencari solusi atas bencana banjir dan sampah. Nakula (Keindahan), menjaga estetika alam, karena bunga, hutan, dan sungai adalah “pura terbuka” alam semesta bagi umat manusia. Sahadeva (Kebijaksanaan), pandai membaca tanda-tanda jaman, menggunakan ilmu pengetahuan dan wiweka untuk menata lingkungan agar tetap asri, indah dan nyaman.
Panca Pandawa ini ibarat senjata bathin manusia. Jika kita tak mengasahnya, maka kita hanya pandai menyucikan dan menajamkan besi, membersihkan kendaraan, tetapi tumpul dan lalai plus abai menjaga bumi. Ketajaman besi yang dimaknai sebagai Landep ring idep adalah bentuk aktualisasi menajamkan pikiran (manah lan idep).
Mari kita gunakan analogi modern. Ketajaman besi, kendaraan yang dirawat baik, tajam mesinnya, tapi kalau jalanan macet oleh sampah, terhalang banjir, kendaraan apa pun tidak bisa berjalan, bahkan terjebak menjadi rusak oleh banjir. Ketajaman pikiran, artinya kita bisa menemukan solusi, misalnya bank sampah yang bisa diolah, energi alternatif, atau gotong-royong secara rutin membersihkan sungai, saluran drainase agar air selalu mengalir dengan baik, tak tergenang menjadi sarang nyamuk yang berbahaya.
Ketajaman hati, kita tidak menyalahkan alam, tetapi mengubah perilaku mulai dari diri-sendiri dengan eling pada apa yang sudah kita sumbangkan pada alam dan mesti selalu merawatnya dengan penuh kesadaran, kasih dan sayang. Ketajaman bhakti, bukan hanya rajin sembahyang di pura, tetapi lebih ke aplikasi ekoteologi. Salah satunya, rajin menanam pohon, mengurangi penggunaan plastik, dan melaksanakan yadnya (pelayanan) yang nyata dan sederhana dengan peduli pada sampah dan memandang sampah itu berguna bagi ekosistem alam, jika kita mampu dengan bijak mengolahnya.
Sabda suci Tuhan dalam Bhagavad Gītā III.14 : annād bhavānti bhūtāni parjanyād anna-sambhavaḥ yajñād bhavati parjanyo yajñaḥ karma-samudbhavaḥ. Artinya : “Dari makanan semua makhluk hidup, dari hujan datang makanan, dari yadnya datang hujan”. Jika hujan hari ini membawa banjir, bukan kesuburan, itu tanda yadnya kita kepada alam kurang tulus.
Spirit Tumpek Landep di tengah bencana adalah sebuah penanaman karakter untuk menumbuhkan kesadaran setiap umat dalam bhakti yang utama meskipun sangat sederhana tetapi penuh makna. Banjir, apakah benar hanya karena hujan deras, atau karena sungai dipenuhi sampah? Kekeringan, apakah benar karena cuaca semata, atau karena hutan sudah gundul ? Polusi, apakah benar hanya karena pabrik, atau karena kita sendiri mengendarai motor, meski jarak dekat bisa ditempuh dengan jalan kaki ? Mari kita merenung dan introspeksi diri masing-masing.
Tumpek Landep mengingatkan, pikiran yang tajam harus dipakai untuk menjaga alam. Kitab suci Atharvaveda XII.1.12 ditegaskan : Mata Bhumih Putro A’ham Prativiyah. “Bumi adalah ibuku, aku adalah anak bumi.”. Kalau bumi adalah ibu, maka bencana adalah jeritan seorang ibu yang sakit. Apakah anak yang baik tega membiarkan ibunya menjerit ?
Kisah nyata, motor suci, sungai kotor. Suatu ketika, di sebuah desa di Bali, seorang pemuda rajin menghias dan memberikan sesajen di motornya setiap Tumpek Landep. Motor itu bersih, wangi, penuh janur dan bunga. Tetapi sore harinya, pemuda itu membuang plastik bekas sesajen ke sungai. Motor suci, tetapi sungai kotor dengan ulah manusia sendiri. Pertanyaannya : apakah benar ia sudah melaksanakan makna Tumpek Landep ?
Tumpek Landep seharusnya tidak hanya membuat motor bersih, tetapi juga membuat sungai bersih, tidak hanya menghias kendaraan, tetapi juga menghias alam. Green Dharma : Aksi Nyata Menjaga Bumi. Ketajaman bhakti harus diwujudkan dalam Green Dharma, antara lain, Mengurangi sampah plastik sekali pakai. Menanam pohon setelah upacara. Membuat program Tumpek Landep hijau, umat Hindu tak hanya menghias kendaraan, tetapi juga melakukan bersih-bersih desa. Mengajarkan anak-anak bahwa “banten terbaik untuk Tuhan adalah bumi yang lestari.”Inilah wujud nyata bhakti ekologis.
Ketika banjir, kekeringan datang, doa kita kepada Tuhan bukan sekadar memohon keselamatan, tetapi juga memohon kekuatan untuk berubah. Seperti ajaran Bhagavad Gītā II.47 : karmaṇy-evādhikāras te mā phaleṣhu kadāchanamā karma-phala-hetur bhūr mā te saṅgo ‘stvakarmaṇi. “Engkau berhak atas kewajibanmu, tetapi jangan mengikatkan diri pada hasilnya.” Artinya, jangan berhenti berbuat baik hanya karena hasil belum terlihat. Mungkin satu pohon yang kita tanam kecil pengaruhnya, tetapi seribu orang menanam pohon bisa menyelamatkan bumi.
Pesan spiritual untuk semua pihak, umat sedharma yang mulia, Tumpek Landep bukan hanya hari menghias kendaraan, tetapi juga hari mengasah pikiran, dari leluhur, kita belajar keberanian menjaga dharma. Dari Tri Ṛṇa, kita belajar kewajiban menjaga Tuhan, guru, dan leluhur, dari Pandawa, kita belajar bahwa ketajaman sejati ada di dalam diri, ditengah bencana, Tumpek Landep mengingatkan,tajamkan pikiran untuk mencari solusi, bukan alasan. Tajamkan hati untuk menyayangi alam, bukan mengeksploitasinya. Tajamkan bhakti untuk menjaga bumi, bukan hanya menghias besi.
Mari kita jadikan Tumpek Landep bukan sekadar ritual, melainkan gerakan spiritual dan ekologis, dari besi kita belajar ketajaman alat, dari hati kita belajar kejernihan jiwa, dan dari bhakti kita menemukan jalan menuju Mokhṣa.
Pesan Spiritual sebagai alarm untuk menapak jalan kehidupan, “Ketajaman besi hanya berguna sesaat, tetapi ketajaman pikiran akan menyelamatkan bumi sepanjang masa”. “Menajamkan pikiran adalah yajña, menjaga alam adalah bhakti, dan mengasihi sesama adalah dharma”. “Bumi tidak menagih hutang dengan kata-kata, tetapi dengan banjir, longsor, dan bencana”. “Tumpek Landep bukan sekadar menyucikan senjata, melainkan mengasah hati agar tajam membela kehidupan”. “Pikiran yang tajam melahirkan teknologi, hati yang tajam melahirkan welas asih, bhakti yang tajam melahirkan keseimbangan. “Berhutang pada Dewa berarti menjaga alam ciptaan-Nya; berhutang pada Ṛṣi berarti menjaga ilmu; berhutang pada Pitṛ berarti menjaga warisan bumi untuk anak cucu”. “Tri Ṛṇa bukan hanya kewajiban, tetapi pengingat bahwa hidup adalah titipan yang harus dikembalikan dengan suci”. “Membayar hutang pada leluhur bukan dengan air mata, tetapi dengan bumi yang lestari bagi keturunannya”. Om Śānti Śānti Śāntiḥ Om. (ed-ram)