Insinerator dan Pembakaran Sampah
Api Tak Hanya Membakar Sampah, Juga Membakar Masa Depan

Insinerator, mesin pembakar sampah tapi juga membakar masa depan kita dan generasi berikutnya. Sumber foto : Dokumen Ni Luh Kartini

Oleh : Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S *)

Prof. Dr. Ir. Ni Luh Kartini, M.S

Banyak orang percaya bahwa membakar sampah adalah solusi cepat. Sampah menghilang, halaman bersih, dan kita merasa lega. Di kota-kota besar, bahkan ada yang membanggakan teknologi insinerator (mesin pembakar raksasa) sebagai tanda kemajuan. Tapi sayangnya, ini hanyalah kenyamanan semu. Apa yang hilang dari pandangan, bukan berarti hilang dari kehidupan. Bila kita cermati fakta-fakta bahaya dari pembakaran sampah, ternyata insinerator tak hanya membakar sampah, juga membakar masa depan kita. Bagaimana ini bisa terjadi ?  Ikuti ulasan berikut ini.

Bayangkan ini : membakar sampah ibarat menyapu kotoran ke bawah karpet. Memang rumah tampak bersih, tetapi kotoran itu tetap ada, menumpuk, dan pelan-pelan mengeluarkan racun yang mengendap di udara. Bedanya, dalam kasus insinerator, “kotoran” itu berubah menjadi racun tak kasat mata yang bisa terbawa angin hingga puluhan kilometer, masuk ke paru-paru kita, ke darah, bahkan ke janin yang belum lahir.

Menurut penelitian Nexus3 Foundation di sekitar TPA Bantargebang, sampel tanah, telur, dan abu terbang (fly ash) yang diambil dalam radius tiga kilometer dari insinerator mengandung polutan berbahaya dioksin dan furan, yang termasuk dalam kategori Polutan Organik Persisten (POPs). Senyawa ini dapat bertahan lama di tanah dan masuk ke rantai makanan, memengaruhi pertumbuhan anak serta janin, dan memicu kanker (Nexus 3 Foundation, 2021)

Zat seperti dioksin yang dihasilkan dari pembakaran plastik dan bahan kimia tidak sekadar berbahaya, tapi mematikan dalam dosis sekecil debu. Efeknya tidak langsung terasa hari ini, tetapi bekerja pelan-pelan: merusak hormon, mengganggu perkembangan otak anak, dan meninggalkan jejak penyakit yang diwariskan ke generasi berikutnya (The Conversation, 2019). Hasil studi dari Donia et al (2025) menemukan bahwa setelah dioksin masuk ke dalam tubuh, zat ini bertahan lama karena kestabilan kimianya dan kemampuannya untuk diserap oleh jaringan lemak, kemudian disimpan di dalam tubuh. Waktu paruhnya di dalam tubuh diperkirakan berkisar antara 7 hingga 11 tahun.  Di lingkungan kita, dioksin cenderung terakumulasi dalam rantai makanan. Semakin tinggi posisi suatu hewan dalam rantai makanan, semakin tinggi pula konsentrasi dioksin di dalamnya (Tuomisto, Jouko, 2019).

Bagi lingkungan, pembakaran sampah seperti menumpahkan tinta hitam ke air sumur. Tidak perlu banyak, sedikit saja sudah cukup untuk membuat seluruh air tercemar dan tak layak diminum. Abu yang jatuh ke tanah bisa meresap ke akar tanaman yang kita makan. Gas yang terlepas memperparah krisis iklim, sementara polutan menyusup ke tubuh ternak. Penelitian Prof Paul Connett menunjukkan bahwa satu ekor sapi yang hidup di dekat incinerator dapat menghirup racun dioksin setara dengan 14 tahun paparan manusia hanya dalam sehari. Satu liter susu dari sapi tersebut mengandung dioksin setara delapan bulan paparan manusia (Antara News Kalsel, 2020).  Lombardi et al. (2023) melaporkan bahwa susu dan produk olahannya menyumbang 28–50% dari total beban tubuh dioksin dan PCB pada bayi, balita, dan anak-anak, serta 7–25% pada populasi orang dewasa di Eropa. Kandungan dioksin yang tinggi pada susu sapi terutama disebabkan oleh sifat lipofilik senyawa ini, yang memungkinkan akumulasi dalam jaringan lemak dan transfer ke susu. Dengan demikian, meskipun angka spesifik seperti “14 tahun paparan manusia dalam sehari” atau “8 bulan paparan manusia per liter susu” merupakan estimasi berbasis asumsi tertentu, bukti ilmiah menguatkan bahwa paparan melalui susu sapi dari ternak yang terpapar dioksin, termasuk yang berada dekat insinerator, dapat menjadi signifikan dan berisiko bagi kesehatan manusia.

Pencemaran ini bahkan telah ditemukan dalam ASI. Studi Imperial College London terhadap 194 ibu di Inggris menemukan adanya dioksin dan PCB (polychlorinated biphenyls) dalam ASI, terutama pada ibu yang tinggal lebih dari lima tahun di dekat insinerator. Meski kadarnya masih dalam batas yang ditemukan di Eropa, penelitian ini menunjukkan adanya kontribusi polusi incinerator pada akumulasi racun dalam tubuh manusia (The Guardian, 2024). Studi biomonitoring BEED oleh Parsons et al. (2025) menunjukkan bahwa model peningkatan konsentrasi PM₁₀ dari insinerator limbah berkorelasi signifikan dengan kenaikan kecil kadar TEQ (dioxin & PCB) sebesar sekitar 9,7 % dalam ASI. Meskipun meningkatnya paparan ini masih berada dalam rentang kadar yang umum ditemukan di Eropa, hasil tersebut memperkuat gagasan bahwa polusi incinerator berpotensi meningkatkan akumulasi zat berbahaya dalam tubuh manusia melalui jalur ASI, khususnya bagi ibu yang telah tinggal lama di sekitar fasilitas pemusnahan limbah

Masalahnya, bahkan teknologi insinerator modern tetap punya kelemahan. Studi menunjukkan bahwa saat mesin dinyalakan (start-up) dan dimatikan (shut-down), emisi dioksin bisa 1.000 kali lebih tinggi dibanding saat beroperasi normal (The Conversation, 2019). Artinya, “canggih” tidak berarti bebas racun. Pernyataan bahwa meskipun insinerator modern dianggap canggih, namun tetap memiliki kelemahan signifikan yakni peningkatan masif emisi dioksin saat start-up dan shut-down dikuatkan oleh temuan ilmiah. Dalam studi Characteristics of dioxin emissions at startup and shutdown of MSW incinerators, ditemukan bahwa konsentrasi dioxin di cerobong mencapai level jauh lebih tinggi saat start-up dibanding saat operasi normal, sedangkan pada saat shut-down juga meningkat secara substansial. Peneliti menyimpulkan bahwa sebagian besar emisi tahunan bahkan bisa berasal dari fase start-up. Temuan ini menegaskan bahwa status “canggih” dari teknologi insinerator tidak otomatis mengeliminasi risiko emisi berbahaya, terutama pada kondisi transisi seperti start-up dan shut-down.

Insinerator memang mengurangi volume sampah hingga 90%, tapi itu seperti memotong rumput tanpa mencabut akarnya. Sisa 10% yang tertinggal justru adalah limbah B3 yang sangat berbahaya, membutuhkan biaya besar untuk penanganan, dan berpotensi bocor ke udara atau air seperti yang terjadi di Norwegia dan Amerika Serikat (The Conversation, 2019). Meskipun insinerator mampu mengurangi volume dan massa sampah hingga sekitar 90% dan 75% masing-masing (valizadeh et al., 2024), proses ini tidak menyelesaikan masalah secara total karena residu berupa bottom ash dan fly ash tetap dihasilkan. Jurnal yang membahas pengelolaan limbah padat domestik menyatakan bahwa fly ash yang merupakan bagian kecil dari total abu memuat konsentrasi tinggi logam berat (seperti Zn, Pb, Cu, Cd), serta senyawa organik berbahaya seperti dioksin dan furan.

Jalan Keluar: Dari Rumah, Bukan dari Cerobong

Solusi yang sesungguhnya tidak membakar masa depan kita. Prinsip zero waste yang menekankan pengurangan sampah dari sumbernya dengan 5R: Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Rot (pengomposan) telah berhasil di banyak kota dunia. San Francisco, misalnya, mampu mengalihkan lebih dari 80% sampah dari TPA tanpa membakar satu gram pun, melalui sistem daur ulang dan kompos yang ketat (Pikiran Rakyat, 2024). Menurut Sutisna (2024), banyak kota dunia seperti Canberra, Adelaide, dan Stockholm telah berhasil menerapkan pendekatan zero waste secara efektif. Di dalam negeri, kota-kota seperti Surabaya juga berhasil menerapkan strategi serupa melalui berbagai program pengelolaan sampah terpadu mulai dari bank sampah hingga pemanfaatan gas landfill untuk pembangkit listrik. Keberhasilan tersebut menunjukkan bahwa dengan penguatan kesadaran masyarakat, regulasi, dan infrastruktur, prinsip zero waste mampu mengurangi timbulan sampah ke TPA secara signifikan.

Rekomendasi para ahli jelas: hentikan pembangunan insinerator baru, perkuat sistem pemilahan sampah sejak rumah tangga, kembangkan bank sampah dan fasilitas daur ulang modern, serta perbanyak komposting sampah organik. Pemerintah juga didesak untuk menetapkan standar emisi yang ketat, termasuk memasukkan parameter dioksin dan furan dalam prosedur TCLP sebelum limbah dibuang (Antara News, 2025).

Kita harus ingat : udara yang kita hirup, air yang kita minum, dan tanah yang menumbuhkan makanan kita adalah warisan untuk anak-anak kita. Setiap kali kita membakar sampah, kita tidak hanya menghanguskan plastik, namun kita membakar kesempatan mereka untuk hidup sehat. Mari berhenti mencari solusi cepat yang merusak, dan mulai membangun kebiasaan yang menyembuhkan. *) Penulis : Ketua Pusat Unggulan Penelitian Pertanian Organik dan Manajemen Sumber Daya Lahan, Kelompok Kerja Gubernur Provinsi Bali Bidang Lingkungan (Percepatan  Bidang Sampah dan Kerusakan Ekosistem).

Referensi :

Antara News. (2025). Insinerator TPA Bantargebang cemari sekitar dengan polutan berbahaya. Diakses dari: https://www.antaranews.com/berita/4450173/insinerator-tpa-bantargebang-cemari-sekitar-dengan-polutan-berbahaya

Donia, R., Salem, S., El Tohamy, M., & Fawzy, E. M. (2025). A review of dioxin contamination and health risks in Egypt. Egyptian Journal of Nutrition, 40(1), 198–208. https://doi.org/10.21608/enj.2025.427054

Kompas. (2025). Tekan risiko, KLH tetapkan baku mutu dan awasi pemakaian insinerator. Diakses dari: https://lestari.kompas.com/read/2025/03/05/131643286/tekan-risiko-klh-tetapkan-baku-mutu-dan-awasi-pemakaian-insinerator

Nexus3 Foundation. (2021, August 15 ). Sweet 21 years Nexus3 Foundation, blow the candles to toxic-free! (Newsletter No. 4). Nexus3 Foundation. Diakses dari https://www.nexus3foundation.org/wp-content/uploads/2023/02/Nexus3-Foundation-Newsletter-4.pdf

The Guardian. (2024). Study examines women’s proximity to incinerators and chemical level in breast milk. Diakses dari: https://www.theguardian.com/environment/2024/dec/18/study-examines-womens-proximity-to-incinerators-and-chemical-level-in-breast-milk

The Conversation. (2019). Insinerator sampah akan perparah pencemaran udara Jakarta. Diakses dari: https://theconversation.com/insinerator-sampah-akan-perparah-pencemaran-udara-jakarta-114017

Tuomisto, Jouko (2019). “Dioxins and dioxin-like compounds: toxicity in humans and animals,sources, and behaviour in the environment”. Wiki Journal of Medicine. 6 (1): 8. doi:10.15347/wjm/2019.008. ISSN 2002-4436.

Pikiran Rakyat. (2024). Insinerator solusi instan atasi sampah, ancaman jangka panjang bagi kesehatan. Diakses dari: https://www.pikiran-rakyat.com/news/pr-019340244/insinerator-solusi-instan-atasi-sampah-ancaman-jangka-panjang-bagi-kesehatan

Lombardi, G., Montagna, M., Piccinelli, R., Nobile, M., Pozza, G., Pozzoli, L., … & Moretti, V. M. (2023). Safety evaluation and probabilistic health risk assessment of cow milk produced in Northern Italy according to dioxins and PCBs contamination levels. Foods, 12(9), 1869. https://doi.org/10.3390/foods12091869

Tejima, H., Nishigaki, M., Fujita, Y., Matsumoto, A., Takeda, N., & Takaoka, M. (2007). Characteristics of dioxin emissions at startup and shutdown of MSW incinerators. Chemosphere, 66(6), 1123–1130.

Valizadeh, B., Abdoli, M. A., Dobaradaran, S., & Mahmoudkhani, R. (2024). Risk control of heavy metal in waste incinerator ash by available solidification scenarios in cement production based on waste flow analysis. Scientific Reports, 14, Article 6252. https://doi.org/10.1038/s41598-024-56551-y

Sutisna, M. A. R. (2024). Strategi pengelolaan sampah kota terintegrasi menuju zero waste. Waste Handling and Environmental Monitoring, 1(1). https://doi.org/10.61511/whem.v1i1.2024.631

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email