Bencana banjir besar yang meluluhlantakkan Pulau Bali terutama yang terparah Kota Denpasar tepat saat Perayaan Hari Raya Pagerwesi, 10 September 2025 lalu menyisakan berbagai persoalan serius di Bali yang sampai saat ini belum terselesaikan. Salah satu penyebab bencana banjir besar itu yang tak bisa dibantah adalah alih fungsi lahan (hutan, sempadan jurang, daerah aliran sungai (DAS) dan alih fungsi lahan sawah produktif menjadi kawasan hunian dan infrastruktur. Selain, alih fungsi lahan, penyebab banjir besar adalah sampah yang dibuang sembarangan oleh oknum masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

Khusus menyoroti alih fungsi sebagai penyebab banjir, Pakar Pertanian Organik dan Ketua Pusat Penelitian Suberdaya Lahan Universitas Udayana, Prof. Dr. Ir. Ni Lih Kartini, M.S mengurai sengkarut alih fungsi lahan di Bali. Apa yang mesti dilakukan oleh pemerintah (Gubernur dan Bupati/Walikota) di Bali ? Berikut penjelasannya.
A. Indikator Alih Fungsi Lahan Di Bali yang Semakin Masif
Penurunan luas lahan sawah, seperti luas lahan sawah di Bali terus berkurang seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan untuk keperluan non-pertanian, seperti pembangunan infrastruktur pariwisata dan pemukiman.
- Peningkatan pembangunan infrastruktur pariwisata, pembangunan hotel, resort, dan fasilitas pariwisata lainnya yang dibangun di atas lahan pertanian dan hutan, menyebabkan alih fungsi lahan yang signifikan.
- Perubahan tata guna lahan: Perubahan tata guna lahan dari pertanian menjadi non-pertanian dapat dilihat dari perubahan penggunaan lahan di daerah-daerah yang sebelumnya merupakan lahan pertanian produktif.
B. Dampak Alih Fungsi Lahan di Bali
- Kerusakan lingkungan, seperti penurunan kualitas air tanah, peningkatan risiko banjir, dan kehilangan biodiversitas.
- Kehilangan lahan pertanian produktif: Alih fungsi lahan pertanian dapat menyebabkan kehilangan lahan pertanian produktif, yang dapat memengaruhi ketahanan pangan dan ekonomi masyarakat lokal. Penurunan luas lahan sawah yang sudah pasti memengaruhi produksi pangan lokal sehingga meningkatkan ketergantungan pada impor atau harus mendatangkan produk pertanian dari luar Bali.
- Perubahan sosial dan budaya : Alih fungsi lahan dapat menyebabkan perubahan sosial dan budaya masyarakat lokal, seperti perubahan mata pencaharian dan gaya hidup.
- d. Penjualan lahan sawah dapat menyebabkan kehilangan pengetahuan dan keterampilan tradisional dalam bidang pertanian.

C. Alih Fungsi Lahan Dapat Memengaruhi Ketahanan Pangan, Ketahanan Air Dan Lingkungan.
Alih fungsi lahan sawah terjadi secara masif, terutama di Bali Selatan. Data BPS Bali 2017 menunjukkan luas sawah di Bali adalah 78.626 hektar. Angka luas sawah ini terus menurun seiring dengan meningkatnya alih fungsi lahan untuk akomodasi wisata seperti hotel dan villa. Terkait dengan pernyataan (alm) Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, S.U tentang alih fungsi lahan sawah sebesar 1.000 hektar per tahun. Beberapa sumber menyebutkan bahwa alih fungsi lahan sawah di Bali terjadi secara signifikan, dengan angka yang bervariasi antara 600-1000 hektar per tahun.
Data alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Badung sebagaimana dimuat oleh Global Dewata Bali (10/10/2025) merilis pernyataan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Badung) sejak Tahun 2021 hingga 2024 saja mencapai masing-masing 72,71 hektar (2021), 142 hektar (2022), 173,33 hektar (2023) dan yang paling miris 348 hektar pada Tahun 2024. Jadi, total alih fungsi lahan pertanian di Badung selama empat tahun adalah 736,04 hektar atau 184,01 hektar per tahun.
Data penelitian Syahri Ramadhan & Ratna Patmawati Wisnu Murti (2024) menyebutkan, selama lima tahun yakni 2018 – 2023, Lahan Sawah di Badung menyusut : 1.099,67 Hektar atau 219,93 hektar/tahun. Data penelitian tentang alih fungsi lahan ini lebih luas dibandingkan data Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kabupaten Badung dalam kurun waktu yang mirip sama.
Data Badan Pertanahan Prov. Bali : 2019-2024 (5 tahun) menyebutkan, total penyusutan lahan sawah di Bali mencapai 771,48 hektar (8,50% ) dari luas 9.072,48 hektar (2019) menjadi 8.301 hektar (2024) atau 154 ha/tahun (Sumber : BPN Prov. Bali & Ketua DPRD Badung, 23/9/2025) dukung kebijakan Moratorium Alih Funhgsi Sawah pasca Banjir Besar (10/9/2025). Perlu dilakukan penelitian dan analisis lebih lanjut untuk memastikan angka yang akurat dan relevan saat ini.
Sesungguhnya regulasi untuk mencegah alih fungsi lahan di Bali sudah banyak, hanya saja penegakan dan pengawasannya sangat lemah. Dalam Undang-Undang RI No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), disebutkan bahwa Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan produk bagi kemandirian ketahanan dan kedaulatan pangan nasional.
Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 1992 tentang Larangan Mendirikan Bangun-bangunan pada Daerah Jalur Hijau di Kabupaten Tingkat II Badung Pasal 1 huruf f menegaskan bahwa Jalur Hijau adalah suatu garis hamparan tanah yang luas dan menghijau yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah sebagai Daerah yang tidak boleh dibangun. Kemudian dalam Pasal 13 ayat (1) diatur lebih lanjut bahwa dilarang mendirikan Bangun-Bangunan, baik yang permanen maupun yang tidak permanen, yang tidak sesuai dengan fungsinya atau kepentingan tanah yang bersangkutan pada daerah yang ditetapkan sebagai Daerah Jalur Hijau kecuali kegiatan pembangunan yang bersifat kepentingan umum dan kegiatan pembangunan baru dapat dilaksanakan setelah mendapat ijin Bupati Kepala Daerah. Dalam Perda tersebut juga diatur mengenai sanksi yang dapat kepada para pelanggarnya yaitu berupa sanksi peringatan hingga pada akhirnya bermuara pada sanksi pembongkaran bangunan secara paksa. Jalur hijau yang dimaksudkan pada Perda Kabupaten Badung No. 3 Tahun 1992 diperuntukkan bagi tanah-tanah daerah persawahan yang tersebar di beberapa titik wilayah Kabupaten Badung.
Pemerintah Kabupaten Badung juga mengeluarkan Perda Kabupaten Badung Nomor 8 tahun 2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang kemudian diubah dengan Perda Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 2019 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) sebagai salah satu upaya dalam rangka menguatkan perlindungan lahan pertanian pangan akibat alih fungsi lahan pertanian serta meningkatkan kemandirian pangan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
Perda Kabupaten Badung Nomor 13 Tahun 2022, kemudian disusul dengan Keputusan Bupati Badung Nomor : 382/048/HK/2022 tentang Penetapan Peta dan Sebaran LP2B. Diterbitkannya Keputusan Bupati Badung Nomor 382/048/HK/2022 merupakan salah satu upaya pemerintah Kabupaten Badung dalam menekan alih fungsi lahan.

Dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyusunan, Peninjauan Kembali, Revisi, dan Penerbitan Persetujuan Substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten, Kota, dan Rencana Detail Tata Ruang, di dalamnya mengatur mengenai pola ruang. Pola ruang merupakan peruntukan ruang dalam suatu wilayah. Pada Pasal 12 ayat (3) diatur bahwa Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf c meliputi: (1). kawasan lindung; dan (2). kawasan budi daya.
Kawasan lindung merupakan adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Sedangkan Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Dalam hal ini, pertanian merupakan salah satu bentuk dari kawasan budidaya, termasuk juga perumahan, perdagangan, serta daerah pariwisata.
Salah satu pemicu tingginya alih fungsi lahan adalah kemudahan perijinan melalui sistem OSS (Online Single Submission) yang terintegrasi secara langsung dengan Kementerian Investasi/BKPM. Orang dengan mudahnya merampas hutan lindung, DAS, sempadan jurang dan lahan pertanian untuk membangun infrastruktur dan pemukiman dengan OSS.
D. Regulasi zona hijau dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) yang tidak tegas. Ketidaktegasan ini dapat menjadi salah satu penyebab alih fungsi lahan tinggi. Permasalahan terkait dengan regulasi zona hijau meliputi :
- Batasan antara zona hijau dan zona lain tidak jelas, sehingga memungkinkan terjadinya alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
- Pengawasan yang lemah terhadap penggunaan lahan dapat memungkinkan terjadinya pelanggaran terhadap regulasi zona hijau
- Perubahan RTRW tidak terkendali dapat menyebabkan alih fungsi lahan tinggi dan tidak terencana.
E. Beberapa Penyebab, Kenapa Petani di Bali Terpaksa Menjual Lahan Sawah
Petani mengalami kerugian akibat fluktuasi harga gabah, biaya produksi tinggi, dan kurangnya dukungan infrastruktur untuk mendukung peningkatan hasil dari pemerintah daerah
- Anak-anak muda tidak tertarik menjadi petani karena pekerjaan pertanian dianggap tidak menguntungkan dan kurang prestige.
- Generasi muda lebih memilih pekerjaan di sektor pariwisata atau industri yang dianggap lebih menjanjikan dan memiliki gaya hidup yang lebih moderen
F.Solusi yang mesti Dilakukan Pemerintah di Bali
Dari aspek regulasi, pemerintah mestinya melakukan hal-hal sebagai berikut :
- Mengkaji ulang RTRW: Pemerintah perlu mengkaji ulang RTRW untuk memastikan bahwa regulasi zona hijau lebih tegas dan jelas sehingga menjadi aturan yang tidak pernah diubah dalam 100 tahun
- Pengawasan: Pemerintah perlu meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan lahan untuk memastikan bahwa regulasi zona hijau dipatuhi (penegakan peraturan tidak pandang bulu)
- Meningkatkan partisipasi masyarakat: Pemerintah perlu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pengawasan penggunaan lahan untuk memastikan bahwa kepentingan masyarakat lokal terwakili.
- Pemerintah menerapkan sanksi tegas terhadap pelanggaran regulasi zona hijau untuk memastikan bahwa penggunaan lahan sesuai dengan rencana tata ruang.
- Pemerintah dan masyarakat harus bekerjasama untuk mengatasi masalah alih fungsi lahan dan menjaga keberlanjutan lingkungan.
- Pemerintah mesti merumuskan dan menetapkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) sehingga peruntukan lahan jelas dan terarah. Soal RDTR ini mengemuka saat pertemuan perdana Pengurus MP3I dengan Ketua PHRI Bali, Prof. Dr. Ir. Oka Artha Ardana Sukawati, M.Si alias Cok Ace, 13 Oktober 2025).
Sementara untuk meningkatkan pendapat para petani, Pemerintah Daerah dan masyarakat Bali semestinya bekerjasama untuk membantu memecahkan masalah yang dihadapi petani dan meningkatkan kesejahteraannya sehingga petani tidak terpaksa menjual lahan sawahnya dengan cara sebagai berikut :
- Menetapkan harga gabah lebih tinggi di atas harga pokok produksi (HPP).
- Memberikan subsidi diakhir dengan membeli gabah/beras petani
- Meningkatkan akses teknologi dan infrastruktur. Contoh : Pemerintah dapat meningkatkan akses petani ke teknologi dan infrastruktur yang lebih baik untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas hasil pertanian sehingga lebih menguntungkan petani.
- Meningkatkan kesadaran dan minat generasi muda. Pemerintah dan petani dapat melakukan kampanye untuk meningkatkan kesadaran dan minat generasi muda tentang pentingnya pertanian dan kehidupan di desa.
Jika saja pemerintah Bali punya komitmen yang kuat dan mau serius meningkatkan kesejahteraan para petani, maka tanah-tanah Bali yang disebut sebagai Ibu Pertiwi tidak akan banyak beralih fungsi sehingga bisa diwariskan ke anak-cucu kelak agar generasi Bali berikutnya tidak seperti suku Betawi di Jakarta yang menjadi tamu di daerahnya sendiri. Semoga hal ini menjadi perhatian para pemimpin di Bali saat ini (ram).