DENPASAR – Forum Peduli Bali Shanti (FPBS) mendesak Kejaksaan Negeri Singaraja melaksanakan eksekusi sesuai amar putusan yang telah dikabulkan oleh Mahkamah Agung atas Terdakwa Acmat Saini (51) dan Mokhamad Rasad (57), yang dinyatakan bersalah atas penodaan hari suci Nyepi tahun 2023. Demikian rilis FPBS yang diterima redaksi pada Kamis (23/1/2025) malam.
FPBS merupakan aliansi berbagai elemen organisasi kemasyarakatan Hindu, Parisada Hindu Dharma Indonesia, KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia), PERADAH (Persatuan Pemuda Hindu Indonesia), Yayasan Craddha, Tim Hukum PHDI Bali, LBH Paiketan Krama Bali, dan sejumlah aktivis Hindu lainnya. Forum tersebut ikut mengadvokasi kasus penodaan hari Suci Nyepi yang terjadi di Desa Sumberklampok, guna mendukung penegakan hukum atas penodaan hari suci Nyepi, agar tidak diulangi lagi di masa depan.
Ketika kedua pelaku hanya dijatuhi hukuman 6 bulan dengan percobaan satu tahun, FPBS melakukan aksi damai ke Kejaksaan Tinggi Bali dan Pengadilan Tinggi Denpasar guna mendesak agar hukumannya lebih adil, bukan sekadar hukuman percobaan. Dan ketika majelis Pengadilan Tinggi Denpasar memperberat hukuman menjadi 4 bulan penjara, FPBS mendukung putusan 4 bulan penjara atas kedua terdakwa, walaupun tuntutan dan putusan dinilai terlalu ringan. Namun, FPBS tetap menghormati putusan Pengadilan Tinggi. Dan ketika putusan MA memperkuat putusan banding, tapi ada pihak yang meminta eksekusi tidak dilaksanakan dengan alasan menjaga kondusivitas, FPBS kembali bersuara.
‘’Sekarang, ketika putusan MA sudah berkekuatan hukum tetap, kita dukung Kejaksaan untuk melaksanakannya. Tidak boleh ada intervensi dari pihak mana pun,’’ kata beberapa eksponen FPBS, seperti Nyoman Kenak, S.H (Ketua PHDI Bali), Ir. Putu Wirata Dwikora, SH, MH (Ketua Tim Hukum PHDI Bali), Ir. Nyoman Merta, M.I.Kom (Ketua Yayasan Cradha), I Wayan Gede Mahardika, SH, MH (Ketua LBH Paiketan), Putu Dika Adi Suantara (PD KMHDI Bali), Putu Eka Mahardika (PERADAH Bali), dan beberapa aktivis Hindu lainnya.
Eka Mahardika dari PERADAH Bali menambahkan, ‘’Jika tidak ingin dihukum, maka jangan melanggar norma hukum terlebih lagi itu adalah korelasi hubungan antarumat agama. Sejatinya, kami pun tidak ada niat menghukum, siapa pun dia, sepanjang yang bersangkutan tidak melakukan penodaan agama,’’ katanya, seraya menambahkan, bahwa soal kerukunan di Bali, sudah dijalani turun temurun. Dan karena sudah ada putusan Mahkamah Agung, akan aneh kalau eksekusi tidak dijalankan, karena hal itu berarti suatu perbuatan baru, bisa sebagai intervensi terhadap penegakan hukum.
‘’Demi menghargai penegakan hukum, menghargai keragaman dalam hal agama, suku dan budaya, merupakan alasan penting untuk dieksekusinya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Jangan sampai, atas nama kenyamanan dan kondusivitas, hukuman yang telah inkracht tidak dilaksanakan, yang berarti tidak ada kepastian hukum, tidak ada keadilan dan kemanfaatan dari penegakan hukum yang telah berproses dengan baik tersebut,’’ imbuh Made Bandem Dananjaya, S.H, M.H dan Wayan Sukayasa, S.T, S.H, M.I.Kom dari Tim Hukum PHDI Bali.
‘’Sebaiknya terdakwa taat hukum, semua pihak juga mesti taat hukum dan menghargai mekanisme peradilan di Indonesia ini. Agar kerukunan terjaga, mari ke depan menjaga lisan kita masing-masing, saling menghargai, tidak mengulang perbuatan yang sama. Sebab, kalau putusan tidak dieksekusi, apalagi atas intervensi diluar mekanisme hukum, dampaknya bisa menjadi semacam jurisprudensi, karena bisa dijadikan alasan oleh pihak lain untuk menuntut hal serupa. Jangan disalahkan kalau kita kuatir, tidak dieksekusinya putusan oleh kejaksaan, bisa memicu gejolak, karena hukum tidak dilaksanakan dengan tegas,’’ imbuh Bandem Dananjaya dan Sukayasa.
Seperti berita-berita yang beredar sebelumnya, Kepala Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali, Suwitra Yasa mengajukan permohonan kepada Kejaksaan Negeri Buleleng untuk tidak melaksanakan eksekusi pidana terhadap dua warga desa Sumberkelampok, Acmat Saini (51) dan Mokhamad Rasad (57), yang terlibat dalam perkara penistaan agama saat hari raya Nyepi. Permohonan ini disampaikan pada Senin, 20 Januari 2025, dengan harapan eksekusi tidak akan dilaksanakan dengan alasan dikhawatirkan dapat menimbulkan ketegangan dan merusak kerukunan antarumat di desa tersebut (*r).