Oleh : IK. Budiasa *)
Pertama-tama, perlu ditegaskan pada bagian paling awal tulisan bahwa ini bukanlah usaha untuk denial. Bahwa ada beberapa laki-laki Bali yang punya pandangan “Sing Beling Sing Nganten”, harus diakui itu adalah fakta. Masalahnya adalah generalisasi, seolah-olah pandangan tersebut mewakili Bali secara keseluruhan. Tulisan ini hanyalah usaha perlawanan atas framing dan generalisasi tersebut.
Kedua, secara “landasan sastra”, Hindu sebenarnya mengatur hubungan pria dan wanita yang belum terikat pernikahan dengan cukup ketat. Dalam kitab kompodium hukum Hindu, Manawadharmasastra VIII.357-358 dinyatakan sebagai berikut:
“Upācarakriya kelih, sparco bhusaṇa vasasan, saha khatvasanaṁ caiva sarvam saṁgrahanam smṛiam. Ṣṭriyam sprceda dece yah sprsto va marsayettaya parasparasyanumate sarvam saṁgrahanam smṛtam”. (Memberikan sesuatu yang merangsang wanita yang bukan istrinya, bercanda cabul dengannya, memegang busana dan hiasannya, serta duduk di tempat tidur dengannya adalah perbuatan yang harus dianggap sama dengan berzinah. Bila seseorang menyentuh wanita yang bukan istrinya pada bagian yang terlarang, atau membiarkan menyentuh bagian itu, walaupun semua perbuatan itu dilakukan dengan persetujuan bersama, haruslah dianggap berzinah).
Ketentuan tersebut tegas, clear, tidak multi tafsir. Tidak ada umat Hindu yang menafsirkan berbeda ajaran tersebut dan kemudian merasa tindakannya dibenarkan oleh tafsir yang berbeda itu. Bahwa kemudian ada yang melakukan hal berbeda, itu adalah pilihan masing-masing. Dan karena tidak ada pihak lain yang dirugikan, masyarakat cenderung permisif dan menganggap hal tersebut urusan privat. Masyarakat biasanya memang tidak bergunjing. Menikah bulan Januari kemudian melahirkan di bulan Juni tahun yang sama, masyarakat tidak menjadikannya rumpian sinis penuh penghakiman (judgement) dosa. Barangkali, inilah salah satu bedanya. Masyarakat Bali sangat menghormati wilayah privat sepanjang menyangkut urusan pribadi dan diberlakukan di wilayah pribadi. Karena itu pulalah Bali menjadi compatible untuk iklim pariwisata, dimana orang dengan berbagai budaya datang melancong. Dari yang berpakaian terbuka, setengah terbuka, setengah tertutup sampai yang tertutup, semua diterima, tanpa judgement.
Ketiga, Bali adalah wilayah yang kaya dengan perbedaan. Setiap wilayah bahkan sampai lingkup terkecil seperti banjar atau desa, memiliki kekhasan tradisi masing-masing. Pandangan dan tradisi di satu desa bisa jadi berbeda dengan pandangan dan tradisi desa tetangga terdekatnya, dan ini hal yang sangat biasa. Tidak ada tendensi untuk merasa paling benar sambil menghakimi yang berbeda sebagai pendosa. Penulis memiliki beberapa teman yang sudah menikah beberapa tahun dan belum memiliki anak. Keluarga-keluarga di desa penulis masih sangat tradisional dalam memandang pernikahan, bahwa pernikahan adalah sesuatu yang suci. Kesucian itu ditandai dengan ritual pernikahan yang khusuk dimana salah satu prosesinya adalah pengantin wanita memegang kain yang kemudian kain tersebut ditusuk dengan keris oleh pengantin pria. Jadi framing “Sing Beling Sing Nganten”, tidak laku di desa penulis.
Keempat, peristiwa “hamil di luar nikah” bukanlah monopoli Bali. Penulis sudah mencoba melakukan searching berkali-kali dengan berbagai keyword yang netral, nama Bali bahkan tidak muncul di 2 halaman paling depan mesin pencarian. Ada daerah-daerah yang mendominasi pemberitaan dengan kasus-kasus yang mencengangkan. Artinya, di jaman yang semakin terbuka dan modern ini, dimana para remaja memiliki daya jelajah pergaulan yang begitu luas, kasus hamil di luar nikah (bahkan di beberapa daerah menimpa anak-anak SMA/sederajat) sudah terjadi di banyak provinsi atau kabupaten/kota, dari berbagai etnis dan suku.
Pertanyaannya kemudian, mengapa framing “Sing Beling Sing Nganten”, ditimpakan khusus kepada masyarakat Bali? Orang-orang Bali polos yang memandang pernikahan sebagai sesuatu yang suci, wanita-wanita dan lelaki-lelakinya yang masih menjaga kehormatan hingga ke jenjang pernikahan tentu berhak menolak dan melawan framing jahat tersebut. Masyarakat Bali sudah menunjukkan kedewasaan yang luar biasa dengan melepaskan diri dari jebakan framing ketika dua kali dibom. Mereka tidak mem-framing siapa pun, dan tetap menerima semua dengan damai dan tangan terbuka. Narasi yang menempatkan masyarakat Bali secara keseluruhan dalam framing buruk adalah kejahatan yang menodai keterbukaan masyarakat Bali. Dan karenanya, narasi jahat tersebut harus dilawan dengan fakta-fakta keras (hard evidence). Faktanya, sebagaimana penulis sampaikan di atas, “juara” jumlah kasus hamil di luar nikah bukanlah milik Bali. Boleh juga dicari fakta-fakta kejahatan yang merugikan orang lain, merugikan masyarakat banyak, yang kerap terjadi di berbagai kelompok masyarakat bahkan institusi kegamaan. Berani tidak, penulis “Sing Beling Sing Nganten” itu membuat framing yang sama kepada mereka?
Masyarakat Bali tidaklah semuanya suci. Sebagai kelompok manusia biasa, masyarakat Bali juga memiliki kekurangan-kekurangan. Tetapi melakukan framing seolah-olah masyarakat Bali menganut tradisi “Sing Beling Sing Nganten”, sangat tak adil dan bertentangan dengan ajaran Hindu yang menjadi jiwa dari tadisi masyarakat Bali. Karenanya, framing itu juga jahat. (Jakarta, 13 Maret 2025. *) Penulis, Manusia Bali rantauan yang mencintai tradisi Bali).