Amritsar, India –Dalam misi budaya dan spiritual bertajuk TitiBanda Sanggam Project, Ida Rsi Putra Manuaba bersama Shantisena Ashram Gandhi Puri kembali menyentuh hati dunia dengan pesan damai dan cinta kasih. Kali ini, rombongan spiritual dan budaya dari Bali itu melintasi batas geopolitik dengan mengunjungi Perbatasan Attari-Wagah—titik historis yang memisahkan India dan Pakistan, namun juga menjadi simbol harapan akan persatuan umat manusia. Demikian info yang masuk ke redaksi dari India, Minggu, 6 April lalu.
Kunjungan ini merupakan rangkaian kegiatan Global Monologue Series yang digelar di berbagai kampus ternama di Negara Bagian Punjab, seperti Amritsar, Hoshiarpur dan Jalandhar. Dalam sesi-sesi tersebut, Ida Rsi Putra Manuaba menyampaikan ceramah bertema “Motivasi Dialog” kepada ratusan mahasiswa, mengangkat topik tentang nilai-nilai kemanusiaan secara universal, spiritualitas, keberanian, dan pentingnya pelayanan lintas budaya dan keyakinan. Rombongan Shantisena yang terdiri dari para pemuda spiritualis dan seniman muda Bali seperti Yuda Ramadika, Wira Arya, dan Cinta Sawitri turut menampilkan tarian Bali dan kolaborasi dengan tarian klasik India, Katak, sebagai bentuk diplomasi budaya yang menyentuh.
Perjalanan ini mencapai momen penuh makna ketika rombongan dari Bali ini tiba di perbatasan Attari-Wagah—perbatasan paling ikonik di Asia Selatan. Lokasi ini sebelumnya dikenal sebagai simbol ketegangan dan rivalitas panjang antara India dan Pakistan. Namun, kini berkembang menjadi mercusuar kerjasama, perdamaian, dan rekonsiliasi. Di sana, Ida Rsi Putra Manuaba bersama rombongan menghadiri langsung upacara Beating the Retreat, sebuah ritual penurunan bendera yang digelar setiap sore dengan penuh semangat oleh Pasukan Keamanan Perbatasan India (BSF) dan Pakistan Rangers. “Kami merasa terhormat bisa menyaksikan langsung upacara ini dari barisan kehormatan, sebuah pengalaman yang tak hanya memukau secara visual tetapi juga menyentuh secara spiritual,” ujar Ida Rsi Putra Manuaba, penerima Padmashri Award 2020 dari Presiden India dan International Jamnalal Bajaj Award 2011.

Upacara penurunan bendera itu dimulai senja hari. Suasana tegang, namun membanggakan menghiasi udara, saat tentara dari kedua negara berparade dengan gerakan penuh semangat, mengibarkan bendera dan menutup hari dengan penghormatan. Ketika gerbang besi terbuka dan bendera kedua negara diturunkan bersamaan, suasana hening berubah menjadi tepuk tangan gemuruh. Kedua prajurit dari masing-masing negara berjabat tangan sejenak—tanda bahwa meskipun dipisahkan oleh sejarah, persaudaraan masih mungkin dijalin. “Ini bukan sekadar pertunjukan militer. Ini adalah pelajaran cinta tanah air, semangat persatuan, dan bukti bahwa kemanusiaan bisa lebih kuat dari batas politik,” kata Cinta Sawitri, salah satu anggota Shantisena, yang turut mempersembahkan seni budaya Bali dalam lawatan itu.
Di balik panggung upacara, Perbatasan Attari-Wagah menyimpan sejarah yang dalam. Desa Attari merupakan tempat kelahiran Jenderal legendaris Sardar Sham Singh Attariwala, tokoh penting dalam pasukan Maharaja Ranjit Singh. Sementara Wagah, desa di seberangnya, merupakan wilayah kekuasaan Jagirdar Sham Singh dari Attari. Sebelum pemisahan India dan Pakistan tahun 1947, Amritsar dan Lahore adalah dua kota dagang utama yang hidup berdampingan di Punjab yang tidak terbagi. Namun setelah pemisahan, sebuah pos pemeriksaan bersama didirikan di dekat Pilar Perbatasan No. 102, di sepanjang Grand Trunk Road yang bersejarah. Jalur ini bukan sekadar jalur perdagangan, tetapi simbol perjalanan peradaban yang kini menjadi bagian dari Jalan Raya Asia (Asian Highway AH-1), menghubungkan banyak bangsa dari Asia Selatan hingga Timur.
Upacara Beating the Retreat sendiri diresmikan pada 1959 sebagai bentuk komitmen kedua negara untuk terus menjalin dialog perdamaian. Di masa kini, tradisi saling memberi permen dan ucapan selamat pada hari-hari besar seperti Idul Fitri, Diwali, dan Hari Kemerdekaan masih terus dilestarikan—walau itu wujud simbolis yang kecil, namun sangat berarti bagi sebuah harapan besar. “Kami percaya bahwa manusia menjadi sempurna ketika ia memuliakan kehidupan melalui cinta kasih, pelayanan, dan kemanusiaan,” tutur Ida Rsi Putra Manuaba. “Melalui TitiBanda Sanggam, kami membawa semangat Melali Metimpal Melajah Meyadnya—melakukan perjalanan bersama untuk belajar dan mempersembahkan nilai-nilai luhur bagi dunia” imbuhnya.
Kunjungan ini menegaskan kembali komitmen Ashram Gandhi Puri sebagai pusat spiritual dan budaya yang aktif memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan global. Di tengah dinamika politik dan konflik perbatasan antarnegara, suara Ida Rsi Putra Manuaba dan Shantisena hadir sebagai pengingat bahwa jembatan antarbangsa bukan hanya bisa dibangun dengan diplomasi politik, tetapi juga lewat seni, spiritualitas, dan kemanusiaan. Dengan semangat TitiBanda Sanggam Project terus melintasi batas geografis demi menyatukan nurani manusia di seluruh dunia (*ram).