DENPASAR-Dirjen Bimas Hindu Kementerian Agama RI, Prof. Dr. I Nengah Duija, M.Si mengapresiasi kegiatan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang menyelenggarakan Seminar Nasional Moderasi Beragama seraya berharap PHDI bisa berkolaborasi dengan Ditjen Bimas Hindu untuk mensukseskan salah satu program prioritas Kementerian Agama RI yakni Moderasi Beragama. Dinamika Komunikasi sangat menentukan suksesnya Moderasi Beragama. Komunikasi yang baik akan sangat mendukung tercapainya Moderasi Beragama. Demikian ditegaskan Dirjen I Nengah Duija, M.Si secara daring saat menjadi keynote speaker Seminar Moderasi Beragama di Denpasar, Sabtu (19/11/2022).
Menurut I Nengah Duija, sesungguhnya agama tidak bisa dimoderasi. Yang bisa dimoderasi itu adalah keagamaan dan sistem keberagamaannya. Oleh karena itu, dalam sistem keberagamaan salah satu yang penting dalam Moderasi Beragama adalah komunikasi. “Apa yang harus kita lakukan ketika membangun Moderasi Beragama. Satu-satunya yang paling urgen sekaligus vital dalam Moderasi adalah komunikasi. Tapi perlu kita sadari bahwa komunikasi itu tidak serta merta bisa kita lakukan karena ada beberapa catatan harus kita pahami bersama-sama,” ujarnya.
Ia melanjutkan, ada paradoks antara tata nilai lokal versus global. Tantangan Hindu di tengah budaya global adalah munculnya sisi realitas baru tata nilai kehidupan manusia yang disebut manusia kekinian (moderen, red). Yang pertama itu adalah kenyamanan, kesenangan, keterpesonaan, kesempurnaan dan kebebasan hasrat. Menurutnya, hasrat-hasrat ini timbul dari paradigma perubahan kebudayaan, baik dalam budaya lokal maupun global. Bagaimana orang merasa nyaman, senang, terpesona, sempurna, juga penampilannya, semua itu merupakan kebebasan hasrat. Tipologi yang dibangun dalam konteks realitas baru ini cenderung mengganggu kehidupan kita bersama. Kadang-kadang orang hanya bicara tentang apa yang terpesona, yang dia senangi, yang membuat nyaman, penampilannya bagus, kebebasan hasrat dan seterusnya. Semua itu justru akan menggerus nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai keagamaan kita.
Di sisi lain, lanjut Dirjen, kita kehilangan realitas dan kearifan masa lampau yang berharga bagi kemanusiaan seperti : rasa kedalaman kita, mulat sarira, pengenalan Sang Diri, rasa kebersamaan, rasa keindahan, semangat spiritualitas, semangat moralitas, dan semangat komunitas dalam kehidupan manusia moderen. Paradoks ini harus kita renungkan bersama-sama dalam membangun Moderasi Beragama. Pertanyaannya, apakah moderasi itu tidak kita bangun dari awal? Menurutnya, tata nilai masa lampau justru sangat ampuh dalam membangun Moderasi Beragama. Menurutnya, ada beberapa catatan yang harus pertimbangkan bersama-sama. Satu di antaranya adalah Tuhan dan teks. Kesimpulannya adalah teks-teks kitab suci adalah simbul yang mewakili pesan Tuhan, walaupun tidak keseluruhan dapat terwakili oleh teks dalam kitab suci. Menurut I Nengah Duija, ada semacam perluasan cara berpikir bahwa di luar teks itu masih banyak pesan Tuhan yang tidak tertulis di dalam teks. Menurutnya, agama apa pun, memiliki banyak variasi terhadap makna di dalam teks keagamaan.
Berikutnya adalah kepentingan manusia berkaitan dengan ruang dan waktu. Agama hadir dalam kehidupan manusia tidak dalam ruang hampa budaya. Hal ini menggambarkan bahwa tradisi agama erat kaitannya dengan ruang dan waktu di mana agama itu tumbuh. Budaya Nusantara adalah catatan dan cermin penting dalam membina dan membangun keragaman, keharmonisan, sehingga tumbuhnya peradaban-peradaban tentang moderasi itu sendiri. Budaya Nusantara adalah sumber-sumber yang sangat penting dalam perjalanan memaknai pesan-pesan, kitab suci, juga nilai-nilai ketuhanan dalam masyarakat Nusantara. Menurutnya, membangun budaya dan peradaban Nusantara memang tidak mudah, pembinaan agama harus mempertimbangkan komunikasi personal inernumat beragama, baik secara vertikal maupun horizontal. Ia mengambil contoh apa yang sudah dilakukan oleh umat Hindu di seluruh Nusantara adalah sebuah konteks moderasi beragama. “Jadi agama Hindu sesungguhnya tidak lagi bernarasi tentang moderasi beragama, tetapi sudah mempraktekkan teori modeasi ke dalam kehidupan sehari-hari” paparnya.
Sementara itu, Ketum Pengurus Harian PHDI, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya (WBT) menyatakan, moderasi beragama sangat penting karena kita hidup dalam suasana kebhinekaan, kita punya sesanti Bhineka Tunggal Ika Tangan Dharma Mangrwa. “Nilai-nilai kesatuan harus dipegang. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” ujarnya. WBT menambahkan, kebhinekaan paling utama, kita saling menghormati siapa pun. Tat Tvam Asi dasarnya. Vasudhaiva Kutumbakam. Sadar sebagai umat Hindu yang memiliki dasar Panca Sraddha. Kata WBT, Seminar Moderasi Beragama ini digelar dalam rangka mendukung pemerintah khususnya Dirjen Bimas dalam mensukseskan program prioritas Kementerian Agama yakni Moderasi Beragama.
“Moderasi Beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktek beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang dan mentaati konstitusi sebagai kesepakatan bernegara” jelasnya. Menurutnya, Moderasi Bergama tercermin melalui 4 indikator yaitu : toleransi, anti kekerasan, penerimaan terhadap tradisi, dan komitmen kebangsaan. Kata WBT, PHDI sebagai mitra pemerintah berkomitmen mendukung dan mensukseskan program-program pemerintah termasuk program Moderasi Beragama. Seminar Moderasi Beragama ini akan ditindaklanjuti dengan workshop Moderasi oleh Sabha Walaka PHDI.
Seminar yang dibuka Kepala Badan Kesbangpol Pemprov. Bali, Dewa Putu Mantera, S.H, M.H mewakili Gubernur Bali. Menurut Dewa Putu Mantera, setiap umat beragama memiliki cara tersendiri dalam menjalankan ibadahnya. Hanya saja, dalam menjalankan ibadah jangan sampai mengganggu ketenangan umat agama lain. Hal ini menurutnya penting dipahami demi terjaganya ketertiban dan kenyamanan antarumat beragama. Dalam mewujudkan moderasi beragama diperlukan peran serta semua komponen masyarakat, baik pemerintah, masyarakat, tokoh agama, aktivis ormas maupun para pemuda lintas agama.
Sementara itu, Ketua Panitia Seminar Nasional, Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si melaporkan, seminar nasional Moderasi Bergama ini berlangsung secara hybrid dengan peserta luring sekitar 200 orang dan daring lebih dari 150 orang. Menurut Jondra, tantangan terbesar dalam Moderasi Beragama adalah kesadaran untuk melakukan introspeksi di dalam hati masing-masing umat. “Pada hakikatnya, untuk membangun relationship antarumat, yang perlu disadari bahwa sesungguhnya masing-masing umat juga memiliki perspektif dan mazabnya sendiri-sendiri. Oleh karena itu, hendaklah dikedepankan persamaan-persamaan dan keselarasan pandangan, dan bukan perbedaan” tutur Jondra. Seminar Moderasi Beragama yang mengusung tema “Penguatan Moderasi, Merawat Toleransi Intern dan Antar Umat Beragama” ini menampilkan dua narasumber yang sudah sangat terkenal yakni Ida Pandita Mpu Jaya Bahmananda (walaka : Prof. Dr. I Gde Pitana. M.Si) dan Dr. Tri Handoko Seto, S.Si, M.Sc (Ketua Badan Dharma Dana Nasional/BDDN). (*ram)