Memantapkan Kajian Peralatan Tradisional Penangkap Ikan di Sawah
Menggali Kembali Kearifan Ekologis Tetua Bali yang Hampir Punah

Para narasumber seminar Hasil Kajian Peralatan Penangkap Ikan di Sawah yang diselenggarakan UPTD Museum Subak Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, Selasa (30/9/2025) di Aula SMA Negeri 1 Tabanan.

Sistem peralatan dan perlengkapan hidup merupakan satu aspek dari tujuh ciri kebudayaan sebagai cultural universal sebagaimana diungkapkan oleh Koentjaraningrat dan Clyde Kluckhonhn selain kesenian, bahasa, sistem pengetahuan, sistem relegi, sistem mata pencaharian dan kemasyarakatan. Saat ini adalah momentum yang tepat untuk kembali menggali dan mengenalkan kearifan ekologis warisan tetua Bali tentang peralatan  tradisional Bali untuk menangkap ikan dan binatang di sawah yang dapat dikonsumsi. Hal itu ditegaskan Prof. Dr. Drs. I Wayan Wastawa, M.A, yang juga Gurubesar UHN I Gusti Bagus Sugriwa dalam “Seminar Hasil Kajian Tentang Peralatan Tradisional Penangkap Ikan di Sawah” yang digelar Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Museum Subak, Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan di Aula SMA Negeri 1 Tabanan, Selasa, (30/9/2025).

Prof. Dr. Drs. I Wayan Wastawa, M.A saat menyajikan materi hasil kajiannya tentang Fungsi Alat-alat Tradisional Penangkap Ikan di Sawah

Seminar Hasil Kajian yang dipandu oleh Ida Ayu Nyoman Ratna Pawitrani, S.Sos, M.Si dan dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Tabanan, I Made Subagia, S.Pi, M,M menghadirkan lima narasumber yakni Prof. Dr. Drs. I Wayan Wastawa, M.A;  Dr. Dra. Ida Ayu Tary Puspa, S.Ag, M.Par (Dosen UHN IGB Sugriwa); I Gusti Ngurah Tara Wiguna (Arkeolog/Epigraf); I Wayan Suardiana (Dosen Fakultas Ilmu Budaya UNUD); dan I Made Wardana, S.S Kar, M.Si dan dihadiri oleh sekitar 150 peserta terdiri dari siswa SMA/Sederajat, penyuluh pertanian, utusan instansi se Kabupaten Tabanan dan masyarakat umum.

Materi masing-masing narasumber sesuai dengan bidang kajian masing-masing. Prof. Wastawa membawakan materi : “Fungsi Alat-alat Tradisional Penangkap Ikan di Sawah”. Ida Ayu Tari memabawakan materi “Upacara dan Upakara Penggunaan Peralatan Penangkapan Ikan di Sawah”, IGN Tara Wiguna membawakan materi “Keberadaan Peralatan Penangkap Ikan di Sawah”, I Wayan Suardiana membawakan materi “Makna Peralatan Tradisional Penangkap Ikan di Sawah” dan I Made Wardana membawakan materi : “Jenis dan Bentuk Peralatan Penangkapan Ikan Tradisional di Sawah Kabupaten Tabanan”.

Para peserta seminar

Menurut Prof. Wastawa, fungsi alat penangkap ikan di sawah dapat dilihat dari berbagai aspek yakni (1) fungsi spesifik, (2) fungsi rekam jejak budaya masa lalu, (3) fungsi estetis, (4) fungsi menumbuhkan ekonomi kreatif, (5) fungsi sosial budaya, (6) fungsi identitas, dan (7) fungsi sarana ekspresi diri, hiburan dan edukasi. Fungsi spesifik identik dengan fungsi pakai. Dicontohkan : Bubu, semacam lukah yaitu alat tradisional untuk menangkap ikan. Lukah/Bubu terdiri dari : Bubu Lindung (belut), Bubu Yuyu (Kepiting), Sedapa, Icir dan Bronjong. Pancing ada pancing ikan dan pancing lindung dan seterusnya sehingga setidaknya ada 17 nama alat tradisional penangkap ikan di sawah. Fungsi rekam jejak budaya masa lalu dapat dijadikan pengetahuan oleh masyarakat secara umum, dapat dijadikan media pembelajaran bagi anak-anak di sekolah, juga menjadi bahan kajian bagi para peneliti, sebagai bukti dan sumber peradaban masa lalu. Dari aspek estetis, fungsi peraatan tradisional penangkap ikan di sawah memiliki fungsi estetis untuk memenuhi kebutuhan manusia akan rasa keindahan, sebagai hiasan, pajangan atau dekorasi bernilai seni. Peralatan penangkap ikan juga menjadi benda pajangan di museum, di warung-warung makan, restoran guna menarik pelanggan karena menampilkan situasi klasik yang memancarkan nilai keindahan. Peralatan tradisional penangkap ikan juga memiiki fungsi dapat menumbuhkan ekonomi kreatif yakni meningkatkan nilai ekonomi dan sosial budaya warisan budaya benda, selain dapat membuka lapangan kerja baru melalui inovasi dan kreasi produk dan jasa yang atraktif secara komersial, sebagai sarana edukasi dan promosi budaya agar masyarakat lebih mengenal dan menghargai warisan budaya adiluhung tetua di masa lalu.

Kadis Kebudayaan Kab.Tabanan, I Made Subagia (Kiri Baju Merah) bersama  para Narasumber

Sementara itu fungsi dari aspek sosial budaya menjadi penanda identitas kelompok etnis atau status sosial seseorang dilihat dari bentuk bahannya dan cara penggunaannya. Ini juga menjadi penanda status sosial budaya seseorang atau kelompok masyarakat, penunjuk kecerdasan dan keterampilan seseorang yang memiliki kualitas intelektual lebih tinggi sehingga layak diberikan penghargaan dan penghormatan pada jamannya. Fungsi sosial budaya dimaksudkan adalah keberlanjutan produksi alat-alat penangkap ikan secara turun-temurun diwariskan kepada generasi berikutnya.

Sedangkan fungsi identitas dimaksudkan untuk mengetahui perbedaan diri di ruang sosial maupun individu, memperkuat jati diri sebagai pendukung kebudayaan, secara historis menunjukkan identitas bangsa Indonesia secara turun-temurun (cultural universal), sebagai pembanding antara kehidupan moderen dengan kehidupan jaman pra sejarah, sejarah, Bali kuna sehingga memberikan kebanggaan kepada generasi penerus.  Fungsi sarana ekspresi diri, hiburan dan edukasi, dari sisi ekspresi seni bermakna mengkomunikasikan pemikiran atau ekspresi melalui penciptaan karya seni tari untuk pelestarian sehingga lebih mudah dikenali. Dicontohkan : Tari Memancing dari Tabanan, Tari Nelayan dari Buleleng, Tari Bubu dari Bengkul dan seterusnya. Sebagai hiburan karena skill membuat alat-alat penangkap ikkan membutuhkan keterampilan seni merajut, menganyam dan dihubungkan dengan kisah-kisah mistis. Sebagai media pembelajaran maksudnya pengembangan aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (perilaku).

Para Narasumber Seminar Kajian Peralatan Penangkap Ikan di Sawah

Sementara Ida Ayu Taru Puspa menerangkan, sebelum peralatan penangkap ikan digunakan, umumnya diupacarai dan diupakarai dengan persembahan sesajen sebagai bentuk penghormatan kepada Dewa Wisnu (penguasa air), Dewi Sri (simbol kesuburan). Upacara dan upakara ini adalah cermin kearifan lokal dalam menjaga kelangsungan ekologi, spiritualitas dan budaya masyarakat Bali. Hal ini erat kaitannya dengan sistem budaya subak yang pengaplikasikan kalender tanam, ritus keagamaan secara terpadu. Menurutnya, inilah yang membuat Subak sebagai organisasi tradisional irigasi menjadi warisan budaya dunia sejak 2012 yang ditetapkan UNESCO. Menurut Ida Ayu Tary Puspa, kajian ritual pertanian di Bali seperti pemuliaan kepada Dewi Sri, upacara Mabiukukung dan pembentukan simbol-simbol padi (Dewa Nini) menandakan keberlanjutan tradisi yang mengikat dimensi material (produksi) dan spiritual (kesuburan dan keselamatan). Dijelaskan pula bahwa tradisi penggunaan peralatan penangkap ikan di sawah tak hanya berfungsi sebagai aktivitas subsistensi, namun juga menyatu dengan dimensi religius dan kultural. Penggunaan alat seperti Bubu (jebakan ikan, belut) biasanya disertai dengan upacara (ritual) dan upakara (sarana banten/persembahan) sebagai wujud keterhubungan antara aktivitas pertanian dengan religiusitas dan keberlanjutan ekologi. Pembahasan juga dilengkapi dengan relasi kosmologi Hindu dengan aktivitas penangkapan ikkan, makna filosofis upacara dan upakara, aspek ekologis dan keberlanjutan, integrasi sosial dalam komunitas dan transformasi dalam konteks modernisasi.

Narasumber, pejabat, undangan dan para peserta seminar kajian peralatan penangkap ikan di sawah

Sedangkan, makna peralatan tradisional penangkap ikan di sawah dipaparkan oleh  I Wayan Suardiana lebih menekankan pada aspek manusia sebagai subyek atau pelaku budaya. Ia mengurai makna manusia dari aspek kualitas diri dan keberlanjutan hidup. I Gusti Ngurah Tara Wiguna lebih fokus menjelaskan jenis-jenis peralatan penangkap ikan koleksi Museum Subak seperti Lobakan, Sepit Lindung, Dungki yang ketiganya digunakan untuk menangkap belut (lindung) di malam hari. Juga diuraikan alat-alat seperti Bubu (Bubu Belut dan Bubu Ikan) serta Bubu Udang,  Seser, Susug, Tombak Kodok. Tara Wiguna menambahkan paparannya dengan proses transformasi artefak penangkap ikan, mulai dari membuat, memakai dan membuang.

Terakhir, I Made Wardana mengurai jenis dan bentuk peralatan penangkap ikan di sawah. Peralatan dibedakan atas bentuk, bahan, cara kerja, jenis ikan yang ditangkap dan lokasinya akan berbeda-beda sesuai kearifan lokal masing-masing daerah/desa. Peserta tampak antusias menyimak paparan kelima narasumber dan selama proses diskusi. Peserta, baik para siswa SMA, maupun para penyuluh pertanian dan umum, terbukti dari awal sampai seminar berakhir tak ada  yang meninggalkan aula. Kelima narasumber secara bergiliran memberikan respon atas pertanyaan peserta.

Kepala Dinas Kebudayaan I Made Subagia memberikan closing statement dan penjelasan atas pertanyaan seputar kebijakan yang telah diambil oleh Pemkab Tabanan, baik tentang upaya pemertahanan ketahanan pangan, bantuan fasilitas kepada para petani, pencegahan alih fungsi lahan pertanian, dan perkembangan yang berkaitan dengan Museum Subak di Kabupaten Tabanan. Usai seminar, Kepala UPTD Musem Subak Kabupaten Tabanan, Si Putu Putra Eka Santi, A.Par mengatakan, pihaknya secara rutin memprogramkan kajian terkait dengan aspek kebendaan di Museum Subak Tabanan. Kajian melibatkan para pakar dibidang masing-masing serta menyerap aspirasi publik serta mendiseminasikan kembali ke publik. (ram).

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email