Menuju Kesetaraan Kedudukan Semua Agama
Menyoal Label Halal dan Wisata Halal di Bali

Drs. Suminto, M.M, Ketua Bidang Kebudayaan PHDI Pusat dan Ketua DPP Prajaniti Hindu Indonesia

Oleh : Mas Minto *)

Bahwa untuk memastikan penyelenggaraan negara berdasarkan Pancasila dan UUD NKRI 1945, dengan berpedoman Bhineka Tunggal Ika serta demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia,  saya memiliki pandangan terhadap beberapa masalah krusial dengan tingkat sensitivitas yang tinggi, sebagai berikut :

1.     Keharusan Mengurus Jaminan Produk Halal Bagi Semua

Masalah ini timbul setelah Kepala BPJPH (Haikal Hasan) menyatakan  semua produk yang beredar di Indonesia harus bersertifikat halal. Pernyataan ini memantik reaksi dari berbagai kalangan khususnya umat Non Islam. Hal itu juga BERTENTANGAN dengan Penjelasan UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Pada bagian Umum angka (2) yang berbunyi :

“Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.”

2.     Wisata Halal di Bali

Merujuk pada UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka (1), “Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat” dan angka (2), “Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam”.   Sampai di sini kita bisa melihat bahwa Wisata Halal harus menjadi Wisata yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Mungkinkah pariwisata Bali dipaksakan untuk sesuai dengan syariat Islam?

Sejarah pariwisata Bali hingga bisa menjadi destinasi wisata favorit dunia karena adat dan budaya Bali yang berbasis Hindu Dharma. Karena sistem nilai itulah yang menjadikan Bali sangat memesona. Pelaku Wisata di Bali sudah menyatu dengan penyediaan produk dan jasa pariwisata yang berbasis adat dan budaya Bali. Jika harus melalui proses penghalalan, apalagi harus sesuai dengan syariat Islam, maka pembangunan pariwisata Bali akan melenceng dari pondasinya sebagai wisata Budaya. Beban pengusaha pariwisata Bali akan meningkat, akibat kewajiban-kewajiban yang tidak relevan (tidak perlu) untuk menambah jumlah kunjungan wisata. Wisata Halal justru kontra produktif terhadap perkembangan wisata Budaya di Indonesia.

Berkaitan “pariwisata ramah muslim”, Bali sudah sangat tinggi tingkat keramahannya. Fasilitas tempat ibadah, ada arah kiblat di setiap penginapan atau hotel, banyaknya label muslim di warung-warung dan restoran. Banyak Masjid berderet di tepi jalan (bahkan dengan jarak yang sangat berdekatan) tanpa mempertimbangkan peraturan tentang Pembangunan Tempat Ibadah dan sebagainya. Bahkan marak  labelisasi primordial yang mengabaikan tenggang rasa, dibiarkan menempel di setiap sudut ruang Bali. Pertanyaan saya : Bali kurang apa soal toleransi?

Jika tujuan utama Wisata Halal di Bali adalah ingin menarik potensi wisatawan muslim  untuk datang ke Indonesia dan wisata halal semata-mata untuk kepentingan ekonomi, maka menurut saya, lebih cocok wisatawan muslim diarahkan ke daerah-daerah lainnya di Indonesia yang islami. Terlebih lagi saat ini daya tampung Bali sangat terbatas untuk menerima dan melayani jumlah wisatawan yang sudah sangat membludak.

Program Wisata Halal di Bali dapat dilihat sebagai komodifikasi agama (halal). Menurut saya, komodifikasi halal akan mendistorsi syariah Islam itu sendiri, karena lebih mementingkan ekonomi dan cenderung mempolitisasi agama.

Pemberlakuan Syariat Islam sesungguhnya sudah memasuki ranah hukum Islam dan ibadah umat Islam. Hal tersebut hanya dapat diberlakukan bagi para pemeluknya atas kesadaran sendiri dan dalam hubungan yang sangat pribadi antara manusia dengan Tuhan. Ketika negara mengambil alih pengaturan pelaksanaan ibadah suatu agama, dan memberlakukan hukum-hukum agama dalam peraturan perundang-undangan, maka terjadilah formalisme agama. Hukum Agama akan bertransformasi menjadi hukum positif. Jika hal itu terjadi maka Indonesia akan bergeser menjadi negara agama.  Hal ini bertentangan dengan UUD 1945.

3. Kesetaraan Kedudukan Semua Agama

Dalam banyak kesempatan pemerintah menyampaikan bahwa “Pemerintah menghormati dan melindungi kebebasan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan”. Kalimat ini terlihat manis diucapkan, namun faktanya jauh panggang dari api. Perlindungan terhadap kaum lemah jarang terjadi. Kebebasan menjalankan ibadah agama yang tidak disertai rasa hormat (bertoleransi) kepada pemeluk agama lain menghasilkan arogansi. Kebebasan menjalankan ibadah agama yang tidak disertai rasa tanggung jawab dan tenggang rasa melahirkan kekecewaan bagi pemeluk agama lain. Hal tersebut dicontohkan dengan seringnya fasilitas umum seperti jalan harus ditutup untuk pelaksanaan ibadah. Demi kenyamanan bersama, pemerintah harus mengambil langkah berani dengan memberikan pembatasan pada volume pengeras suara di tempat-tempat ibadah yang sering dan selalu mengganggu  pemeluk agama lain bahkan pemeluk agamanya sendiri.

Dampak demokrasi langsung yang menempatkan mayoritas sebagai penyumbang elektoral terbesar, mendorong setiap pejabat politik merasa harus mengistimewakan tokoh-tokoh agama tertentu baik dalam perlakuan maupun alokasi anggaran. Diskriminasi perlakuan dan anggaran tersebut sangat dirasakan oleh kelompok-kelompok agama minoritas yang memiliki umat sangat sedikit. Alokasi anggaran keagamaan, baik bantuan, hibah, maupun infrastruktur keagamaan tidak proporsional sesuai dengan jumlah pemeluk agama. Tidak proporsionalnya alokasi anggaran kepada umat beragama, menimbulkan rasa ketidakadilan yang menyakitkan. Bersyukur tidak semua warga negara suka demo, suka membuat konten media sosial yang menyerang pemerintah atau pemerintah daerah, tidak melakukan caci maki apalagi melakukan hoax.

Data kuantitatif mudah sekali diverifikasi apakah ketidakadilan ini nyata atau hanya sekedar prejudice atau bahkan firnah.  Kami telah beberapa kali melakukan kajian terhadap permasalahan ini, namun tidaklah elok untuk dipublikasi dan dikonsumsi sebagai olok-olok kepada pemerintah atau pemerintah daerah.

Dalam rangka mewujudkan kesetaraan semua agama,  pemerintah harusnya  :

a.     Perlakukan setara majelis-majelis keagamaan, baik dalam forum-forum resmi kenegaraan maupun forum-forum informal.

b.     Alokasikan anggaran baik APBN maupun APBD secara proporsional sesuai dengan jumlah umat beragama.

c.     Hindarkan keterlibatan ASN pada prilaku curang dengan mengubah identitas keagamaan dalam data kependudukan untuk mengurangi jumlah umat beragama tertentu dan menambah jumlah umat beragama lainnya.

d.     Meninjau kembali peraturan mengenai Pembangunan Tempat Ibadah yang cenderung diskriminatif dan dapat menimbulkan potensi konflik.

e.     Mengkaji ulang regulasi tetang perkawinan beda agama yang diskriminatif.

f.      Mengeluarkan regulasi tentang upaya syiar agama kepada umat beragama lain, atau syiar agama di ruang publik yang dapat menimbulkan rasa saling curiga, kebencian, dan amarah pemeluk agama lain.

g.     Meredefinisi toleransi yang tidak saja membatasi makna toleransi sebagai sikap membiarkan orang lain menjalankan ibadahnya, namun menghargai umat beragama lain dengan tidak memengaruhi untuk pindah agama. Pemahaman mengkonversi orang lain adalah bagian dari ibadah HARUS DIHENTIKAN dalam rangka penghormatan terhadap pemeluk agama lain. Nilai Tat Twam Asi yang berarti Kamu adalah Aku harusnya menjadi dasar dalam pengembangan tenggang rasa. *) Mas Minto/Drs. Suminto, M.M adalah Ketua Bidang Kebudayaan PHDI Pusat dan Ketua DPP Prajaniti Hindu Indonesia.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email