Oleh : Wayan Windia *)
Kegiatan usahatani (on farm) tidak berdiri sendiri. Usahatani berkait ke hulu (backward linkages), yakni dengan kegiatan usaha yang mensuplai input bagi usahatani (berupa sarana/prasarana produksi tanaman). Usahatani juga berkait ke hilir (forward linkages), yakni dengan kegiatan usaha yang mengolah produk pertanian. Artinya, output produk usahatani, menjadi input bagi usaha pengolahan produk pertanian.
Para ahli mencatat bahwa forward linkages, mampu mendorong kegiatan usahatani 5 kali lipat sedangkan kegiatan backward linkages, yang hanya mampu mendorong kegiatan usaha tani sekitar 3 kali lipat. Itulah sebabnya, negara-negara maju, tatkala ia akan mulai membangun industrinya, yang dibangun terlebih dahulu adalah industri-industri hilir. Kemudian pengembangan industrinya setahap demi setahap digerakkan semakin ke hulu. Akhirnya, sektor industri semakin kuat, dan sektor pertanian pun juga semakin menguat.
Itulah sebabnya di jaman BJ Habibie, ada kritik terhadap konsep pembangunan industri pesawat terbang. Khususnya tatkala terjadi krisis ekonomi tahun 1998 di Indonesia. Bahwa pembangunan industri di Indonesia terlalu melompat jauh ke depan (industri pesawat terbang). Padahal saat itu, sektor industri hilir belum mapan untuk mendukung pembangunan pertanian. Waktu itu, era swasembada beras telah lama berlalu, dan Indonesia (yang memiliki lahan pertanian ratusan juta hektar) mulai lagi bergantung pada beras impor. Ini sungguh ironis.
Dalam sejarah pembangunan pertanian, Indonesia termasuk negara yang membangun sektor pertaniannya dimulai dari hulu. Mungkin pada saat tersebut, kondisinya sangat mendesak. Terutama untuk menghindari dan mengatasi kekurangan pangan yang sangat akut. Program revolusi hijau (green revolution) di Indonesia (melalui pelaksanaan Bimas, Inmas, dan Insus), harus digalakkan bahkan dalam beberapa kasus, terpaksa harus dilakukan dengan “tangan besi” oleh pemerintah saat itu.
Sektor pertanian di zone on farm (usahatani), sebetulnya dihuni oleh orang-orang (petani) yang cerdas. Petani itu tidak bodoh. Mereka ditempa oleh pengalaman hidupnya. Kalau mereka salah mengambil keputusan, maka resikonya mereka akan mati. Oleh karenanya, jika di sektor hilir sudah kuat, dan produksi petani diserap oleh sektor hilir, maka petani pasti senang bertani. Petani dengan sendirinya akan mencari ke hulu, semua sarana produksi pertanian (saprotan) yang diperlukan. Bahkan tanpa ada subsidi untuk input oleh pemerintah pun, maka petani pasti akan membelinya.
Agus Pakpahan menyebutnya sebagai proses tepungisasi di hilir. Semua output pertanian dijadikan tepung. Hal ini dianggap penting, sebagai suatu proses pengamanan cadangan pangan. Dengan demikian kita tidak bergantung dari produk pangan luar negeri, dan juga bisa sebagai bahan baku energi. Agus berpendapat bahwa di masa depan, bangsa-bangsa akan sangat bergantung kehidupannya dari ada-tidak adanya cadangan energi yang memadai.
Saya membaca di medsos bahwa Pemda Bali akan membangun pabrik yang menghasilkan input (saprotan) bagi sektor pertanian. Hal itu berarti bahwa Pemda Bali akan membangun pertanian melalui hulu. Tujuannya agar nanti Nilai Tukar Petani (NTP) bisa naik. Ya, terserah saja, karena itu adalah soal pilihan kebijakan politik. Entahlah apa pertimbangannya.
Tetapi bagi saya, lebih baik membangun pertanian mulai dari hilir. Karena membangun pertanian dari hilir, berarti bahwa : subsidi pemerintah bisa langsung diterima petani, mampu menggerakkan ekonomi pedesaan, dan bisa lebih menjamin keberlanjutan. NTP pasti ikut akan naik juga. Jadi, kalau tujuannya untuk meningkatkan NTP, maka pembangunan pertanian di Bali, sebaiknya dimulai dari hilir.
Sebetulnya, secara teoritik Pemda Bali sudah memiliki alat untuk membantu petani dalam kegiatan di hilir. Yakni melalui pergub No. 99 tahun 2018 tentang Pemasaran dan Pemanfaatan Produk Pertanian, Perikanan dan Industri Lokal Bali. Namun kita amati, pergub itu tidak berjalan. Masalahnya, karena tidak ada pengawasan, kelembagaan petani tidak dikuatkan, dan perusahaan daerah milik Pemda Bali tidak ada modal untuk mendukung pelaksanaan pergub tersebut. Sayang sekali. Memang begitulah adanya. Pemerintah tidak suka dan tidak ada komitmen untuk membangun pertanian, ditengah-tengah gemerlap sektor pariwisata di Bali. Akibat-akibatnya sudah juga nyata diterima masyarakat petani di Bali.
Mungkin, memang demikianlah nasib petani, orang-orang yang miskin, jelek, dan tidak berdaya. Tidak ada orang yang sudi menengok, apalagi membantunya. Kecuali ada kepentingan politik praktis terutama menjelang Pemilu, semua tokoh politik tiba-tiba menjadi dermawan dan sinterklas. Tetapi dalam keadaan kritis, tokh semuanya bersandar pada sektor yang dihuni oleh orang-orang yang miskin dan jelek yang identik dengan petani. Apa akibatnya ?
Ya, akibatnya seperti yang kita alami sekarang. Nilai Tukar Petani (NTP), sejak bertahun-tahun tetap saja di bawah nilai 100 (artinya, petani merugi), jarang orang yang suka bertani, sawah dibabat seenaknya, sumbangannya pada perekonomian Bali terus merosot (kini hanya sekitar 12%), peraturan perundang-undangan yang membela petani/pertanian umumnya tidak berjalan alias hanya normatif, lips service dan omong kosong dan pada saat-saat kritis dibebani lagi oleh orang-orang yang kehilangan pekerjaan.
Sudah sejak lama ada wacana dari orang-orang yang pro pertanian, agar subsidi input oleh pemerintah segera diganti dengan subsidi output. Artinya, petani tidak butuh lagi subsidi dalam bentuk saprotan. Tetapi mereka memerlukan harga produksi yang memadai, yang bisa mendorong mereka menjadi senang sebagai petani dan pemerintah mestinya membangun industri hilir. Tetapi suara-suara seperti itu lenyap ditelan rutinisme kebijakan yang terlanjur membahagiakan pabrik-pabrik saprotan. Memang tidak mudah melawan cengkraman kapitalisme. Apalagi para kapitalis umumnya “berselingkuh” dengan penguasa. Akibatnya petani harus terus rela hidup sengsara. Sampai kapan petani mampu tahan hidup seperti ini ? Apalagi sekarang lahannya sudah banyak dicaplok investor untuk pembangunan infrastruktur. Lengkaplah sudah penderitaan para petani kita. Siapa yang peduli? *) Penulis, adalah Guru Besar Emeritus pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti di Denpasar.