Pesan dan Renungan Dharma Perspektif Generasi Muda
“Nyepi Disaat Tumpek, Stop Sumpek Agar Manusia Tekek Ring Ambek”

Luh Irma Susanthi, S.Sos., M.Pd, Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Buleleng

Oleh : Luh Irma Susanthi S.Sos, M.Pd  *)

Hari Suci Nyepi Tahun Baru Caka 1947 pada Sabtu, 29 Maret 2025  yang bertepatan dengan Tumpek Wariga dalam Konteks Green Dharma (Sehari Tanpa Gadget), menjadi momentum sangat penting bagi introspeksi umat Hindu menyambut Tahun Baru Caka 1947.

***

Hari Suci Nyepi dirayakan setiap tahun sekali yang jatuh sehari setelah Tilem Sasih Kesanga atau pinanggal apisan Sasih Kedasa berdasarkan perhitungan tahun baru Caka. Sasih Kesanga merupakan bulan kesembilan dalam kalender Saka yang menandai transisi dari tahun lama ke tahun baru Caka. Dalam konteks spiritual, Sasih Kesanga dianggap sebagai bulan yang penuh dengan energi besar, sehingga perlu adanya penyucian dan keseimbangan alam semesta yang dalam setiap puncak perayaannya selalu menggelar Tawur Agung Kesanga.

Salah satu bentuk Ogoh-ogoh yang merupakan simbol bhutakala

Ritual Tawur Agung Kesanga ditandai dengan pengrupukan dan pawai Ogoh-ogoh.  Keesokan harinya umat Hindu menjalani Hari Suci Nyepi.  Pesan moral dalam  Lontar Sundarigama berkaitan dengan Hari Suci Nyepi berbunyi sebagai berikut:

“Iku wéwaran Nyepi, tanggal apisan sasih kedasa, ngaran Caitra. Ya ika wéwaran anyar ira tatwanira bhatara Kala, tan hana geni, tan hana lelungan, tan hana karyan.”

Artinya:

“Itulah aturan Nyepi, jatuh pada hari pertama bulan kesepuluh (dalam kalender Saka, bulan Kesanga ke Caitra). Itulah pergantian tahun, hakikatnya adalah Sang Hyang Kala, tanpa api (tidak menyalakan api), tanpa perjalanan, tanpa bekerja.”

Pembelajaran sederhana memberikan ruang dalam diri untuk kotemplasi lebih kedalam dalam hakikat  sepi ing gawe (menghentikan kerja).  Nyepi dilaksanakan dalam sebuah tujuan yang mulia yakni untuk menetralisir segala energi negatif dalam kehidupan manusia dan menjaga keseimbangan semesta. Sasih Kesanga dianggap sebagai masa di mana energi alam mencapai titik kulminasi, sehingga perlu adanya penyelarasan melalui Catur Brata Penyepian (empat bentuk pembatasan dalam pelaksanaan Nyepi) :

  1. Amati Geni (Tidak menyalakan api/penerangan – simbol pengendalian nafsu)
  2. Amati Karya (Tidak bekerja – simbol introspeksi diri)
  3. Amati Lelungan (Tidak bepergian – simbol harmonisasi dengan alam)
  4. Amati Lelanguan (Tidak bersenang-senang – simbol penyucian diri).

Fenomena Hari Suci yang datang bersamaan dengan Tumpek Wariga (Tumpek Pengarah/Pengatag/Bubuh/Uduh) memiliki sebuah pesan spirit yang sangat luar biasa. Keterkaitan dengan Tumpek Wariga dalam Konteks Green Dharma memberi cahaya (sasuluh) kehidupan untuk memuliakan Bhatara Sangkara (pemberi kesuburan) dalam sebuah etika keagamaan.

Hari suci Nyepi yang  bertepatan dengan Tumpek Wariga mengajarkan setiap umat manusia untuk memuliakan tumbuh-tumbuhan (Taru, kayu, pepohonan). Dalam sastra Hindu disebutkan bahwa Tumpek Wariga adalah momen persembahan kepada Sang Hyang Sangkara, manifestasi Tuhan sebagai Dewa Kesuburan dan tumbuh-tumbuhan, untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan. Sumber kajian tersebut diperkuat juga dalam kutipan  Lontar Sundarigama disebutkan yakni,

“Tumpek Wariga punika wewaran ika ring sang reranu kabeh, sakwehening wit kayu, wit sadewata, wit kahyangan, hana gumayun ring jagate.”

Artinya: “Tumpek Wariga adalah hari suci bagi semua tumbuhan, semua jenis pohon, baik yang disakralkan maupun yang umum, yang menopang kehidupan di dunia.”

Pembelajaran dalam  konteks Green Dharma memberi spirit moral untuk “Tekek Ring Ambek” yakni kesadaran setiap umat  Hindu dalam menjaga keseimbangan alam. Green Dharma mengajarkan manusia untuk hidup selaras dan harmonis dengan alam, tidak mengeksploitasi sumber daya secara berlebihan, dan memberikan ruang bagi alam untuk memuliakan kesadaran akan betapa mulianya terlahir sebagai manusia. Ini sejalan dengan filosofi Tri Hita Karana, khususnya Palemahan yang bermakna menjaga keharmonisan anatara manusia dengan lingkungan hidup (sarwa prani hitangkarah). Catur Brata Penyepian juga sangat sejalan dengan konsep dan ajaran Mamayu Hayuning Bhuwono yakni perilaku baik, lakoning hayu, untuk kelestarian dan keharmonisan alam semesta.

Pawai Ogoh-ogoh, sehari sebelum Hari Raya Nyepi

Pada Hari Suci Nyepi, umat Hindu menjalankan Catur Brata Penyepian, yang secara tidak langsung mendukung konservasi lingkungan, mengurangi emosi gas karbon dan mencegah polusi baik, suara, udara, tanah. Amati Geni mengajarkan setiap umat untuk tidak menggunakan penerangan listrik, tidak menyalakan api dalam upaya mengurangi polusi dan konsumsi energi. Ini artinya umat manusia diwajibkan berpuasa (upawasa) baik berupa tidak makan-minum maupun tidak berbicara selama 24 jam (monabrata) mulai pukul 06.00 sampai dengan pukul 06.00 keesokan harinya.

Amati Lelungaan mengajarkan umat untuk diam, hening, tidak bepergian yang memberi sebuah dampak yakni mengurangi emisi karbon.  Amati Karya mengajarkan umat untuk tidak bekerja (hening, sepi ing gawe) dan memberikan kesempatan bagi alam untuk beristirahat, hening, heneng, henung.   Amati Lelanguan mengajarkan umat untuk tidak bersenang-senang agar mampu menumbuhkan kesadaran spiritual, pengendalian diri dan kepedulian terhadap lingkungan.

Melalui refleksi ini, kita dapat melihat bahwa Nyepi dan Tumpek Wariga adalah dua momentum sakral yang saling berkaitan dalam ajaran Hindu untuk melestarikan alam dan memperkuat kesadaran ekologi umat manusia. Nyepi dirayakan diawal  Sasih Kedasa (Bahasa Bali : Kedas artinya bersih) bermakna manusia muli dengan suasana baru, semangat  diawal tahun baru Caka.  Proses pembersihan itu dilakukan sehari sebelum tanggal pertama (pinanggal apisan) Sasih Kedasa. Energi besar pada Sasih Kesanga merupakan puncak energi alam yang harus diseimbangkan melalui introspeksi dan penyucian ritual Tawur Agung Kesanga, nyomia buthakala, agar alam semesta lembali dalam keadaan normal.

Ritual Tumpek Wariga, memohon kesuburan dan keberhasilan tanaman

Sementara itu, Tumpek Wariga yang bersamaan dengan Hari Suci Nyepi mengajarkan pentingnya penghormatan terhadap alam, terutama tumbuh-tumbuhan. Tumpek Wariga identic dengan konsep Green Dharma ajaran Hindu yang mewajibkan manusia untuk menjaga keseimbangan alam melalui kesadaran dan disiplin spiritual, yang tercermin dalam pelaksanaan Catur Brata Penyepian dan Tumpek Wariga.

Sebuah analogi konsep untuk memahami keterkaitan ini, kita umat Hindu diharapkan semakin sadar bahwa ajaran Hindu sejak dahulu telah menekankan pentingnya keseimbangan ekologi yang sangat relevan dalam menghadapi tantangan perubahan iklim (climate change) saat ini yang ditandai peningkatan rata-rata suhu udara akibat pemanasan global (global warming).

Esensi sederhana dalam menjaga ambek dalam proses menyepikan diri , proses internalisasi dalam diri agar beban atau rasa sumpek dengan segala rutinitas beban kerja dapat kita akomodir dalam sebuah penyerahan diri dalam upaya mendekat dengan Sang Pencipta dalam sebuah keheningan. Ini adalah bentuk pembelajaran yang sangat sederhana dalam mengaplikasikan konsep Seva atau pelayanan yang disertai dengan Prema atau Kasih Sayang yang memandang dan menghargai semua ciptaan Beliau, bentuk tumbuhnya kesadaran yang utama dalam pembelajaran akan hakikat kesadaran akan Sang Jati Diri Sejati (Tekek Ring Ambek). *) Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng.

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email