Pembelajaran tentang Subak, Warisan Leluhur di Kaki Gunung Agung

Oleh : Prof. Dr. Ir. Wayan Windia, S.U  *)

Bulan lalu, saya mendapat undangan untuk berceramah tentang subak di Kawasan Jero Tumbuk, di Kaki Gunung Agung. Acara itu diselenggarakan oleh Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), bekerjasama dengan Yayasan Bali Kuna. Programnya bernama Bali International Field School for Subak (BIFSS). Sebetulnya program ini sudah dilaksanakan sejak lima tahun lalu, berlokasi di Ubud dan di Kota Amlapura, Karangasem. Pesertanya dari seluruh dunia. Tetapi hanya kali ini saya merasa sangat berkesan.

Ketika saya presentasi, saya menyaksikan Gunung Agung berdiri kokoh. Di kakinya ada hutan, tegalan, mata air, dan sawah, yang memberi kehidupan bagi manusia. Saya juga membayangkan Ida Rsi Markandya yang dengan tulus bekerja dan berdoa untuk membangun sawah dan subak di Bali. Pengorbanannya luar biasa. Setengah dari 800 orang pengikutnya gugur. Beliau bolak-balik Jawa-Bali, dan kemudian mempersembahkan Yadnya Pancadatu di kawasan Pura Besakih. Lalu terbangunlah kawasan sawah di Desa Taro, Gianyar, yang kini dikenal dengan kawasan Subak Puakan.

 

Peristiwa 10 Abad yang lalu itu, kini sangat dikagumi dunia. Badan dunia, UNESCO mengakui subak sebagai warisan dunia. Sangat banyak penduduk dunia yang belajar ke Bali tentang konsep dan filsafat subak. Mereka tidak saja belajar tentang sistem irigasinya. Tetapi juga tentang nilai-nilai dan filsafatnya. Sekelompok pengusaha muda dari seluruh dunia pernah berkunjung ke Subak Pulagan (salah satu subak yang menjadi warisan dunia). Lalu di antara mereka ada yang bertanya. “Saya adalah seorang pengusaha. Lalu apa yang dapat saya petik dari kunjungan saya ke subak ?” katanya.

Saya mengatakan bahwa filsafat subak adalah mengembangkan harmoni dan kebersamaan dalam semua aktivitasnya. Hal itu sesuai filsafat yang dianutnya, yakni Tri Hita Karana (THK). Bagi para pengusaha, kiranya dapat diterapkan konsep ini dalam aktivitas bisnisnya. Bahwa kaum pengusaha, seharusnya tidak hanya mengejar profit, tetapi juga apa benefit yang dapat dipetik oleh masyarakat di sekitarnya. Pengusaha juga tidak semata-mata hanya mengejar efesiensi, tetapi juga  efektivitas. Dengan demikian, akan tercipta harmoni dan kebersamaan di internal perusahaan dan juga harmoni dengan kalangan eksternal perusahaan.

Kembali soal subak, saya menaruh sangat hormat kepada Dr. Ari Catrini dan suaminya dari Jero Tumbuk, Desa Selat, Karangasem. Dr. Ari Catrini dengan sepenuh hati berkorban untuk kepentingan pembelajaran tentang subak. Meskipun tinggal di Jakarta, suami-istri itu rela bolak-balik Jakarta-Bali untuk menjaga eksistensi subak. Saya tahu, Dr. Catrini dalam kapasitasnya sebagai Ketua BIFSS bolak-balik ketemu menteri di Jakarta, agar subak di Bali mendapatkan perhatian.

Tidak banyak  komunitas yang menaruh perhatian pada subak di Bali. Terlebih lagi saat ini. Para elit sibuk dengan komunitasnya. Para pejabat pemerintahan sibuk dengan tugas rutinnya. Anak mua Bali sibuk dengan smartphonenya. Hal ini terjadi, karena memang pemerintah kita belum memihak pada petani (produsen). Pemerintah  lebih berat memihak kepada konsumen. Dengan tujuan agar masyarakat tenang, tak ada gejolak, dan tak ada friski. Akibatnya, petani yang menjadi korbannya. Petani yang sudah miskin, tetapi harus berperan sebagai bamper inflasi. Peranan sektor pertanian dalam perekonomian terus menurun. Kini sumbangannya hanya sekitar 13% pada PDRB (Bali). Indeks Nilai Tukas Petani-nya (NTP) di bawah 100. Lalu, siapa yang tertarik menjadi petani ? Kalau demikian, subak-pun akan semakin terjepit dan akan mati. Kasihan pengorbanan Ide Rsi Markandya, 10 abad yang lalu.

Ironisnya, anak-anak muda dari seluruh dunia sangat antusias mempelajari sistem subak di Bali. Mereka kagum melihat sawah dengan sistem one inlet and one outlet. Kagum melihat petani yang  walaupun  sangat susah, tetapi sangat semangat. Kagum menyaksikan terasering sawah yang dibangun sesuai kontur bukit. Semua kekaguman itu tampaknya dibalut oleh pengakuan UNESCO. Tetapi siapa (orang Bali) yang peduli ? Justru malah orang-orang asing yang sangat antusias. Mereka sangat agar subak di Bali tetap lestari. Ironis bukan ?

Kenapa subak harus dilestarikan? Karena subak dianggap sebagai museum besar peradaban dunia. Prof. Nyoman Sutawan menyebut subak sebagai pohon ilmu pengetahuan. Subak adalah tempat untuk belajar tentang kehidupan dan penghidupan manusia. Subak di Bali sudah lama paham bahwa membangun bendungan/empelan harus setelah pengkolan (tikungan) sungai, tidak boleh pada sungai yang sedang mengalir lurus. Bangunan-bagi (temuku) harus dibuat dengan sistem numbak (lurus ke hilir). Prinsip ambang bangunan-bagi harus proporsional.

Namun yang paling penting adalah bahwa semua aktvitas subak harus mengacu pada implementasi prinsip filsafat Tri Hita Karana. Itulah kenapa UNESCO mengakui subak dengan tema : Subak as manifestation of the Tri Hita Karana philosophy. Maknanya adalah, kalau dunia ingin melihat penerapan filsafat Tri Hita Karana (THK), maka lihatlah subak di Bali.

Pertemuan BIFSS yang dikelola Dr. Catrini di kaki Gunung Agung menimbulkan kesan yang mendalam. Bahwa masih ada komunitas yang mencintai warisan leluhurnya. Disaksikan oleh Dewa-Dewa, Ida Bethara-Bethari di Gunung Agung, anak-anak muda dari berbagai kawasan di dunia, menelusuri persawahan di Subak Selat. Mereka menyaksikan berbagai kesulitan yang dihadapi petani. Namun tokh petani itu tetap bertahan menjaga dan memelihara arisan leluhurnya. Berbagai saran telah dikemukakan di hadapan Wakil Bupati Karangasem, Dr. Artha Dipa (yang saat itu hadir). Kita berharap agar Pemkab. Karangasem dengan segala keterbatasannya, bisa memberikan perhatian. Salah satu harapan yang disampaikan oleh Jro Pekaseh Subak Selat adalah, agar subak itu dibina sebagai subak organik. Mari kita tunggu, sejauh mana saran dan harapan itu menjadi kenyataan *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email