Kelelahan Sosial dan Mental di Bali
Sebuah Penjelasan Kultural Terhadap Ulah Pati  (Dharmaswara Satyanuubhawa)

JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Tokoh Hindu di Kendari)

Oleh : Jro Mangku Ageng Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP

 

A. Pendahuluan

Fenomena bunuh diri atau ulah pati di Bali mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Bali menduduki peringkat tertinggi bunuh diri di Indonesia, lalu diikuti DI Yogaykarta. Penyebab utama bunuh diri di Bali bersifat multifaktor, termasuk tekanan sosial-ekonomi, masalah kesehatan mental dan beban adat.  Pariwisata telah memberikan dampak sosial-ekonomi yang signifikan pada kemajuan Bali. Namun, tidak semua warga Bali, memiliki akses kemakmuran akibat dampak pariwisata.

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi kaitan antara kelelahan sosial dan mental dalam konteks budaya Bali dengan meningkatnya angka ulah pati (bunuh diri). Pendekatan yang digunakan bersifat multidisipliner, memadukan teori kesehatan mental, teori sosial budaya, dan filsafat kelelahan dari para pemikir seperti Byung-Chul Han, Johann Hari, Durkeim, dan Tricia Hersey. Melalui analisis ini, diharapkan muncul pemahaman yang lebih mendalam dan rekomendasi intervensi yang berakar pada konteks lokal.

Untuk lebih memahami apa yang dimaksud dengan kelelah sosial dan kelelahan mental, berikut dijelaskan definisi, gejala, situsi yang mendorong timbulnya kelelahan sosial dan mental.

  1. Kelelahan Sosial (Social Fatigue)

Definisi:  Kelelahan sosial adalah kondisi psikologis di mana individu merasa jenuh, tertekan, dan lelah secara emosional akibat terlalu sering, terlalu intens, atau terlalu lama berinteraksi dengan orang lain, terutama dalam konteks yang menuntut penyesuaian sosial tinggi.

Penjelasan: Kelelahan ini biasanya muncul saat seseorang:

  • Terlibat dalam aktivitas sosial terus-menerus tanpa jeda sehingga sangat melelahkan.
  • Merasa terpaksa untuk tampil atau berperan tertentu dalam komunitas sosial.
  • Terbebani oleh ekspektasi sosial, norma, atau tanggung jawab adat/komunal.

Menurut para ahli: “Social fatigue results from overstimulation or overexposure to social situations, leading to emotional depletion and a reduced desire to engage with others.”(Cain, 2013, Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking)

  1. Kelelahan Mental (Mental Fatigue / Psychological Fatigue)

Definisi: Kelelahan mental adalah kondisi dimana kemampuan kognitif seseorang menurun karena beban pikiran yang terus-menerus, tekanan emosional, atau stres yang berkepanjangan. Ini menyebabkan kesulitan berkonsentrasi, pengambilan keputusan yang buruk, mudah marah, dan keinginan untuk menarik diri dari aktivitas.

Gejala umum: Sulit fokus, Pikiran kabur (brain fog), Kehilangan motivasi, keinginan untuk menyendiri atau tidak melakukan apa pun, Emosi tidak stabil

Menurut WHO dan APA (American Psychological Association): “Mental fatigue is a condition characterized by a feeling of exhaustion or decreased capacity to perform mental work, often accompanied by cognitive impairment.”(APA Dictionary of Psychology)

Hubungan antara keduanya: Kelelahan sosial bisa menyebabkan kelelahan mental, dan sebaliknya. Misalnya, individu yang tertekan oleh kewajiban sosial adat secara terus-menerus (misalnya dalam sistem banjar di Bali) dapat mengalami stres berkepanjangan yang berkembang menjadi kelelahan mental, bahkan depresi.

B. Perspektif Teoretis

Byung-Chul Han dalam bukunya The Burnout Society menyatakan bahwa masyarakat modern telah beralih dari masyarakat disipliner menjadi masyarakat performatif, di mana individu terus-menerus terdorong untuk mengejar kesuksesan, efisiensi, dan optimalisasi diri, yang justru berujung pada kelelahan dan depresi:

“The complaint of the depressed individual, ‘Nothing is possible,’ can only occur in a society that thinks, ‘Nothing is impossible.’” (Han, 2015, p. 9)

Johann Hari dalam Lost Connections menekankan bahwa depresi dan kecemasan tidak hanya bersumber dari faktor biologis, tetapi terutama dari hilangnya koneksi sosial yang bermakna. Kehilangan koneksi dengan komunitas, makna hidup, dan harapan masa depan menjadi penyebab utama penderitaan mental (Hari, 2018).

Tricia Hersey, pendiri The Nap Ministry, dalam Rest is Resistance menegaskan bahwa budaya lelah adalah produk sistemik yang mengabaikan kebutuhan istirahat, terutama dalam masyarakat yang terbebani oleh tanggung jawab sosial dan adat: “Rest is a form of resistance because it disrupts and pushes back against capitalism and white supremacy.” (Hersey, 2022)

C. Konteks Bali: Sistem Banjar dan Beban Kultural

Sistem Banjar di Bali merupakan struktur sosial tradisional yang sangat kuat, di mana setiap anggota masyarakat memiliki tanggung jawab sosial dan ritual yang ketat. Di satu sisi, sistem ini mempererat solidaritas sosial; namun di sisi lain, dapat menjadi beban psikososial yang berat, terutama bagi mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, kesehatan, atau relasi personal (Putra & Sutrisna, 2020).

Warga yang tidak mampu (secara ekonomi dan fisik) untuk memenuhi kewajiban adat sering kali mengalami tekanan sosial, perasaan malu (lek), hingga dikucilkan secara halus. Dalam budaya Bali, harga diri sangat berkaitan erat dengan partisipasi dalam adat, sehingga kegagalan dalam hal ini dapat memicu perasaan gagal total, yang bisa berujung pada ulah pati (bunuh diri).

Dengan menggunakan kerangka social anomie Durkheim, bunuh diri (ulah pati) di Bali dapat dipahami sebagai reaksi terhadap perubahan nilai dan keterasingan dari struktur sosial yang semula memberi makna. Keterputusan antara individu dan komunitas—baik secara simbolik maupun aktual—menjadi medan subur bagi keputusasaan (frustasi).

Krisis spiritual atau Sraddha, sebagaimana dicatat oleh tokoh adat di Bali, juga turut memperparah situasi. Ketika ritus menjadi formalitas dan makna spiritual meredup, ritus tidak lagi menjadi penyembuh, melainkan kewajiban kosong yang memperdalam kelelahan.

D. Faktor Penyebab: Kelelahan Sosial dan Mental dalam Konteks Budaya Bali

Meskipun Bali dikenal dengan kekayaan budaya dan spiritualitasnya, beberapa faktor unik dalam struktur sosial dan adat dapat berkontribusi pada tekanan mental yang signifikan:

  1. Tanggung Jawab Sosial dalam Sistem Banjar

Sistem Banjar di Bali menuntut partisipasi aktif warganya dalam berbagai kegiatan sosial, keagamaan, dan adat. Setiap individu memiliki peran dan tanggung jawab yang harus dipenuhi, yang dapat menjadi beban tambahan, terutama bagi mereka yang menghadapi kesulitan pribadi atau ekonomi .

  1. Tekanan Ekonomi dan Sosial

Krisis ekonomi, terutama akibat pandemi dan ketergantungan pada sektor pariwisata, telah meningkatkan tekanan finansial bagi banyak warga Bali. Hal ini diperparah oleh meningkatnya kasus utang akibat pinjaman online dan perjudian daring, yang dapat memicu stres dan keputusasaan.

  1. Krisis Sraddha (Kepercayaan Spiritual)

Beberapa tokoh masyarakat mengidentifikasi adanya krisis sraddha, yaitu penurunan kepercayaan spiritual dan nilai-nilai tradisional, yang menyebabkan individu merasa kehilangan arah dan makna hidup.

  1. Stigma terhadap Kesehatan Mental

Isu kesehatan mental masih dianggap tabu di banyak komunitas, termasuk di Bali. Hal ini menghambat individu untuk mencari bantuan profesional saat menghadapi depresi atau gangguan mental lainnya .

 E. Strategi Intervensi

  1. Reformasi Sosial Adat: Perlu ada ruang dialog dan fleksibilitas dalam pelaksanaan tanggung jawab adat agar tidak memberatkan individu yang tengah menghadapi kesulitan.
  2. Pendidikan Kesadaran Mental: Meningkatkan literasi kesehatan mental berbasis budaya lokal, misalnya melalui cerita rakyat atau wayang yang menggambarkan pentingnya empati dan perasaan.
  3. Layanan Konseling Desa Adat: Banjar dan desa adat dapat bekerjasama dengan psikolog dan tokoh spiritual untuk menyediakan layanan konseling gratis atau berbasis upakara.

F. Kesimpulan

Kelelahan sosial dan mental di Bali bukan hanya masalah individu, tetapi cerminan dari tekanan struktural yang melekat pada sistem budaya dan ekonomi. Fenomena ulah pati (bunuh diri) harus dilihat sebagai sinyal bahwa sistem yang selama ini menopang masyarakat Bali tengah mengalami ketegangan internal. Diperlukan intervensi yang tidak hanya medis, tetapi juga sosiokultural dan spiritual agar masyarakat Bali dapat menemukan kembali keseimbangan antara tanggung jawab dan kemanusiaan.

G. Pedalaman (Referensi):

  • Han, B. C. (2015). The Burnout Society. Stanford University Press.
  • Hari, J. (2018). Lost Connections: Uncovering the Real Causes of Depression – and the Unexpected Solutions. Bloomsbury.
  • Hersey, T. (2022). Rest is Resistance: A Manifesto. Little, Brown Spark.
  • Putra, I. N. D., & Sutrisna, I. M. (2020). Tanggung jawab sosial dalam sistem Banjar di Bali: Sebuah kajian antropologi budaya. Jurnal Antropologi Indonesia.
  • Durkheim, E. (1897/2002). Suicide: A Study in Sociology. Routledge.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email