Krama Bali di Titik Persimpangan Jalan
Wasudewa Kutumbhakam, Kita Semua Bersaudara

Ketua Umum Paiketan Krama Bali, Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si

Oleh : Dr. Ir. I Wayan Jondra, M.Si

Di masa pandemi Covid-19 di mana situasi ekonomi  serba sulit saat ini, sebagian Krama Bali masih menyempatkan diri dengan konflik horizontal sesama Krama Bali. Kasus Hare Krishna (HK) telah membawa Krama Bali di titik persimpangan jalan. Mau terus maju menjadi Krama Bali yang humanis dan religius atau belok kiri kepada masyarakat radikal atau belok kanan kepada masyarakat ke-Dewan-Dewan atau balik arah menuju masyarakat yang multi sekte? Tentu ini menjadi tantangan besar bagi krama Bali yang masih berbudaya petani (agrikultur) ini.

Membaca Watra (2018) dalam Jurnal Dharmasmerti, masyarakat Bali setelah kehadiran Mpu Kuturan pada Tahun 845 Masehi, dengan konsep Tri Murti telah membentuk masyarakat Bali yang sosio-religius dengan menggabungkan 15 sekte atau agama kepercayaan seperti; 1). Siwa Siddhanta, 2). Pasupata, 3). Bhairawa, 4). Wesanawa, 5). Bodha (Sogatha), 6). Brahma, 7). Resi, 8). Sore, 9). Ganapatya, 10). Agama Sambhu memuja Arca, 11). Agama Brahma memuja Matahari/Api, 12). Agama Indra memuja Gunung dan Bulan, 13). Agama Wisnu memuja Hujan dan Banjir, 14). Agama Bayu memuja Bintang dan Angin Ngelinus (Puting Bliung) dan  15). Agama Kala menyembah tempat-tempat yang keramat.

Kehadiran HK versi International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) atau gerakan Hare Krishna mencerminkan seakan-akan sebagian masyarakat Bali ingin kembali ke masa sebelum Mpu Kuturan, yaitu sekte Wishnu yang menganggap Krishna adalah Tuhan. Bhagawad Gita versi Srila Prabupada  menyatakan Krishnalah sumber dari penciptaan Brahma, Wishnu dan Siwa sebagaimana ditulis Khazanah (2018) dalam republika.co.id. Terus siapa Sri Krishna yang dimaksud dalam Bhawawad Gita versi ISKCON ini? Tentu menjadi pertanyaan bagi beberapa kalangan. Fakta yang berbeda terjadi justru pengikut HK tidak diperkenankan memuja leluhur, namun justru bersujud di patung kaki Pabhupada yang nota bene tidak ada hubungannya secara keturunan/leluhur. Akhirnya dengan berdasarkan BG versi HK, para pengikut HK melakukan caci-maki terhadap pelaksanaan “Hindu Bali”, tentu ini merupakan tindakan yang tidak patut, karena BG versi HK tidak melarang jalan lain, hanya saja dia yang memuja Krishna akan sampai kepada Krishna, Dia yang memuja Dewa akan sampai kepada Dewa, Dia yang memuja leluhur akan sampai kepada leluhur, tetapi “Hindu Bali” memuja semuanya.

Telepas dari berbagai hal yang tidak sesuai dengan pelaksanaan keagamaan “Hindu Bali”, di dalam Bhawagad Gita versi HK ini terdapat ajaran-ajaran adiluhung yang dapat kita pedomani dalam menjalani hidup di dunia ini. Dalam BG itu terdapat motivasi agar kita mempersembahkan hasil kerja kita kepada Tuhan (mereka menulis Sri Krishna, kita maknai saja Ida Sanghyang Widhi Wasa), sehingga mampu mendorong kita sebagai insan Hindu untuk bekerja sebaik-baiknya, karena dipersembahkan kepada Tuhan yang kita cintai. Jika hal ini dilaksanakan, maka akan muncul generasi muda Hindu pekerja keras dan cerdas sehingga mampu bersaing dalam menghadapi hidup ini. BG juga mengajarkan sesungguhnya kita semua bersaudara, sehingga tidak boleh menyakiti antara satu dengan yang lainnya, karena itu sama saja kita menyakiti Ida Sanghyang Widhi Wasa yang ada dalam diri manusia itu, bahkan makhluk hidup dan alam semesta ini.

BG juga mengajarkan kita untuk mempersembahkan ilmu pengetahuan kepada Tuhan karena itulah persembahan tertinggi. Jika ini dipedomani, maka manusia Hindu akan terlahir sebagai manusia-manusia jenius yang siap bersaing di era global ini. Persaingan di era global ini adalah peraingan dibidang ilmu pengetahuan, bukan persaingan budaya atau religi. Budaya dan religi ada di dalam ilmu pengetahuan. BG  juga menuliskan bahwa semua ilmu dalam kehidupan ini adalah bagian dari Weda. Ayoooo generasi muda Hindu bangkitlah untuk menjadi generasi yang cerdas dan siap bersaing di era global ini.

Jika kita tinjau dari sisi pelaksanaan Hindu Bali saat ini, salah satu aspek yang dominan adalah ajaran Tattwa Kanda Pat. Hampir sebagian besar proses perembahan sesajen (bebantenan) berkorelasi dengan ajaran ini. Prinsip dominan ajaran ini adalah bahwa kita hidup di dunia ini bersama saudara empat kita. Siapakah saudara kita itu ? Itulah dia yang melingkupi kita di empat penjuru mata angin. Beliau itu adalah Manusa ya, Dewa ya, Butha ya, Kala ya. Saudara kita adalah Tuhan itu sendiri, manusia itu sendiri, butha itu sendiri, kala/benda mati itu sendiri.

Tattwa Kanda Pat mengajarkan kita untuk saling asah, asih, asuh kepada sesama, karena sesungguhnya manusia itu bersaudara. Jika ajaran ini dipahami baik oleh “Hindu Bali” maupun pengikut HK, maka konflik HK versus “Hindu Bali” saat ini tak perlu terjadi. Tattwa Kanda Pat mengajarkan, dari 18 aksara (ha, na, ca, raka….dst) diringkas menjadi 10 aksara (sang bang tang ang ing nang mang sing wang yang), diringkas lagi menjadi 5 aksara (sa bata ta a i), diringkas lagi menjadi 3 aksara (ang ung mang), diringkas lagi menjadi dwi aksara (ang ah), diringkas lagi menjadi 1 aksara yaitu Ong. Ong inilah Tuhan itu. Tuhan itu tak terlihat dan tak terbayangkan (neti-neti), dalam ajaran Tattwa Kanda Pat juga disebutkan kosong itu berisi (isin puyunge). Cuma saja dalam pelaksanaan acara “Hindu Bali” menggunakan korban suci. Jika membaca BG bahwa yang ada tak akan pernah tiada, dan bersiat abadi, maka korban suci binatang walau dibunuh sesungguhnya sang atman (atmannya binatang) tak pernah mati.

Jika pengikut HK memahami secara sungguh-sungguh pelaksanaan “Hindu Bali”, dan betul-betul mempedomani ajaran Bhawad Gita,  maka tidak akan muncul caci-maki terhadap pelaksanaan upacara “Hindu Bali”. Karena Hindu membebaskan kita menempuh salah satu atau ke empat jalan dari catur marga itu. Sesungguhnya “Hindu Bali” berjalan di empat jalan itu. Tidak akan ada canang yang indah tanpa dilandasi rasa cinta (bhakti marga), tidak akan terwujud canang itu jika kita tidak dibuat (karma marga), tidak akan tewujud canang itu, jika kita tidak memahami ilmu pengetahuan bahwa dalam membuat canang harus ada buah, daun, bunga dan air (jnana marga), tidak akan terwujud canang itu jika dalam membuat kita tidak mengendalikan pikiran agar fokus (yoga marga) pada busung/janur yang kita jari sehingga kalau tidak fokus, maka janur yang dijarit pasti robek.

“Hindu Bali” juga tidak punya hak melarang, jika pengikut HK hanya melakukan salah satu dari jalan itu. Karena prinsip beragama dalam ajaran Tattwa Kanda Pat adalah Pingit Akene (rahasia/urusan sang diri dengan Tuhan). Sangat patut disayangkan konflik ini terjadi di Bali. Sangat disayangkan, jika konflik ini dimulai oleh segelintir oknum pengikut HK yang mencaci maki pelaksanaan ritual “Hindu Bali”, mungkin seperti sesenggak Bali, “nak buta tumben kedat”. Demikian pula sebagian umat “Hindu Bali”, jika mempedomani ajaran Tattwa Kanda Pat tidak akan memberangus atau menutup Ashram HK dan juga ashram-ashram lainnya, terlebih lagi ashram itu ada di wilayah privat (pribadi). Lain halnya jika itu dilaksanakan di wilayah publik atau di tanah wewidangan/Padruwen Desa Adat. Jika ada oknum HK yang kurang ajar, seret dia ke meja hijau, itu lebih bijaksana. Sehingga sudah seharusnya semua insan introspeksi diri, karena Wasudewa Kutumbhakam mengajarkan manusia sesungguhnya semua bersaudara. Sesungguhnya manusa ya, dewa ya, buta ya, kala ya dari benda hidup hingga benda mati adalah saudara kita. Jika ini dilakukan,  Om Sidhir Astu Tat Astu Astu Swaha atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa membawa kita kepada arah tujuan “Hindu Bali” Mokshartham Jagad Hita, damai di dunia ini dan akhirnya menyatu pada-Nya akan tercapai dan Krama Bali tetap maju pada jalan sosio-religius. (Penulis adalah Dosen Politeknik Negeri Bali dan Pembina Paiketan Krama Bali).

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email