Solusi Mengatasi Bali Traffic Congestion
Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara

JMA Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP (Swarapuram Center for Sciences and Spirituality)

Membayangkan Jalan Tol Laut Bali sebagai Jaring Teratai Peradaban, sebuah Solusi Beretika Memuliakan dan Memartbatkan Kebudayaan Bali Dalam Membangun Bali Dvipa

Sumbangan Pemikiran dari Swarapuram Center for Sciences and Spirituality

Digagas : JMA Dr.Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP

Ditujukan kepada : Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah se-Bali

 

PENGANTAR

Bali dikenal di manca negara berkat buku Island of Bali yang ditulis Miguel Duclaud Covarrubias dan terbit tahun 1937. Obsesi orang mengunjungi Bali sangat besar saat itu, khususnya orang Amerika. “Akankah Bali dapat bertahan atas dampak pariwsata?’, tanya Covarrubias atas kekawatirannya pada berkembangnya pariwisata di Bali. Saat ini, Bali sedang berada dalam persimpangan sejarah. Pulau kecil yang menjadi pusat kebudayaan dunia ini kini menanggung beban yang jauh lebih besar daripada tubuh ekologisnya. Kemacetan yang kian parah, penyempitan ruang, tekanan pembangunan, dan berkurangnya lahan subur telah menjadi kegelisahan bersama, bukan saja krama Bali. Di jaman ketika daratan semakin penuh, sedangkan kebutuhan mobilitas terus meningkat, Bali memerlukan visi baru tentang ruang, arah, dan jalan bagi masa depan. Pemikiran perencanaan ini harus memuliakan dan memartabatkan kebudayaan Bali yang adiluhung. Dalam konteks inilah gagasan Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara lahir: sebuah rute transportasi pesisir–lautan yang menghubungkan kawasan Selatan hingga Barat Bali tanpa menembus sejengkal pun tanah sawah, permukiman adat, atau ruang-ruang suci dan sakral. Jalan ini bukan sekadar infrastruktur fisik, melainkan sebuah ideologis, spiritual, ekologis, dan kultural tentang bagaimana sebuah peradaban melindungi tanah sucinya sambil tetap bergerak maju. Gagasan didasarkan pada pemahaman Tri Hita Karana, ruang Sanga Mandala, dan konsep modern Urban Transport Planning (Meyer & Miller), dalam bingkai Kebudayaan Bali.

PADMAJALA SAGARA, FILOSOFI SEBUAH NAMA

Nama Padmajala Sagara berasal dari dua kata: • padma = teratai, simbol kesucian dan kebijaksanaan, • jala = jaringan, karena jalan ini tidak tunggal lurus, tetapi akan terdapat setidaknya 4 (empat) nodel yang bermakna filosofis tinggi, • sagara = laut, ruang tak berhingga. Jadi, Padmajala Sagara berarti “Jaringan Jalan Teratai di Laut” — sebuah metafora bahwa jalan ini bukan garis beton yang memotong Bali, tetapi kelopak-kelopak teratai yang mengapung di samudra, melindungi daratan dari tekanan pembangunan dan abrasi laut selatan. Ia adalah jalan yang tidak menyakiti tanah, tidak memutus jalur budaya, dan tidak merusak kahyangan. Sebaliknya, ia menjaga Bali dari arah laut, seperti tameng lembut yang menyerap beban pulau, pun sebagai temeng abrasi laut selatan.

KRISIS YANG KITA HADAPI

Saat ini daratan Bali tak lagi mampu menampung pertumbuhan kendaraan, mobilitas pariwisata, dan pembangunan masif telah membawa Bali pada kondisi: • Level of Service (LOS) E–F di banyak ruas: kemacetan parah, delay extrem, yang boros secara finasial dan lelah psikologis. • Konversi lahan sawah dan tegalan untuk jalan dan pemukiman, yang berdampak bukan saja materi tetapi ritual keagamaan. • Tekanan terhadap ruang suci, setra, pura, dan struktur desa adat, yang menekan makna niskala. • Fragmentasi bentang alam karena jaringan jalan yang semakin merangsek ke  daratan, yang mengubah lanskap dan morpologi tanah Bali dengan view indah yang hilang. Pertanyaannya adalah: Apakah kita akan terus membebani tanah Bali, ataukah kita mencari jalan baru di ruang yang paling minim konflik: lautan? Jawabannya adalah: Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara sebagai Jalan Etis Baru Tol laut bukan sekadar alternatif teknis. Ia adalah pilihan etis dan memuliakan Kebudayaan Bali. Mengapa?  Jawabannya adalah untuk : (1). Menghindari kerusakan lahan subur Bali Tidak ada sawah yang ditimbun, tidak ada tanah adat yang digusur, tidak ada rumah yang dipindahkan, ritual dilesatarikan; (2). Melindungi ruang-ruang suci dan jalur kosmologis Bali dengan sistem mandala nawa sanga dan ruang ritualnya tidak terganggu; (3). Memberi “nafas baru” pada daratan Beban lalu lintas dipindahkan ke jalur pesisir dan laut yang menawarkan pemandangan dan panorama indah dan asri; (4). Mengembalikan hubungan manusia–laut Laut bukan lagi latar belakang wisata, melainkan jalur kehidupan budaya dan ekonomi yang sakral yang sejak dahulu kala menjadi sesanti yang diwariskan leluhur sampai hari ini.

LINGKARAN PADMA

Simpul Peradaban Baru (Padma Nodel Sakral) Padmajala Sagara tidak dibayangkan sebagai jalan lurus, melainkan sebagai jaringan padma (padma nodes) — lingkaran-lingkaran ruang yang menyatu dengan titik-titik penting pesisir: 1. Tanah Lot – Padma Suci: Simpul hening sebagai penghormatan pada dang kahyangan yang menjaga barat daya Bali. 2. Soka – Padma Rekreasi dan Seni: Ruang istirahat, ruang ekonomi rakyat, dan pusat estetika pesisir. 3. Pura Rambut Siwi – Padma Dharma: Ruang kontemplatif yang menjaga garis sakral pesisir Barat. 4. Negara – Padma Ekonomi–Peradaban: Simpul metropolitan, logistik, dan mobilitas lintas pulau. Padma-padma yang merupakan kelopak daun padma ini membentuk ritme perjalanan yang spiritual dan estetis: suci → indah → suci → dinamis. Menyatukan Sains, Spiritualitas, dan Hukum Ruang Konsep Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara sejalan dengan prinsip: • RTRW Bali: perlindungan sawah, kawasan suci, dan pesisir (Pola dan Struktur Ruang). • RDTR desa adat (Rencana Tata Ruang Wewngkon Desa Adat): mengurangi tekanan pembangunan daratan dan kontrol serta pengawasan pemanfaatan ruang. • Hukum transformasi Indonesia: efisiensi, mobilitas, dan keberlanjutan. Di sini terlihat bahwa sains transportasi, teori ruang, dan filosofi Bali tidak berlawanan, melainkan bersinergi dalam satu visi: melindungi Bali sambil bergerak maju.

KENAPA KITA HARUS MEMULAI PERCAKAPAN INI HARI INI ?

Karena jika kita menunda 10–20 tahun lagi, Bali akan: • kehilangan lebih banyak sawah, • semakin macet, • semakin tertekan oleh pembangunan, • kehilangan kekuatan kosmologisnya. Padmajala Sagara bukan sekadar proyek infrastruktur; ia adalah cara berpikir baru: pembangunan harus menghormati kesucian tanah Bali, menjaga simbol-simbol leluhur, dan menempatkan lingkungan sebagai pusat peradaban.

PENUTUP

Jalan Masa Depan Bali Sumbangan pemikiran untuk membangun: Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara adalah mimpi, vision, dan mungkin pula provokasi. Tetapi setiap peradaban besar dimulai dari percakapan yang berani, kritis, analistis dan akademis. Jika Bali ingin tetap menjadi rumah bagi tradisi agung, ruang suci, dan keseimbangan kosmologisnya, maka Bali perlu berani membayangkan infrastruktur yang tidak merusak tanah suci yang diwariskan leluhur Bali dengan sesanti adiluhungnya. Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara adalah jalan yang: • tidak menindih, • tidak merusak, • tidak mengganggu, • tetapi mengalir lembut di laut, melindungi pulau dengan memuliakan dan memartabatkan kebudayaan Bali. Kita semua, Krama Nuwed dan Krama Tamiu telah hidup dari keramah-tamahan Bali, mari kita bersama menjaga Bali, karena dari sini kita masih menikmati pemandangan indah, udara yang segar, berkesenian dan menikmati budaya sambil menjaga kebudayaan Bali yang diluhung. Tetapi yang lebih penting mebangun generasi baru yang maju dan berwawasan spiritual. Mari kita bersama mulai hari ini bergerak ke depan menuju Bali Raya yang maju dengan tetap menjaga jati diri dan kebudayaanya yang terus beradaptasi dengan tantangan jaman moderen yang berubah sangat cepat.

SEBUAH AJAKAN UNTUK KRAMA BALI

Mari kita mulai percakapan besar ini. Mari kita pikirkan bersama: bagaimana membangun tanpa merusak? Jalan Tol Laut Bali Padmajala Sagara bukan sekadar jalan, tetapi cara baru menjaga Bali : pembangunan yang menghormati alam, budaya, dan kesucian pulau. Ini bukan sekadar infrastruktur : Ini adalah sebuah tapa brata peradaban: mengendalikan keinginan untuk mengambil tanah darat (prthivi), dan memilih jalur yang lebih sulit tetapi lebih benar secara moral. Ini adalah persembahan gagasan dari Swarapuram Center for Sciences and Spirituality, untuk Bali hari ini dan Bali seratus tahun mendatang. Rahayu Rahayu Rahayu.

*) JMA Dr.Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP :  Pensiunan Pejabat Utama di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara/Widya Iswara Ahli Utama (Guru Bangsa). Menamatkan S1 di Unram tahun 1984, S2 (1995) Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM Fakultas Teknik/Arsitektur dan S3 Geografi Fisik dan Manusia Fakultas Geografi UGM 2003. Keduanya ditamatkan dengan predikat Cum Laude. Meneliti untuk disertasi, tahun 1999-2003, dengan judul : “Perubahan Pemanfaatan Ruang Dalam Perspektif Masyarakat Adat Bali” yang diajukan di Sekolah Doktor UGM 2003. Lahir dan tinggal di Desa Pujungan, Pupuan, Bali. Kontak : HP/WA: 081289811009. Email: puspaswaram@gmail.com. Istagram/Facebooks: Puspaadnyana Ketut. Swarapuram Sevadharma Ashram, Lembah Barat Batukaru, Desa Adat Pujungan, Pupuan, Tabanan, Bali, 14 November 2025:3.15.

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email