Memaknai Bhinneka Tunggal Ika

Perjalanan Burung Garuda mencengkeram dan terbang selama 76 tahun melindungi dan mengayomi Negara Kesatuan Republik Indonesia, terkadang masih setengah hati dan sering terhenti terbangnya karena ada yang mengusik dan menghambat.

Seorang anak negeri yang lahir dari kalangan masyarakat biasa, mengalir darah ibunya Ni Nyoman Rai Serimben, bersamaan dengan Sang Fajar menyikap tabir kegelapan 350 tahun di bhumi pertiwi Nusantara, dititipi tugas dan tanggung jawab oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan Leluhur, dengan cita-cita yang luhur, supaya rakyat Merdeka “Mokshartham Jagathita ya ca iti Dharma” menemukan kemerdekaan yang sejati raga dan jiwa. Nama anak Sang Surya ini adalah  Sukarno yang diambil dari kisah Karna yang juga anak dari Dewa Surya. Kedua Titisan Dewa Surya ini, mengorbankan dirinya untuk menyudahi penindasan terhadap manusia. Karna mengorbankan dirinya untuk menyudahi kekejaman Duryadana Raja Astina Pura dan mengakhiri perang Mahabharata; Soekarno berkorban untuk menyudahi penjajahan dan perang mengusir penjajah, dan keduanya memiliki nama keabadian.

Soekarno mewariskan kita rakyat Indonesia sebuah Permata intan dan butir-butir berlian berupa Pancasila, di sini kita bertitik temu, Beliau dengan tulus dan jujur mengatakan bahwa Pancasila digali dari tinggalan leluhur, tinggalan leluhur Burung Garuda dari Singgasana Kerajaan Kahuripan dan Wahana dari Dewa Wisnu dan kata-kata “Bhinneka Tunggal Ika” dari Pustaka Sutasoma buah karya Bhagawanta Kerajaan Singasari,  Shri Soma Wiranatha bergelar Danghyang Diraraja Pu Narayana Tantular yang sering disebut Mpu Tantular.

Mpu Tantular adalah seorang Pujangga dan Bhagawanta Kerajaan, yang berasal dari keluarga Kerajaan Singasari sebagai menantu dari adik Sang Raja.  Beliau juga banyak berperan didalam Kerajaan Majapahit.  Kutipan buah karya Mpu Tantular di dalam kakawin Sutasoma Pupuh 139 bait 5 menyebutkan : “Rwaneka dhatu winuwus budha-Wiswa, Bhinneki rakwa ring apan parwanosen, Mangkang Jinatwa kalawan Siwatattwa tunggal, Bhinneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa”.

Artinya :

Karena kehendak dari Hyang Maha Kuasa, Agama yang lainnya Buddha dan Siwa merupakan sat yang sama, nampak berbeda, kelihatannya mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali, sebab kebenaran tattwa Jina-Siwa dan yang lainnya berasal dari sat yang tunggal (Tuhan Yang Esa-Narayana-Widhi); karena tidak ada kebenaran itu mendua atau terpecah belah tetapi satu juga yang itu, tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

 

Bhinneka Tunggal Ika, sejatinya adalah sebuah Sastra Dharma (Agama), namun implementasi dari konsep ini dijabarkan dalam Undang-Undang Kerajaan Kutara yakni Menawa Dharmasastra. Bhinneka Tunggal Ika mengajarkan  toleransi antarumat beragama, terutama pada saat Kerajaan Singasari ingin mempersatukan Nusantara yang rakyatnya memiliki keyakinan beragam. Supaya tidak menimbulkan masalah, kesatuan dan persatuan kerajaan harus dikuatkan, baru kerajaan bisa disatukan sampai ke seluruh wilayah Nusantara. Secara hukum Kutara,  Menawa Dharmasastra tidak mempersoalkan latar belakang keyakinan orang, namun yang terpenting bagaimana membangun toleransi dalam pergaulan sesama manusia. Menawa Dharmasastra  sebagai pedoman hukum Kerajaan Singasari – Majapahit, politik Pamalayu dan Nusantara, diera tersebut sudah terjadi konflik Agama, sehingga kerajaan besar itu runtuh.

Kerajaan Majapahit berusaha menata kerajaannya dengan hukum Menawa Dharmasastra, supaya bibit konflik antaragama tidak terjadi dan politik kerajaan yang mempersatukan Nusantara, harus ada upaya keras kerajaan mencapai “Negara kang tata-tentrem-kerta raharja-gemah ripah loh jinawi“, ditekankan pada semangat toleransi kebersamaan dan disiplin hukum yang keras terhadap intoleransi. Segala macam aliran agama, alam pikiran, kebudayaan dan politik  yang pada waktu itu bisa diartikan berbeda-beda, namun mereka tetap bersatu di dalam peraturan hukum Negara, tidak ada diskriminasi atau  dualisme, pencapaian ini sudah terbangun otomatis dalam kebersamaan persatuan Majapahit.

Wilayah Nusantara Majapahit, bukan untuk menyatakan luas daerah Majapahit, melainkan wilayah kesatuan geopolitik yang ditentukan Sang Jagat Semesta sebagai tumpah darah dan tempat kediaman, menyusun dan menjaga perimbangan kekuasaan terhadap ke luar dan ke dalam lingkungan mandala tanah – air. Kitab Nagara Kertagama pupuh 126.4 berbunyi : “mwang Nusantara sarwa mandalikarastra angasraya akweh marek” yang artinya wilayah Nusantara dilindungi dan dilingkari oleh banyaknya yang mengharap kesatuan dan kebersamaan, cita-cita mengharap kesatuan ini yang mengakibatkan terjadinya kesatuan. Kesatuan Nusantara terletak pada kata “angasraya” yang artinya “mengharapkan”. Kalimat ini menjadi aktif sama dengan kata “Merdeka”  sehingga muncul kesadaran bersama untuk bersatu. Sekarang sangat  dipentingkan oleh penerus kata “Merdeka” demi kejayaan Indonesia dimasa depan, harus dapat menghargai nilai-nilai luhur dari tauladan kata luhur nenek moyang kita, yang harus didengungkan terus-menerus sesuai dengan kata aktif “Merdeka” yang selalu didengungkan oleh Presiden ke-5 Republik Indonesia Prof. Dr (HC) Hj. Megawati Sukarnoputri. (Wrespati Paing Dukut, 19 Agustus 2021, Kedhatuwan Kawi Sunya Tamblingan, Ratu Shri Bhagawan Putra Natha Nawa Wangsa Pemayun)

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email