Oleh : Jro Mangku Ageng Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, M.TP *)
Om Swastyastu.
Teriring doa keselamatan pada makhluk seru sekalian alam. Hidup paling indah dan menyenangkan, ketika berkumpul dengan orang-orang yang dicintai, tersedia benda benda materi yang disenangi, sehat dan tersedia sandang pangan papan dan uang yang cukup. Inilah harapan ideal setiap manusia dalam menjalani kehidupan. Juga keinginan memilik rumah yang bagus. Di dalam rumah yang bagus itu (meskipun tidak mewah), ada orang-orang yang dicintai: istri, anak anak, menantu dan cucu yang sehat. Ada orang orang yang dicintai dan dihormati: orang tua, saudara, ipar dan kemenakan yang sehat. Kebahagian itu seolah berkumpul menjadi satu untuk memberikan dukungan pada semangat hidup yang besar. Kondisi lahiriah ini bersifat material dan tidak kekal, akibatnya suka-duka silih berganti. Tujuan sejati adalah kebebasan dari ikatan karma (moksha).
Namun, kehidupan terasa tidak adil, di tengah rasa bahagia yang membuncah, tiba tiba salah seorang dari mereka harus pergi selamanya, atau salah seorang dari mereka menderita sakit. Kegembiraan dan kebahagian hilang seketika. Pun, ketika rumah bagus itu luluh lantak dilalap api, tidak tersisa, dada seseorang terasa pecah dan air mata menitik bahkan mengalir deras. Sungguh, suka dan duka itu memang datang silih berganti.
Agama sebagai pedoman hidup, kadangkala tidak berguna pada saat demikian. Hati menjadi kacau dan hancur. Permainan pikiran menambah kalut karena berbagai khakawatiran muncul. Mengapa derita ini muncul tiba-tiba dan pada suasana yang membahagiakan? Jawabannya, tiada lain karena selama berbahagia seseorang lupa menderita. Pikiran seluruhnya terfokus pada kebahagiaan. Demikian juga ketika rasa sedih itu datang, pikiran hanya pada kesedihan itu, bahkan lupa bahagia.
Berapa tahunkah seseorang bahagia dalam hidupnya? Dan, berapa tahun pula seseorang menderita dalam hidupnya. Seperti perputaran roda yang terpusat di as-nya, roda terkadang berada di atas dan kadang di bawah, bahkan samping kiri dan kanan. Hidup sesungguhnya permainan menyeimbangkan antara yang baik dan buruk, antara benar dan salah, antara gelap dan terang. Orang orang mampu dalam posisi “tenang”, karena mentaati pedoman hidup yaitu agama. Umat Hindu diajarkan untuk selalu sadar, untuk selalu mengendalikan indera-indera dan pikirannya. Selalu diajarkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Hyang Paramakawi).
Arjuna sebuah contoh yang bagus. Ia meragukan kebenaran yang diajarkan guru-gurunya, karena ia harus membunuh dan bahkan ia harus menahan diri atas penghinaan Duryodana dalam sabha di paseban. Untunglah, Arjuna masih sempat bertanya kepada penuntunnya; mana yang benar? Jawaban sederhanya, adalah setiap orang harus melakukan swadharmanya dengan baik.
Jawaban yang diperoleh Arjuna adalah seseorang harus tetap bekerja (karma) dan melaksanakan tugas dengan baik (swadharma). Demikian juga seseorang, bila melaksanakan tugas dengan baik akan terhindar dari derita mencapai kebahagian. Bila seseorang takut lapar, maka ia harus menyediakan pangan untuk keluarganya. Bila seseorang sakit harus menyiapkan obat untuk penyembuhan. Orang yang bekerja dengan tekun akan terus bahagia.
Namun, hidup tidak sesederhana seperti membalik tangan. Hidup memiliki dimensi yang rumit. Tugas lain yang utama bukan sekadar menyiapkan sandang papan pangan, tetapi juga kecintaan kepada Tuhan, kepada para dewata, kepada para leluhur, kepada para guru suci, bahkan kepada makhluk lainnya. Lingkungan hidup manusia ini harus harmonis (Tri Hita Karana).
Dalam Bhagawad Gita XVII:14, dapat dibaca pesan:
“deva-dvija-guru-prājña-pūjanaṁ śaucam ārjavam brahmacaryam ahiṁsā ca śārīraṁ tapa ucyate:
Artinya : “Pemujaan kepada para dewa, para dwijati, guru dan orang arif bijaksana, kemurnian, kejujuran, pengendalian nafsu, dan tanpa kekerasan ini dikatakan sebagai tapah dari badan”
Penderitaan itu, sisi lain dari kebahagian. Di antara keduanya ada celah untuk umat Hindu belajar mengenai kesujatian, “sangkan paraning dumadi”. Bahagia tidak ada kalau tidak ada derita, demikian sebaliknya. Manfatkanlah semua momen untuk menyadari bahwa selalu ada kesempatan untuk berbenah. Seperti Sri Hanuman memanfaatkan celah antara siang dan malam untuk memantapkan pelajaran dari gurunya, Dewa Surya. Hidup sesungguhnya belajar dari suka dan duka, dan mengambil sisi positifnya. Semoga semua berbahagia. Om Santih Santih Santih Om (*, Penulis adalah Ketua Sabha Walaka PHDI Pusat).