Menyikapi Pandemi dengan Kontemplasi Diri

Oleh: Drs. Chusmeru, M.Si   *)

Sudah lebih dari satu setengah tahun masyarakat di dunia menghadapi pandemi Covid-19. Berbagai upaya telah dilakukan, namun hingga kini pandemi belum juga berakhir. Sudah lebih dari 200 juta orang terpapar virus corona di berbagai penjuru dunia. Angka kematian akibat virus ini pun mencapai jutaan orang. Berbagai spekulasi bermunculan di tengah upaya untuk terus meredam penyebaran Covid-19.

Bagi Indonesia, pandemi ini telah meluluh-lantahkan hampir semua sendi kehidupan, baik ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan, politik dan sebagainya. Sektor yang paling terdampak oleh pandemi ini adalah pariwisata dan usaha mikro kecil menengah (UMKM). Semua orang berharap pandemi segera berakhir dan ekonomi kembali bergulir.  Semua berusaha menghentikan meningkatnya penularan. Dan, semua orang bertanya mengapa ini terjadi, dan kapan akan berakhir.

Sesungguhnya, wabah penyakit seperti ini bukan pertama kali terjadi di dunia maupun di Indonesia. Sejarah telah mencatat beraneka (wabah penyakit) pernah melanda secara massal di Tanah Air. Bahkan belajar dari kearifan lokal masyarakat Indonesia, banyak leluhur kita yang sudah memprediksi akan datangnya wabah penyakit yang kala itu disebut sebagai Pageblug. Hanya saja, teknologi informasi dan perkembangan dunia medis saat itu belum maju seperti saat ini, sehingga cara masyarakat menyikapi, mengobati, dan mendendalikannya masih sangat tradisional. Misalnya, melalui terapi tradisional dan ritual berdasar kearifan lokal. Masyarakat Jawa, misalnya, memiliki Kitab Primbon yang membahas tentang  Pageblug dan cara mengatasinya dengan kearifan lokal sesuai warisan leluhur/tetua Jawa.

Kini, dengan perkembangan teknologi informasi dan kesehatan yang kian pesat, penyikapan pandemi dilakukan masyarakat dengan berbagai cara yang lebih bersifat modern dan rasional. Baik untuk tujuan pengobatan maupun pencegahannya. Berbagai obat anti virus Covid-19 diproduksi secara massal. Upaya pencegahannya pun disosialisasikan secara masif, seperti menghindari kerumunan, menjaga jarak fisik, mencuci tangan, menggunakan masker, dan mengurangi mobilitas. Sementara itu, beragam mitos kekinian dan hoaks seputar pandemi juga berseliweran di jagad maya.

Namun, benarkah pandemi Covid-19 semata fenomena wabah penyakit fisik, sehingga upaya pengobatan dan pencegahannya pun harus dengan pendekatan teknologi dan kesehatan fisik? Adakah upaya kontemplasi secara sosial kultural dan spiritual untuk menyikapi pandemi ini? Di tengah upaya medis dan rasional berasarkan temuan penelitian para ahli mikrobiologi dan kesehatan, tidak ada salahnya, jika kita mencoba melakukan kontemplasi untuk memaknai pandemi dalam perspektif sosial budaya dengan mengedepankan aspek spiritualitas dan kearifan lokal masyarakat Indonesia.  Kontemplasi adalah upaya untuk merenung, mawas diri dan mulat sarira atas pandemi yang melanda Tanah Air agar kita bisa melangkah lebih hati-hati.

Upaya pencegahan penyebaran Covid-19 perlu dimaknai secara konotatif sesuai konteks sosial budaya masyarakat Indonesia kekinian. Menghindari kerumunan adalah salah satu cara yang dianjurkan pemerintah dalam upaya mencegah penyebaran virus. Upaya ini tentu saja tidak mudah untuk dilakukan, mengingat pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial. Berkumpul, bersama-sama, dan berinteraksi  dengan komunitas adalah karakteristik manusia.

Meski demikian, secara kontemplatif, anjuran untuk tidak berkerumun jangan serta-merta dimaknai sebagai larangan untuk berkehidupan sosial. Tidak pula dimaknai sebagai upaya untuk menjadikan manusia Indonesia bersikap individualistik. Dalam konteks kekinian, berkerumun masih tetap dapat dilakukan secara virtual untuk kepentingan yang lebih produktif. Menghindari kerumunan justru perlu dianggap sebagai tantangan bagi masyarakat untuk membangun solidaritas sosial yang sangat dibutuhkan di masa pandemi.

Menjaga jarak fisik di masa pandemi sangat dianjurkan untuk memutus rantai penularan virus. Namun, bukan berarti masyarakat harus menjaga jarak sosial dalam proses interaksi di masyarakat. Sebab, jarak sosial yang jauh di antara anggota masyarakat akan membuat orang kehilangan empati satu sama lain. Padahal di masa pandemi, disaat banyak orang kehilangan pekerjaan, banyak orang membutuhkan perhatian orang lain, maka kedekatan sosial sangat amat dibutuhkan.

Imbauan untuk menghindari kerumunan dan menjaga jarak berimplikasi kepada pembatasan untuk melakukan ibadah di rumah-rumah ibadah. Sikap pro dan kontra ditunjukkan masyarakat atas imbauan penutupan sementara tempat ibadah. Namun, jika kita mau renungkan, pandemi ini telah menggugah kita untuk tetap menjaga religiusitas, kekhusyukan beribadah  meskipun dilakukan di rumah. Secara transendental, pandemi mengharuskan kita untuk mendekatkan diri secara mendalam dengan Sang Pencipta, tanpa harus mendapat legitimasi ruang-ruang ibadah bersama.

Mencuci tangan secara rutin dianjurkan untuk menjaga kebersihan diri dan mencegah penularan virus. Cara yang dilakukan adalah dengan menggunakan sabun dan air mengalir. Saat pandemi ini ada hikmah yang dapat kita petik dari kebiasaan mencuci tangan ini. Manusia dalam kehidupannya perlu selalu menjaga diri dari hal-hal yang kotor, seperti pikiran, perkataan dan tindakan kotor. Membersihkan yang kotor dalam kehidupan sosial dapat dilakukan dengan lebih banyak berbuat baik, seperti sedekah. Membersihkan  pikiran, perkataan dan perilaku yang kotor dapat dilakukan dengan menyisihkan sebagian harta benda untuk membantu orang lain, atau menyumbangkan ilmu dan pemikiran untuk mencerahkan kehidupan masyarakat. Saatnya masyarakat saling membantu orang lain yang kesulitan akibat kehilangan mata pencaharian dan kesulitan hidup.

Secara kontemplatif,  menggunakan masker yang saat ini menjadi kewajiban setiap orang perlu dimaknai sebagai keharusan untuk menjaga mulut dari pembicaraan yang tidak penting. Menutup mulut dengan masker akan mencegah penularan virus. Namun, menutup mulut dari pembicaraan yang dapat menyakiti orang lain dapat mencegah terjadinya konflik sosial. Masyarakat kini banyak dihadapkan dengan pergunjingan, mencibir apa yang dikerjakan orang lain, bersikap nyinyir atas kinerja orang lain, dan kerap menghujat setiap kebijakan tanpa memberi solusi. Momentum pandemi ini selayaknya dijadikan upaya mulat sarira untuk selalu berpikiran, berprasangka dan berkata baik kepada orang lain.

Mengurangi mobilitas disaat pandemi dapat diartikan sebagai mengurangi bepergian yang tidak perlu. Oleh sebab itu, konsepsi tentang bepergian, lelaku atau lelungan berubah secara kontekstual menjadi mobilitas yang benar-benar urgen untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan pengembangan potensi diri. Saatnya kini masyarakat mengubah orientasi bepergian yang hanya bertujuan untuk kesenangan pribadi. Meskipun kita bukan pertapa yang harus mengurung diri sepanjang waktu di dalam rumah. Namun, paling tidak, disaat wabah masih merajalela, saat kasus Covid-19 masih belum melandai, kita perlu mengendalikan diri sejenak untuk bepergian yang tidak jelas urgensinya.

Pandemi, wabah penyakit atau Pageblug memang membawa kesengsaraan bagi manusia. Namun, di balik itu semua, pasti ada hikmah jika kita mau berkontemplasi. Bahwa di tengah musibah, solidaritas dan spiritualitas perlu ditingkatkan. Itulah hakikat mulat sarira. (Chusmeru, Staf Pengajar pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto Jawa Tengah).

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email