Menyongsong Mahasabha XII 2021
Mencari Figur yang Layak Memimpin Parisada

JMA Ketut Puspa Adnyana

Oleh : I Ketut Puspa Adnyana, Kendari

“Om Om sembah sujud kepada kaki padma Sang Hyang Wenang, Penguasa Kehidupan. Puja dan puji kepada para Leluhur, Ida Bhatara, para Rsi Rsi Agung yang telah meletakkan jalan kebenaran. Pangampura agung mogia tan kening upadrawa. Namaste”.

 

Pengantar

Pada Adhyaya Ayodyakanda, Paduka Sri Rama Chandra menasihati adiknya, Pangeran Bharata tentang kepemimpinan. Nasihat tersebut disampaikan lagi kepada Pangeran Wibisana, yang diangkat menggantikan Maharaja Asura, Rahwana yang juga disebut Dasamuka. Pada jaman Dwapara, lewat Pangeran Bhisma, nasihat Paduka Sri Rama disitir lagi untuk menasihati Paduka Raja Yudistira (Raja Indrsaprastha, sedangkan Pangeran Duryodana tidak pernah menjadi raja). Nasihat itu terkenal dengan nama ASTA BRATA, sebuah nasihat bagi seorang pemimpin. Dalam ajaran Veda, ajaran ASTA BRATA ditulis dengan sangat rinci pada Pustaka Suci Manu Smrti, Adhyaya IX. Sukta 303, yang menyatakan: ‘‘Indrasya arkasya vayosca yamasya varunasya ca, Candrasya agneh prthivvyasca tejo vrtam nrpascaret’’ yang artinya : Hendaknya seorang pemimpin berbuat seperti perilaku Deva Indra, Surya, Vayu, Yama, Varuna, Candra, Agni dan Prthivi.

Pemimpin juga disebut raja. Hal ini juga tercantum dalam Adhyaya VII. Sukta 4, yang menyatakan sebagai berikut: “Idranilayamarkanam agnecca warunasya ca candrawittecayoccaiwa matra nirhtya cacawatih”. Artinya : Untuk memenuhi maksud tujuan itu  (raja) harus memiliki sifat-sifat partikel yang kekal daripada dewa Indra, Wayu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Chandra dan Kubera”

Penjelasan lebih lanjut dari kepemimpinan 8 (delapan) dewa tersebut secara berturut-turut dijelaskan pada Adhyaya IX, Sukta 304 sampai dengan 312.

Tugas utama seorang pemimpin menurut ajaran Hindu  adalah untuk mewujudkan umat manusia yang aman, damai dan sejahtera di sebuah organisasi yang dipimpinnya.  Dalam istilah sekarang (Manajemen Modern) keberhasilan seorang pemimpin dapat dilihat dari pencapaian organisai yaitu Organisasi Berkinerja Tinggi (High Performance Organization).

Parisada, Organisasi  Besar

Banyak organisasi keagamaan di negeri kita yang tercinta ini  yang identik dan sederajat dengan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Misalnya: Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk Agama Islam, Persekutuan Geraja-Gereja Indonesia (PGI) untuk Agama Kristen Protestan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) untuk Agama Kristen Katholik,  MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia) untuk Agama Khonghucu, dan Perwakilan Umat Buddha Indonesia (WALUBI) untuk Agama Buddha. Untuk membangun komunikasi yang baik, pemerintah juga membentuk organisasi sebagai tempat melakukan koordinasi sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama RI Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006. Lembaga koordinasi keagamaan yang dibentuk pemerintah disebut Forum Koordinasi Umat Beragama (FKUB).

Sesuai dengan AD/ART, PHDI memiliki struktur organisasi yang luas mulai dari pusat sampai ke daerah menyerupai struktur pemerintahan, yaitu: (1) Parisada Pusat; (2) Parisada Provinsi; (3) Parisada Kabupaten/Kota, (4) Parisada Kecamatan dan (5) Parisada Desa. Berdasarkan struktur tersebut ada lima tingkatan Parisada (serupa dengan hierarki pemerintahan NKRI). Dalam pelaksanaan Bhisama dan keputusan Pesamuhan Agung dan Mahasabha hirarki kebijakan sangat jelas sehingga nampak bahwa Parisada Pusat mengayomi dan membina Parisada Daerah.

Berdasarkan struktur tersebut Parisada sesungguhnya organisasi yang BESAR. “Layanan” atau produk “hukum” yang dihasilkan Parisada dilaksanakan dengan penuh ketaatan dan tanggung jawab. Namun, ketaatan itu lebih pada aspek dharma agama, misalnya adanya perubahan bunyi dan penulisan sloka Trisandya, pediksan, yajna sattvika,  jenis pura di daerah baru (transmigrasi) dan pengaturan hal-hal keagamaan lainnya. Akan tetapi pada aspek dharma negara masih perlu ditingkatkan. Misalnya: kewajiban umat Hindu untuk menyetorkan penghasilan bersihnya 2,5% kepada Badan Dharma Dana Nasional (BDDN) belum ditaati dengan baik.

Dalam orgasisasi, ada pengatas (leader) dan pembawah (lead) dan juga mekanisme atau tata aturan. Tata aturan Parisada adalah AD/ART, yang didalamnya menyebutkan tentang persyaratan seseorang yang boleh menjadi pengurus Parisada. Sebagaimana telah dijelaskan (pada artikel yang lain), ada tiga komponen Parisada.  Pemimpin di Parisada ada tiga yaitu Dharma Adhyaksa, Ketua Sabha Walaka dan Ketua Umum Pengurus Harian.

Dalam Mahasabha yang telah lewat (saya mengikuti sejak tahun 1991 di Taman Mini Indonesia Indah, mudah-mudahan juga yang akan datang pada Oktober 2021), yang selalu menjadi perhatian adalah dalam pemilihan “Ketua Umum Pengurus Harian Parisada”. Padahal sesungguhnya, Parisada sebagai kelembagaan tertinggi agama Hindu yang paling utama adalah Dharma Adhyaksa. Belum pernah terjadi “keramaian” dalam pemilihan Dharma Adhyaksa. Demikian juga Ketua Sabha Walaka, padahal sesungguhnya yang menentukan adalah kedua pimpinan Parisada ini.

Lalu mengapa Ketua Umum Pengurus Harian Parisada ( Ketum PH Parisada) menjadi ajang pemilihan yang diwarnai “keramaian”?

Jawabannya sederhana: Ketum PH Parisada adalah pejabat eksekutif yang mewakili Parisada dalam acara – acara seremonial kenegaraan, misalnya: rapat-rapat dengan lembaga/Majelis agama lainnya  (MUI, KWI, PGI, MATAKIN, WALUBI) dan juga keluar Indonesia, rapat-rapat dengan kelembagaan Presiden dan lainnya. Namun, sesuai AD/ART, sesungguhnya tugas Ketum PH Parisada adalah melaksanakan keputusan Pesamuhan Agung dan Mahasabha.

Karena itulah,  dalam pandangan banyak orang, posisi Ketua PH Parisada adalah jabatan strategis. Karena alasan STRATEGIS tersebut, maka posisinya  harus diisi oleh “Tokoh Nasional Hindu” yang mumpuni dan memiliki networking yang bagus. Networking ini penting untuk membangun image Parisada dan kemartabatan Hindu.

Persyaratan menjadi pengurus Parisada sudah sangat jelas tertuang di dalam AD dan ART, diantaranya: keluarga utuh  (artinya suami-istri aktif sebagai penganut Hindu). Kalau kita telusuri lebih jauh, persyaratan ini tentu saja mengandung: (1) pemahaman yang dalam tentang Ajaran Hindu; (2) telah mengimplementasikan ajaran Hindu dalam hidupnya; (3) menjadi teladan dalam bersikap (role model), bertingkah laku yang menujukkan karakter dan tanggungjawab sebagai pemeluk Hindu.

Persyaratan Menurut Veda

Menjelang pelaksanaan Mahasabha Oktober 2021 yang akan datang,  ada baiknya kita membuka-buka ajaran Veda terkait dengan persyaratan seorang pemimpin.  Pada pengantar sudah dijelaskan bahwa Pustaka Suci Manawa Dharmasastra mengurai tentang kepemimpinan. Berdasarkan Ajaran Veda, seorang pemimpin harus memahami dan mengimplementasikan beberapa pengertian berikut:

Bhakti: pengabdian atau cinta yang tulus ikhlas. Lima wujud cinta yang dibangun dari fisik manusia untuk mencapai 11 wujud cinta kepada Tuhan. Dalam Narada Bhakti Sutra, Sloka 2 disebutkan: “sä tv asmin parama-prema-rüpä”, terjemahan bebasnya: “bhakti merupakan manifestasi yang tertinggi bagi Tuhan”.  Bahwa seorang pemimpin harus memiliki bhakti yang tinggi.  Dalam ajaran Hindu dikenal ada lima tingkatan bhakti/cinta kasih yang disebut dengan Panca Bhaktiangga (Kama, Shringara, Maitri, Bhakti dan Atmaprema). Seorang pemimpin lembaga keagamaan harus  sampai pada tingkatan Atmaprema. Sementara itu, pada Sloka 82 disebutkan ada 11 wujud Cinta kepada Tuhan yang harus dipahami, yang dapat dibaca sebagai berikut: “guëa-mähätmyäsakti-rüpäsakti-püjäsakti-smaraëäsak ti-däsyäsakti-sakhyäsakti vätsalyäsakti-käntäsakty-ä tma-nivedanäsakti-tan-mayäsakti-parama-virahäsakti-rüpai kadhäpy ekädaçadhä bhavati”.

Budhi : pemahanan yang sempurna dalam membedakan antara baik dan buruk. Adanya perangkat buddhi, manah dalam diri manusia Hindu yang dilandasi pada hakikat dharma akan dapat mengontrol indera-inderanya sehingga bisa menekan ego seseorang ketika menjadi pemimpin. Sebagai salah satu ciri manusia, kedudukan yang dianggapnya tinggi dapat menumbuhkan ego atau ahangkara.

Yogi : disiplin.  Kedisiplinan menjadi ciri khas seorang pemimpin, terutama dalam melaksanakan kewajiban dan hak-haknya. Parisada memiliki wewenang terutama dalam menyelesaikan perbedaan bhasya (tafsir) di antara sumber-sumber ajaran Hindu. Pengetahuan ini tentu saja tidak mutlak harus dimiliki oleh seorang Ketua PH Parisada karena masih ada Sabha Walaka (SW) dan Sabha Pandita (SP). Tentang disiplin, Manawa Dharma Sastra mengulas mengenai pentingnya disiplin sebagaimana tercantum di dalam Adhyaya VII. 20 sebagai berikut: “yadi na pranayedraja dandam,dandayeswa tandritah, cule matsyaniwa paksayam durbalam balawattarah” artinya: “bila raja tidak menghukum dengan tidak jemu- jemunya kepada orang yang patut dihukum, (maka) yang kuat akan melalap yang lemah, seperti ikan dalam tempayan”.

Dharma : kebenaran. Dharma adalah tujuan utama hidup. Dengan memahami secara baik dan menerapkannya dalam praktek, pemimpin organisasi akan dapat berjalan sesuai dengan harapan. Dharma mengandung aspek pengertian yang luas, karena itu seorang pemimpin Hindu tidak dituntut menjadi seseorang yang sempurna tetapi memahami apa yang dapat ia lakukan berdasarkan pertimbangan buddhinya. Pemahaman mengenai dharma terkait dengan sumber sumber dharma, yaitu: (1) Tuhan Yang Maha Esa /Brahman; (2) Pustaka Suci Veda, (2) Kebiasaan para Pandita Suci, (4) Adat istiadat, norma, kebiasaan-kebiasan yang baik; dan (5) Atmanastuti. Selanjutnya mengenai kewajiban seorang pemimpin (raja) untuk terus belajar disebutkan pula dalam Manawa Dharma Sastra Adhyaya VII. Sukta 43 sebagai berikut : “Traiwidyehbhyastrayim widyam dandanitim ca  cakwatim, answiksssikim catmawidyam wartarambhacca loka”, artinya: dari syst syst itu yang didalam ketiga Veda, hendaknya ia mempelajari ketiga cabang ilmu pengetahuan suci, dimulai dengan ilmu pemerintahan, ilmu tentang dialektika dan ilmu tentang atman. Dari masyarakat umum memperlajri berbagai teori tentang perdagangan dan profesi profesi kejuruan”.

Memilih Wakil

Persyaratan lain seorang pemimpin juga harus pintar memilih para pembantunya (wakil-wakil sebagai Pengurus Harian Parisada) sebagaimana dijelaskan dalam Manawa Dharma Sastra Adhyaya VII, Sukta 54, yang tertulis sebagai berikut: “Maulanchastrawidah curam labdha laksam, saciwam sapta castau wa prakurwita pariksitan”. Artinya: “hendaknya ia (pemimpin/raja) menunjuk tujuh atau delapan menteri yang nenek moyangnya adalah setia sebagai abdi negara yang ahli dalam segala ilmu,  perwira ahli dalam penggunaan berbagai jenis senjata dan lahir dari keturunan  keluarga baik-baik dan yang telah dilatih”.

Dalam memilih pembantunya, Ketum PH Parisada masuk dalam formatur (bahkan mungkin ketua), karena itu  pertimbangan kompetensi seseorang dalam bidang pengetahuan ajaran Hindu, pengalaman dalam pengabdian dalam kelembagaan Hindu menjadi sangat penting. Sampai saat ini wakil-wakil ketua adalah orang-orang Hindu yang tidak perlu diragukan kapasitas, loyalitas  dan pengabdiannya.

Persyaratan bagi para pembantu pimpinan dijelaskan dalam pustaka Kautilya Arthashastra, buah karya Rsi Canakya,  18 Upanisad dan falsafah lainnya. Kautilya Arthashastra terdiri atas 15 buku, yang setiap bab mengulas secara spesifik mengenai sikap pemimpin, antara lain: perhatian terhadap disiplin, tugas-tugas pembantu pimpinan, perhatian terhadap hukum, tata aturan kerjasama dan koordinasi, dan lainnya (mungkin akan saya tulis pada waktu yang lain bila diperlukan).

Figur Ketua Umum Pengurus Harian Parisada

Pengalaman sejak tahun 1991, saya memiliki cara pandang terhadap proses pemilihan Ketum PH yang dipasangkan dengan Sekjen. Rasanya sangat banyak ‘Tokoh Nasional Hindu” yang mau, mampu dan layak menjadi Ketua Umum PH Parisada. Bagaimana pun, kedudukan seorang ketua umum organisasi kelembagaan agama yang langsung sebagai patner pemerintah dalam membangun kerukunan  antar dan itern umat beragama sangatlah bergengsi, bermartabat (seseorang yang secara ekonomi sudah melimpah, hidupnya telah mapan, sudah selesai dengan dirinya-sendiri,  akan mencari aktualisasi diri dan mengabdi).

Rasanya tidak benar kalau dikatakan “sangat sulit” mencari Tokoh Nasional Hindu yang bersedia memimpin Pengurus Harian Parisada (Ketua Umum PH). Saya telah berkomunikasi (baik, menurut saya) dengan para mantan ketua umum PH  sejak periode 2001 sampai 2016, yang saat itu saya selaku Ketua PHDI Provinsi. Sementara pada kepemimpinan periode 2016-2021, saya hanya bertemu dua kali yaitu menjelang Mahasabha XI Surabaya di sebuah hotel bintang 5 di Jakarta dan beberapa tahun lalu ketika ada kerjasama Kementerian Koperasi dengan PHDI di Kendari.

Saya dapat mengevaluasi perbedaan antara pemimpin yang berasal dari sipil dan yang berasal dari non sipil, menyakut komunikasi dan koordinasi secara subyektif. Namun, secara umum pada masa 2001-2016 komunikasi saya sangat baik dan lancar tanpa mengenal ruang dan waktu (maklum karena saya banyak belajar, banyak kasus yang membutuhkan nasihat, dan ide ide gila). Mungkin saatnya pada ajang Mahassbha 2021 ini umat  Hindu “mencoba” figur  yang lain, sesuai dengan kebutuhan pada saat ini bahwa Parisada harus kuat secara ekonomi, untuk menjalankan program-program ekonomi bersinergi dengan Prajaniti, BBDN dan lembaga Hindu lainnya. Sementara itu urusan dan kepentingan keagamaan menjadi fokus Sabha Walaka dan Sabha Pandita.

Penutup

Parisada Hindu harma Indonesia adalah lembaga besar dan secara geografis berada di seluruh wilayah NKRI, sehingga diperlukan pemimpin lembaga eksekutif yang benar-benar memahami aspek dharma agama dan dharma negara. Semoga Indonesia semakin maju atas dukungan Hindu Indonesia yang semakin maju dan bermartabat. Om Santih, Santih, Santih, Om (Kdi: 09082021: 16.49).

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email