Oleh : Luh Irma Susanthi, S.Sos.,M.Pd *)

Hari suci Pagerwesi, Rabu, 10 September 2025 hari ini dalam tradisi Hindu di Bali adalah momentum spiritual yang selalu mengingatkan umat untuk memperkuat benteng diri. Pagerwesi berasal dari dua suku kata “pagar” yang berarti pelindung, dan “wesi” berarti besi, sehingga dimaknai sebagai “pagar besi” yang kokoh, simbol perlindungan batin terhadap serangan adharma (kegelapan). Salah satu akademisi di IAHN Mpu Kuturan, Dr. I Nyoman Suka Ardiyasa menyebut perayaan Pagerwesi secara sungguh-sungguh sebagai perayaan peneguhan lahir bathin. Lalu, apakah makna Pagerwesi itu bisa masuk dalam logika generasi Gen Z ? Mengingat fenomena dunia modern dengan derasnya arus informasi melalui media sosial, disinformasi, hoaks hingga budaya konsumerisme. Tentu saja, makna ini harus dapat dicerna secara logika, ilmiah sehingga mampu menarik perhatian dan membuka hati terdalam setiap umat.
Perayaan hari suci Pagerwesi menjadi relevan untuk dihayati sebagai alarm tubuh, agar tidak kehilangan jati diri. Benteng diri tak hanya fisik, juga mental, spiritual dan etika. Penanaman nilai-nilai karakter yang dilakukan oleh leluhur kita terdahulu dipetik dari satua (cerita tetua) Bali. Satua Bali memiliki andil sangat besar dalam mengedukasi generasi kita untuk memahami ajaran agama dengan cara sederhana tetapi penuh makna. Nilai satua Bali sangat relevan dengan Sloka dari Yajur Veda (36.17) : “Asato ma sad gamaya, tamaso ma jyotir gamaya, mrityor ma amritam gamaya.”Artinya : “Bimbinglah aku dari ketidaktahuan menuju kebenaran, dari kegelapan menuju cahaya, dari kematian menuju keabadian”. Sloka ini menjadi doa universal untuk memohon pencerahan dan perlindungan dari kegelapan hidup.
Makna Hari suci Pagerwesi dalam Satua Bali juga mengajarkan nilai dari sebuah benteng kesadaran. Dalam satua Bali, banyak cerita yang sesungguhnya mengajarkan konsep “pager diri”. Kita ambil contoh, Satua Men Brayut, yang menggambarkan seorang ibu dengan banyak anak, dibalik humor dan kesan ramai. Satua ini mengandung makna kesabaran, ketekunan, dan kemampuan mengendalikan diri. Men Brayut yang penuh kasih sayang ibarat pagar yang menjaga anak-anaknya dari kekurangan cinta dan pengabaian. Cinta dari salah satu figur guru rupaka adalah juga bentuk pemuliaan akan hakikat mampu melihat sama setiap makhluk, yang diperkuat dalam Sloka Bhagavad Gita XIII.7 :
ichchhā dveṣhaḥ sukhaṁ duḥkhaṁ saṅghātaśh chetanā dhṛitiḥ
etat kṣhetraṁ samāsena sa-vikāram udāhṛitam
Artinya : Melayani atman dalam diri (kesadaran manusia) sesungguhnya adalah pelayanan kepada Brahman (Tuhan). Makna yang dapat dipetik adalah “Ia yang melihat Tuhan yang sama hadir dalam semua makhluk, ialah yang melihat sesungguhnya.”. Pengetahuan ini adalah bentuk kesadaran selalu membentengi diri bahwa betapa mulianya pengetahuan yang kokoh ibarat besi untuk merangkul dan menghormati setiap ciptaan Beliau sama seperti halnya cinta Men Brayut pada anak- anaknya yang merupakan kasih Tuhan yang tak terhingga sebagai penyelamat masa depan.
Satua lain, I Belog, sering dipandang sebagai cerita jenaka tentang kebodohan, namun, jika dimaknai lebih dalam, I Belog justru menjadi simbol manusia yang belum memiliki pagerwesi dalam pikirannya. Ia mudah dipengaruhi, tidak mampu memilah benar dan salah, sehingga selalu terjerumus dalam masalah. Perayaan hari suci Pagerwesi mengingatkan kita agar tidak menjadi “I Belog” diera digital, yang mudah termakan hoaks, terjebak kebencian, dan kehilangan arah hidup. Belajar dari konsep rwa bhineda, pengendalian pikiran adalah hal utama agar tidak selalu terjerumus dalam api kebodohan. Analogi ini dijabarkan dalam Sloka dari Reg Veda (10.191.4) : “Sangachhadhwam Samvadadhwam Samvo Manamsi Janatam.” Artinya: “Marilah kita berjalan bersama, berbicara bersama, dan berpikir bersama dengan hati yang satu”. Sloka ini menekankan pentingnya persatuan dan kebersamaan dalam mencapai kebijaksanaan. Kebijaksanaan lahir dari sebuah kebebasan dari nilai kebodohan.
Makna Pagerwesi dalam Kehidupan Modern juga punya andil dalam penguatan benteng pikiran. Kehidupan diera digital, media sosial tentunya ibarat pisau bermata dua. Olehnya, bijaklah dalam menggunakan media dalam konsumsi sebuah berita, pikiran juga harus dijaga agar tidak mudah goyah. Pagerwesi dapat dianalogikan sebagai momentum untuk mengasah kebijaksanaan.
Benteng nilai etika menjadi nilai kunci saat evoria hari suci umat yang selalu mengingatkan agar umat menjaga diri dalam sebuah pengendalian diri, dalam dunia yang serba cepat, etika sering dilupakan. Satua Balilah yang memiliki relevansi sangat besar dalam proses transformasi kebijaksanaan. Nilai dalam setiap satua Bali mengajarkan bahwa perilaku tanpa etika akan membawa kehancuran. Benteng spiritualitas dapat diasah dengan menghadap Beliau saat sembahyang dan meditasi, menghubungkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, memperkuat iman, agar tidak hanyut terbawa arus materialisme.
Jika dikaitkan dengan pandangan generasi sekarang, nilai suci Pagerwesi dapat dipandang sebagai alarm kesadaran. Satua Bali bukan sekadar dongeng, melainkan pagar nilai yang diwariskan leluhur. Ditengah krisis moral dan meningkatnya kasus kekerasan, hingga bunuh diri yang marak, Pagerwesi hadir untuk mengingatkan kita selalu membentengi pikiran dengan dharma, bentengi hati dengan welas asih, bentengi hidup dengan kesadaran spiritual.
Hari Pagerwesi bukan hanya ritual menghaturkan sesajen, melainkan saat yang tepat untuk menguatkan pagar di dalam diri. Sementara, satua Bali mengajarkan, siapa yang memiliki benteng diri akan kuat menghadapi jaman. Siapa pun yang lalai (membentengi diri), ia akan mudah goyah. Pemahaman atas nilai satua Bali mengingatkan kita pada sebuah pesan kehidupan dalam konsep memuliakan Tuhan dalam perayaan hari suci Pagerwesi sebagai perpaduan antara Mānava Seva dan Mādhava Seva. Konsep ini sangat relevan, namun kerap diabaikan. Ketika umat hanya berbhakti kepada Tuhan (Mādhava Seva) tanpa peduli sesama, maka nilai bhakti menjadi sempit. Sebaliknya, bila hanya menolong sesama (Mānava Seva) tanpa dasar spiritual, pelayanan menjadi hampa.
Pagerwesi, titik temu nilai spiritual
Mānava Seva adalah wujud nyata pager (pagar) yang kita bangun dalam hubungan sosial. Mādhava Seva adalah inti besi (wesi) yang memperkuat bathin agar teguh dalam Dharma. Keduanya bersatu sebagai pagar kokoh yang menjaga manusia dari kehancuran di tengah derasnyadan kerasnya Kaliyuga. Pagerwesi, satua Bali dan pengetahuan adalah jalan hidup. Hari suci Pagerwesi adalah momentum membangun benteng diri dengan Dharma. Satua Bali menjadi pengingat praktis, sementara ajaran Weda menegaskan landasan teologisnya. Dengan memaknai Pagerwesi melalui Mānava Seva dan Mādhava Seva, kita menjaga diri dan menyelamatkan orang lain dari kegelapan. Kita menjadikan pelayanan sebagai jalan bhakti, membentengi jaman dari kehampaan spiritual. “Mānava Seva is Mādhava Seva” – Melayani sesama sama dengan melayani Tuhan. Itulah pagar besi sejati yang tak pernah berkarat.
Sementara, sloka dari Bhagavad Gita (18.66) menyatakan : “Sarva-dharman parityajya Mam ekam saranam vraja Aham tvam sarva-papebhyo Mokshayishyami ma suchah.” Artinya: “Tinggalkan semua bentuk dharma (jalan duniawi) dan berlindunglah hanya kepada-Ku. Aku akan memerdekakanmu dari segala dosa, janganlah bersedih”. Sloka ini mengajarkan agar kita menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan dan meyakini perlindungan-Nya. *) Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng (*),