Oleh : Ni Made Ayu Suniari, S.Sos
Naskah ini saya tulis bertepatan dengan musim perkawinan (pernikahan/wiwaha samskara) saat ini. Semoga dapat menambah referensi bagi pasangan yang sedang melangsungkan pernikahan.
***
Perkawinan atau pernikahan (Wiwaha Samskara) dalam Agama Hindu dianggap sebagai peristiwa sakral yang tidak hanya menyatukan dua individu, tetapi juga dua keluarga dan dua jiwa yang terikat oleh nilai-nilai spiritual. Namun, perjalanan menuju pernikahan dimulai dari hubungan pertemanan atau perkawanan, yang berperan sebagai fondasi penting bagi sebuah ikatan perkawinan yang kuat. Dalam perkawanan, dua individu belajar untuk saling memahami, menghargai, dan membangun kepercayaan, yang merupakan modal dasar dalam perkawinan/pernikahan. Sebagaimana tercermin dalam Pustaka Suci Manu Smerti Sloka 9.101 menyebutkan : “Wanita adalah separuh dari suami, sehingga perkawinan bukanlah sekadar hubungan fisik, tetapi juga ikatan jiwa yang saling melengkapi.”
Dalam Hindu, dharma atau kewajiban moral menjadi prinsip penting dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam hubungan perkawanan. Dharma mengajarkan bahwa hubungan harus dilandasi oleh kejujuran, pengertian, dan rasa tanggung jawab. Perkawanan yang dijalankan berlandaskan dharma membantu individu untuk saling memahami peran dan kewajiban mereka dalam hubungan yang lebih serius. Seperti dikatakan dalam Pustaka Suci Bhagavad Gita 18.47, “Lebih baik menjalankan dharma kita sendiri (swadharma) dengan ketidaksempurnaan daripada menjalankan dharma orang lain (para dharma) dengan sempurna.” Dalam konteks perkawanan, setiap individu diharapkan bertindak sesuai dengan peran dan tanggung jawab mereka.
Cinta dalam Agama Hindu juga memiliki dimensi spiritual yang kuat. Konsep cinta bukan sekadar luapan emosi, ketertarikan fisik, tetapi juga bentuk pengabdian atau bhakti. Dalam hubungan menuju perkawinan, cinta tidak hanya tentang daya tarik fisik, tetapi juga tentang pengabdian dan komitmen untuk menjalani kehidupan bersama dengan penuh kesabaran dan kasih sayang. Pustaka Suci Rig Veda Sloka 10.85.42 menyatakan, “Biarlah hatimu menyatu, pikiranmu menyatu, agar engkau dapat hidup bersama dengan damai dan harmonis.” Ini menunjukkan bahwa cinta dalam hubungan perkawanan berlanjut ke jenjang perkawinan harus melibatkan kesatuan hati dan pikiran.
Selain cinta, keluarga juga memainkan peran penting dalam perjalanan menuju perkawinan (wiwaha) dalam tradisi Hindu. Keluarga dianggap sebagai penuntun dalam memastikan bahwa calon pasangan memiliki kesesuaian moral dan spiritual. Pernikahan dalam Agama Hindu tidak hanya melibatkan dua individu, tetapi juga penyatuan dua keluarga yang membawa nilai-nilai tradisi masing-masing. Pustaka Suci Atharva Veda Sloka 14.1.20 menekankan pentingnya peran keluarga dalam pernikahan: “Orang tua menyerahkan putri mereka kepada calon suami dengan harapan bahwa ia akan dijaga dan dihormati, serta menjadi bagian dari keluarga baru.”
Pernikahan Hindu diwarnai dengan berbagai ritual sakral yang memiliki makna spiritual mendalam. Salah satu ritual yang paling penting adalah Saptapadi, yaitu tujuh langkah yang diambil oleh pengantin bersama untuk melambangkan komitmen mereka dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Setiap langkah memiliki arti khusus, mulai dari janji untuk memenuhi kewajiban satu sama lain hingga menjaga kesetiaan dalam hubungan. Pustaka Suci Rig Veda Sloka 10.85.36 menyatakan, “Kami berjalan tujuh langkah bersama, dan melalui langkah ini, kami menjadi teman sejati. Biarlah kami tidak terpisahkan.”
Selain Saptapadi, ritual lain yang penting yakni Kanyadaan, yang merupakan penyerahan pengantin wanita oleh orang tua kepada calon suami. Ritual ini melambangkan bahwa orang tua mempercayakan putri mereka kepada calon suami dengan harapan bahwa ia akan dijaga dengan penuh kasih sayang dan dihormati serta dihargai dalam kehidupan baru (Grhasta Asrama). Pustaka Suci Manusmriti Sloka 3.27 menyebutkan, “Dengan Kanyadaan, orang tua menyerahkan putri mereka dengan tulus hati, berharap dia akan menjadi sumber kebahagiaan dan berkah untuk keluarga barunya.” Kanyadaan menunjukkan penghargaan yang mendalam terhadap peran wanita dalam pernikahan.
Pernikahan dalam Hindu bukan hanya kontrak sosial, tetapi juga sebuah ikatan spiritual yang membawa pasangan menuju pembebasan jiwa atau Mokhsa. Pasangan yang menikah (mempelai) diharapkan menjalankan kehidupan bersama dengan menjalankan dharma, memenuhi keinginan yang sah (Kama), mencapai kemakmuran (Artha), dan pada akhirnya mengejar Moksha. Pernikahan dipandang sebagai jalan menuju kesempurnaan spiritual, seperti yang dinyatakan dalam Manu Smerti 9.45: “Dengan menjaga satu sama lain, pasangan akan bersama-sama mencapai puncak kebajikan dan kebahagiaan.”
Selain itu, pernikahan juga merupakan sarana untuk mencapai Artha (kemakmuran) dan Kama (pemenuhan keinginan yang sah), yang merupakan dua dari empat tujuan hidup manusia dalam ajaran Hindu sebelum Mokhsa. Hubungan yang sehat antara suami dan istri tidak hanya didasarkan pada cinta, tetapi juga pada kerjasama dalam mencapai kesejahteraan material dan kebahagiaan bersama. Pustaka Suci Bhagavad Gita Sloka 3.16 menekankan pentingnya kerjasama dalam kehidupan rumah tangga. “Dengan saling membantu dan bekerjasama, kehidupan akan membawa kebahagiaan dan kesejahteraan.”
Meskipun nilai-nilai tradisional masih kuat dalam Agama Hindu, pernikahan juga menghadapi tantangan dari modernisasi. Dengan perubahan sosial, peran perkawanan sebagai langkah awal menuju perkawinan menjadi semakin penting untuk memastikan bahwa hubungan tidak hanya dibangun atas dasar ketertarikan sementara (fisik), tetapi juga kesesuaian nilai-nilai spiritual dan moral. Menghadapi tantangan ini, pasangan Hindu diharapkan tetap menjaga keseimbangan antara nilai-nilai spiritual yang dipegang teguh dan tuntutan kehidupan modern. Terkait hal ini, Bhagavad Gita Sloka 2.47 mengingatkan, “Bekerjalah tanpa pamrih, fokus pada kewajibanmu, bukan pada hasilnya.” Ini relevan dalam menghadapi tantangan kehidupan pernikahan dan menjaga harmoni dalam hubungan.
Pada akhirnya, perkawinan dalam Agama Hindu bukan hanya tentang penyatuan dua individu, tetapi juga perjalanan spiritual bersama berlandaskan ajaran dharma, cinta, komitmen, serta diharapkan pasangan tidak hanya mencapai kebahagiaan duniawi, tetapi juga pembebasan spiritual. Ini sejalan dengan pesan dalam Upanishad, “Dimana ada cinta, disana ada kehidupan; dan dimana ada kehidupan, disana ada cahaya Tuhan.”. (* Penulis adalah Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tabanan).