Waktu telah menjadi saksi bisu betapa mulianya para leluhur Bali menjaga setiap jengkal peradaban warisan yang diwarisi oleh generasi sebelumnya, bahkan sebuah kepercayaan kemudian terpatri dalam diri para tetua Bali, bahwasanya kekayaan adat, seni budaya Bali telah menjadi DNA dalam diri setiap individu orang Bali yang harus selalu diwariskan. Salah satu warisan budaya yang dimaksud adalah tempat suci yang kemudian dalam memori kolektif masyarakat Bali disebut Pura. Orang Hindu di Bali memandang Pura tidak hanya sekadar tempat suci, tapi juga dimaknai sebagai tempat beriteraksi (bersosialisasi), bahkan yang utama seharusnya menjadi tempat belajar pengetahuan Agama Hindu (Tattwa) selain Susila (Etika) dan Acara ( termasuk ritual : upacara dan upakara).
Seiring dengan perkembangan jaman, garis embarkasi atau batas-batas tegas tentang fungsi tempat suci tampaknya mulai memudar. Hal ini diakibatkan oleh berkembangnya pola pikir dan kehidupan manusia khususnya penganut Hindu. Diakui atau tidak, Pura kini mulai mengalami persegeseran fungsi, dari fungsinya sebagai tempat sembahyang, ritual kemudian bertambah menjadi tempat mempertontonkan kenarsistikan seseorang, flexing, bahkan pada musim-musim kampanye menjadi lokasi kampanye bagi para calon wakil rakyat dan atau calon kepala daerah. Ini layaknya sebuah panggung sirkus dan sandiwara. Herannya, kita seolah-olah nyaman dengan pola perubahan perilaku dalam memfungsikan Pura ini. Tentu, karena kita adalah pelakunya, yang tiba-tiba menjadi hakim dadakan untuk melegitimasi kata “boleh” atau “tidak”-nya perilaku itu di Pura. Bahkan kegiatan politik praktis di Pura ini berlangsung secara terang-terangan, culas bahkan brutal. Namun, terkemas secara halus dengan kata “ngiring mesikian“. Lalu yang paling berperan memuluskan praktek-praktek berpolitik di Pura ini adalah ketegasan dari para punggawa atau Prajuru Desa Adat, Prajuru Pengempon Pura kita di Bali. Tak heran jika Pura sudah mulai menjadi panggung sirkus dan drama politik.
Menilik fenomena yang tengah terjadi saat ini, sudah sepatutnya Lontar Kramaning Pura mampu berperan sebagai Sastra Dresta dalam memberikan pandangan bahkan batasan-batasan yang jelas akan fenomena ini. Misalkan saja, dalam Lontar Kramaning Pura, dilarang berkata-kata sembarangan sebagaimana disebutkan dalam kutipan “apan ya dosa nyampuri angucap, anyampahi pura, nga” yang bermakna : dilarang berucap sembarangan dan berbicara mencampahi (mencemarkan) Pura” yang disebutkan dalam penggalan lontar berikut “apan ya dosa nyampuri angucap, anyampahi pura, nga” artinya “dosa adanya ketika seseorang berucap sembarangan dalam tempat suci”
Meskipun secara tersurat lontar itu tidak menyebut larangan berpolitik secara gamblang, namun masyarakat seolah-olah terjebak dalam retorika dan hanyut bualan para politikus. Tentu tak jarang kita menyaksikan calon wakil rakyat atau calon kepala daerah yang bualannya besar “ampah”, “campah” dengan “sumpah serapah” menggampangkan segala hal yang kaya janjinya, namun kerap miskin realisasinya.
Lontar Kramaning Pura juga mengkontruksi larangan bagi orang gila memasuki Pura sebagaimana pengggalan kutipan berikut ini “Malih jadma edan, sampun kaciryan jadma ika buduh, tan wenang jadma ika wehen ka pura, punapi malih ri kalaning patirthan ida bhatara” artinya : Lagi orang gila, sudah diketahui orang itu gila, tidak dibenarkan orang itu diberikan masuk ke Pura, apalagi pada saat ada upacara Ida Bhatara”. Sebutan “gila” tidak hanya sekadar gangguang psikologi (kejiwaan) semata, dalam Geguritan Lingga Acala Pupuh Durma 33 disebutkan “Raris Hyang Tunggal ngucap ring Hyang manik Maya, cening sing megarang linggih” artinya : Sekarang Hyang Tunggal berbicara kepada anaknya Hyang Manik Maya, anakku engkau tidak sombong dan rakus“. Meskipun para calon wakil rakyat atau calon kepala daerah secara psikologi pasti bukanlah orang gila secara kejiwaan, namun dengan memaksa sampai menggelar kegiatan politik praktis di tempat suci (Pura), ini sudah merupakan indikasi “gila” akan kedudukan atau kekuasaan.
Krama Pengempon Pura seharusnya berani mengambil sikap untuk tegas menolak praktek-praktek dan perilaku melecehkan Pura. Seperti dijelaskan dalam Nitisataka 38 yang menyebutkan sifat-sifat politikus sebagai berikut : “Satyanrtaa ca parusaa, priyavadini ca, himsatraa dayaalurapi, caarthaparaa vadaanyaa, nityavyayaa pracuranityadhanaagamaa ca, vaaraanganeva nrpaniitiranekarupaa“. Artinya “Sifat seorang politikus yang pragmatis selalu berubah-ubah. Di suatu tempat bisa berkata benar dan jujur, di tempat lain bisa berkata bohong. Kadang bicara dengan keras dan kasar, kadang-kadang bicaranya manis dan lembut. Kadang melakukan himsa karma yang menyakitkan, di sisi lain memberi pengampunan. Kadang suka menyumbang, di sisi lain mereka sangat amat serakah. Kadang uang dihambur-hamburkan tanpa perhitungan, kadang di sisi lain menumpuk kekayaan untuk dirinya tanpa dasar kebenaran alias korupsi. Demikiantah tingkah seorang politikus selalu berubah bagaikan seorang pelacur”.
Sudah saatnya seluruh elemen masyarakat atau krama desa adat, Pengempon dan Penyungsung Pura membangun persepsi untuk Swadeshi (menggunakan hasil karya sendiri), berdiri di atas kaki sendiri (Swadaya), berkolaborasi menjaga kesucian Pura agar steril dan netral dari politik praktis yang pragmatis dan berpotensi memecah belah krama pengemponnya gegara berbeda pilihan politik. Saran saya sebagai anak muda Hindu, segeralah lakukan revitalisasi fungsi Pura, dengan melakukan rebranding Pura sebagai pusat kajian dan pembelajaran Hindu (Hindu Learning Centre), sehingga fungsi Pura semakin berdaya dan tetap memiliki vobrasi spiritual alias metaksu. Jika hal ini dilakukan secara berkelanjutan, harapan saya pastinya akan mampu memantik perhatian generasi muda melihat tempat sucinya sebagai kawasan suci yang ramah dan nyaman bagi semua penganut Hindu yang hendak bersembahyang.
Jika kemudian ada pejabat publik yang membiayai renovasi atau pembangunan Pura, itu semata-mata adalah kewajibannya sebagai pejabat publik, terlebih lagi dana punia itu berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang merupakan hak rakyat sepanjang pengucuran dana untuk renovasi atau pembangunan Pura itu tidak disertai dengan motif politik praktis. Inilah yang sangat sulit dibedakan oleh rakyat biasa yakni antara kewajiban pejabat publik dan hak pejabat tersebut untuk mendapat dukungan politik untuk periode berikutnya yang kerap disebut “politik balas budi”.
Dengan demikian, pilihannya hanya ada pada keberanian kita menjadi pelopor untuk menolak berbagai suguhan praktek-praktek politik praktis di Pura. Tujuannya semata-mata untuk menjaga martabat kesucian warisan tempat suci leluhur, selalu berpegang teguh pada konsep Satyam dengan selalu berpegang teguh pada sumber sastra suci Hindu, yang diwujudnyatakan dalam tingkah laku “Siwam“, untuk menciptakan keharmonisan “Sundaram“. (* Penulis, Penyuluh Agama Hindu Kementerian Agama Kabupaten Jembrana)