Oleh: Luh Irma Susanthi, S.Sos, M.Pd *)
Hari suci Siwaratri adalah hari yang sangat luhur dalam ajaran Agama Hindu. Siwa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemberi dan penganugerah kecemerlangan pikiran bagi umat HIndu diliputi kegelapan (Awidya). Inilah arti dari Ratri atau kegelapan malam. Siwaratri dilaksanakan pada malam yang paling gelap yaitu sehari sebelum Tilem Sasih Kapitu yaitu malam yang memiliki kualifikasi tergelap. Siwaratri merupakan simbolis peningkatan kesadaran dan sinar pengetahuan (vidya) bagi setiap umat di malam Siwa (Ikang Atma Rijatinnya).
Siwaratri, yang dikenal sebagai malam pemujaan Dewa Siwa adalah momentum spiritual yang mengajarkan introspeksi dan pengendalian diri. Dalam konteks kekinian, nilai-nilai Siwaratri perlu diselaraskan dengan tantangan era digital dan pola pikir generasi muda guna mencapai tujuan :
- Meningkatkan pemahaman generasi muda tentang makna Siwaratri.
- Mengintegrasikan nilai-nilai spiritual Siwaratri dengan teknologi digital.
- Membentuk mindset generasi muda yang seimbang antara spiritualitas dan kemajuan teknologi.
Makna Siwaratri secara garis besar
- Malam Renungan Diri : Siwaratri adalah waktu untuk introspeksi dan meditasi mendalam guna membersihkan pikiran dari hal-hal negatif.
- Nilai Pengendalian Diri : Praktek jagra, upawasa, dan monabrata mengajarkan disiplin spiritual.
- Peningkatan Kesadaran Spiritual : Menghubungkan diri dengan Dewa Siwa sebagai simbol pengendalian, penghancuran keburukan, dan kelahiran kembali nilai positif.
Siwaratri Diera Digital
Perubahan Mindset Generasi Muda dapat dijabarkan melalui keiatan positif : (1) Melakukan transformasi mindset melalui nilai-nilai positif Siwaratri dengan membiasakan introspeksi melalui meditasi digital atau mempraktekkan upawasa, menjauh dari hiruk-pikuk dunia, fokus pada spiritualitas; (2) Melibatkan diri dalam komunitas pemuda Hindu yang mendukung pengembangan spiritual; (3) Membangun keseimbangan antara dunia digital dan spiritualitas; (4) Menjadikan nilai-nilai Siwaratri sebagai pedoman dalam mengelola waktu dan emosi diera digital; (5) Menggunakan teknologi sebagai sarana mendekatkan diri kepada ajaran Hindu, bukan sebaliknya.
Praktek Siwaratri Diera Digital
Beberapa aktivitas yang dapat dilakukan saat merayakan Siwaratri diera digital : (1) Membaca kitab suci Hindu secara bersamaan untuk menanamkan nilai-nilai spiritual; (2) Mendorong generasi muda untuk berbagi melalui platform digital sebagai wujud pengendalian diri terhadap materialisme. Jadi, perayaan Siwaratri tidak hanya relevan untuk introspeksi diri dan aktivitas spiritual, tetapi juga sebagai sarana mengubah mindset generasi muda agar mampu menyeimbangkan spiritualitas dengan kemajuan teknologi, memanfaatkan teknologi digital secara bijak, generasi muda dapat lebih waspada.
Siwaratri adalah malam pencerahan, membawa cahaya kebijaksanaan di tengah kegelapan jaman. Pembelajaran yang luar biasa untuk memuliakan kelahiran sebagai manusia yang memiliki idep. Sloka (4) Sarasamuscaya mengajarkan umat tentang keutamaan kelahiran manusia sebagai mahluk yang paling tinggi derajatnya di antara makhluk hidup lainnya. Negosiasi dalam ajaran agama Hindu adalah bentuk penyadaran untuk memperoleh pencerahan yang merupakan dasar mulainya berdamai dalam diri untuk memahami tujuan utama Brata Siwaratri dalam peningkatan kualitas Sang Diri.
Dasar sastra yang mendukung negosiasi terwujud dari pengetahuan tentang Brahman adalah sebagai berikut :
Pustaka Suci Agni Purana, Bab 378.22 :
Agni bersabda: “Aku adalah abadi, murni, bijaksana dan bebas, kebenaran, kebahagiaan dan tanpa yang kedua Aku adalah Brahman yang menganugerahkan pengetahuan dan benar benar bebas. Om, Aku adalah Brahman, pemancar sinar tertinggi, meditasi suntuk dan makhluk tertinggi yang menganugerahkan emansipasi“.
Wrhaspati Tatwa 11- 13 :
Yang berbunyi: Sawyaparah, bhatāra sadaśiva sira, hana padmasana pinaka palungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya śakti nira, śakti ngaranya, vibhūśakti, prabhuśakti, jñānaśakti, kriyāśakti, nahan yang caduśakti.
Artinya : Sang Hyang Siwa dalam dalam bentuknya sebagai Sada Siwa aktif berguna bersinar terdiri dari unsur kesadaran yang mempunyai kedudukan dan sifat-sifat yang memenuhi segala-galanya. Sang Hyang Siwa sebagai maha pencipta, pelebur pengasih, bersinar abadi Maha Tahu, dan ada di mana-mana bagi orang yang tak punya tempat berlindung. Sang Hyang Siwa merupakan saudara Ibu dan ayah ia merupakan penawar dari segala rasa sakit dan membebaskan manusia dari ikatan kelahiran, Savyaparah atau Sang Hyang Siwa yang duduk di atas Padmasana yang merupakan bentuk kekuatan atau saktinya di mana Sang Hyang Siwa memiliki 4 kekuatan yaitu kekuatan meresap (wibhu sakti), kekuatan ilmu pengetahuan (jnana sakti) kekuatan perbuatan (kriya sakti) dan kekuatan di atas segala-galanya (prabu sakti). Atas dasar inilah Mpu Tanakung dengan mahakarya mengibaratkan pengampunan Sang Hyang Siwa pada Lubdaka yang merupakan pemburu paling kejam semasa hidupnya, karena saat malam pemujaan Siwa, Lubdaka mulai melakukan proses instropeksi diri dan mulai terbangun kesadaran untuk semua kesalahan semasa hidupnya itulah awal mulai terwujud bhaktinya dalam bentuk implementasi menuju Tat Twam Asi yang merupakan dasar pengetahuan untuk menerapkan Brata Sivaratri menuju hakikat Tat Twam Asi.
Siwaratri dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Penuntasan Kemiskinan dan Pencegahan Stunting
Perayaan Siwaratri, yang berakar pada introspeksi dan pengendalian diri, memiliki nilai-nilai universal yang relevan dengan tantangan sosial seperti pemberdayaan ekonomi, penuntasan kemiskinan, dan pencegahan stunting. Dalam ajaran Hindu terdapat berbagai sastra mendukung upaya ini dengan menekankan pentingnya keseimbangan hidup, tanggung jawab sosial, dan pengelolaan sumber daya secara bijak.
- Pemberdayaan Ekonomi Umat
Sumber Sastra adalah sebagai berikut :
- Bhagavad Gita 3.12 : “Ishtan bhogan hi vo deva dasyante yajna bhavitah, Tair dattan apradayaibhyo yo bhunkte stena eva sah.” Artinya: “Dewa-dewa, yang dipuaskan oleh Yajna (pengorbanan suci), akan memberikan segala kebutuhan hidup. Mereka yang menikmati hasil tanpa memberikan kembali adalah seperti pencuri.”
Relevansinya : Yajna mengajarkan pentingnya berbagi dan membantu sesama, termasuk melalui pemberdayaan ekonomi. Siwaratri mengajarkan introspeksi agar umat dapat melihat potensi dirinya untuk meningkatkan taraf hidup, baik secara individu maupun kolektif.
- Manawa Dharmasastra 4.21:
“Sampadyante dhana dhanyam prajanam chaiva palanam, Yajnasya phalamityuktam tasmat kuryat sada yajnam.” Artinya: “Kesejahteraan berupa kekayaan, hasil bumi, dan kesejahteraan rakyat adalah buah dari pelaksanaan yajna.”
Relevansinya : Praktek Yajna dapat diterjemahkan dalam kehidupan modern sebagai usaha kolektif untuk membangun ekonomi umat melalui gotong-royong. Kegiatan saat Siwaratri, seperti penggalangan dana untuk umat kurang mampu, mencerminkan semangat Yajna ini.
Praktek Nyata dalam Pemberdayaan Ekonomi dapat berupa : (1) Kewirausahaan : Mengadakan pelatihan keterampilan berbasis komunitas yang selaras dengan ajaran Hindu; (2) Ekonomi Berkelanjutan : Mendorong pengelolaan sumber daya lokal (pertanian, perikanan) dengan tetap menjaga keseimbangan alam; (3) Kegiatan Keagamaan Produktif: Mengintegrasikan kegiatan Siwaratri dengan pasar atau bazaar kecil untuk mempromosikan produk lokal.
- Penuntasan Kemiskinan
Sumber Sastra yang dapat menjadi acuan adalah :
- Bhagavad Gita 18.5:
“Yajna-dana-tapah-karma na tyajyam karyam eva tat, Yajno danam tapas caiva pavanani manishinam.” Artinya: “Pengorbanan (yajna), pemberian derma (dana), dan pengendalian diri (tapas) tidak boleh ditinggalkan, karena itu menyucikan manusia.”
Relevansinya : Ajaran dana (memberi derma) menekankan pentingnya membantu sesama sebagai cara menuntaskan kemiskinan. Dalam Siwaratri, umat diajak untuk berbagi, baik melalui sumbangan materi maupun penyebaran ilmu pengetahuan.
- Chandogya Upanishad 3.17.4:
“Anna prana, annam brahma.” Artinya: “Makanan adalah kehidupan, makanan adalah Brahman.”
Relevansinya : Kemiskinan sering dikaitkan dengan kelaparan. Dalam Siwaratri, umat dapat memberikan makanan kepada mereka yang membutuhkan sebagai simbol pengabdian kepada Tuhan (Manava Seva is Madava Seva). Umat Hindu diajak untuk peduli pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia sebagai bagian dari praktek spiritual.
Praktek Nyata Penuntasan Kemiskinan
- Mengadakan program pemberian sembako kepada keluarga miskin.
- Melibatkan komunitas Hindu dalam program ekonomi berbasis gotong-royong.
- Menggunakan momentum Siwaratri untuk menggalang donasi bagi umat yang sangat membutuhkan.
Pencegahan Stunting
Sumber Sastra yang dapat menjadi acuan dalam pencegahan stunting adalah sebagai berikut :
- Atharva Veda 12.1.12 : “Dhanvanthi satvanvati vahnisoshah krishnavati virudham adhipatiḥ.” Artinya: “Tumbuhan dan makanan yang bergizi adalah penguasa kesehatan.”
Relevansinya : Pencegahan stunting berkaitan dengan gizi. Dalam ajaran Hindu, makanan sehat dan seimbang dianggap penting untuk menjaga tubuh dan jiwa.
- Taittriya Upanishad 3.2 : “Annam bahu kurvita tad vratam.” Artinya: “Jadikan makanan berlimpah; itu adalah sumpah kehidupan.”
Relevansinya : Umat diajarkan untuk memproduksi dan mendistribusikan makanan secara adil, sehingga semua orang, terutama anak-anak, mendapatkan gizi yang cukup.
Aplikasi Nyata Pencegahan Stunting
Beberapa aksi nyata dalam pencegahan stunting yakni (1) Literasi dan Edukasi Gizi: Menggunakan forum Siwaratri untuk memberikan penyuluhan kepada umat tentang pentingnya makanan bergizi untuk anak-anak; (2) Program Makanan Gratis : Mengadakan dapur umum untuk menyediakan makanan sehat kepada masyarakat kurang mampu; (3) Pertanian Organik: Menggalakkan pertanian organik sebagai sumber makanan sehat untuk komunitas Hindu.
Implementasi Praktis dari Program Tersebut dilakukan dengan :
- Menggalang dana selama perayaan Siwaratri untuk membantu masyarakat miskin.
- Melibatkan komunitas Hindu dalam program pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan keterampilan.
- Menggunakan momentum Siwaratri untuk edukasi gizi dan menyediakan makanan sehat bagi anak-anak yang berisiko stunting.
Dengan demikian, momentum Siwaratri dapat menjadi sarana untuk mengharmoniskan spiritualitas dan tanggung jawab sosial dalam kehidupan umat Hindu.
Siwaratri related dengan nilai-nilai yang terkandung dalam epos Mahabharata, Ramayana, serta lontar seperti Dharma Kahuripan dan Yajna Prakerti. Ajaran yang terkandung dalam sumber-sumber ini berkelindan dengan makna Siwaratri sebagai malam introspeksi, pengendalian diri, dan pengabdian kepada Tuhan. Berikut ini penjelasannya:
- Siwa Ratri dalam Mahabharata
Dalam Mahabharata, nilai-nilai Siwaratri dapat dikaitkan dengan kisah-kisah yang menekankan pengendalian diri, introspeksi, dan kesetiaan terhadap dharma:
Kisah Arjuna dan Pertapaan di Gunung Indrakila
Arjuna melakukan tapa brata yang mendalam untuk mendapatkan senjata Pashupatastra dari Dewa Siwa. Tapa brata ini mencerminkan makna jagra (berjaga) dan upawasa (pengendalian diri) yang menjadi bagian utama dari Siwa Ratri. Relevansinya saat ini : Siwaratri mengajarkan pentingnya perjuangan spiritual, pengorbanan, dan introspeksi sebagai jalan menuju keberhasilan dalam menjalankan tugas hidup.
Pustaka Suci Bhagavad Gita
Dalam Bhagavad Gita, terdapat ajaran tentang pengendalian indria dan keikhlasan kepada Tuhan: “Yuktahara-viharasya yukta-cheshtasya karmasu, Yukta-svapnavabodhasya yogo bhavati duhkhaha” (Bhagavad Gita 6.17). Artinya: “Yoga yang sempurna dicapai melalui keseimbangan dalam makan, beraktivitas, tidur, dan berjaga-jaga”. Relevansinya : Siwaratri mencerminkan ajaran ini, terutama dalam praktek berjaga (jagra) dan pengendalian diri (upawasa) sebagai cara mencapai harmoni spiritual.
- Siwa Ratri dalam Ramayana
Dalam epos Ramayana, ada banyak nilai yang sesuai dengan makna Siwa Ratri :
Kisah Pertapaan Rama dan Laksmana di Hutan Dandaka
Rama dan Laksmana menjalani kehidupan sederhana di hutan dengan disiplin spiritual yang tinggi. Mereka tetap waspada dan menjaga kesucian pikiran serta tindakan, meski menghadapi berbagai godaan. Relevansinya : Praktek jagra dan monabrata pada Siwaratri mencerminkan cara hidup Rama yang penuh pengendalian diri dan dedikasi kepada dharma.
Pengorbanan Dewi Sita
Dewi Sita menunjukkan kesetiaan dan ketabahan dalam menghadapi ujian kehidupan. Hal ini sejajar dengan semangat introspeksi dalam Siwaratri tatkala seseorang diingatkan untuk tetap teguh dalam menghadapi godaan dan penderitaan.
- Siwa Ratri dalam Lontar Dharma Kahuripan
Lontar Dharma Kahuripan mengajarkan pentingnya menjaga harmoni antara manusia, Tuhan, dan alam (Tri Hita Karana). Ajaran ini selaras dengan makna Siwartri sebagai waktu introspeksi untuk menjaga keseimbangan spiritual dan kehidupan sehari-hari.
Ajaran Utama: “Tat Tvam Asi” (Kamu adalah Dia) mengingatkan manusia untuk selalu sadar akan hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Momen Siwaratri menjadi saat yang tepat untuk merenungkan hubungan ini dan memperbaiki tindakan agar lebih selaras dengan dharma.
- Siwaratri dalam Lontar Yajna Prakerti
Makna Yajna sebagai pengorbanan suci. Lontar Yajna Prakerti menekankan pentingnya yajna sebagai bentuk pengabdian kepada Tuhan dan alam. Siwaratri dapat dimaknai sebagai pelaksanaan yajna bhatiniah, yaitu: Jagra sebagai yajna pengorbanan waktu dan tenaga untuk berjaga dalam doa.
Upawasa sebagai Yajna pengendalian nafsu duniawi. Monabrata sebagai Yajna keheningan untuk memperkuat hubungan dengan Tuhan.
Hubungan dengan Alam
Dalam lontar ini juga ditekankan bahwa yajna tidak hanya untuk Tuhan, tetapi juga untuk melestarikan alam sebagai bagian dari kewajiban manusia. Pada Siwaratri, umat dapat merefleksikan tanggung jawab ini melalui tindakan nyata seperti melestarikan lingkungan.
Bentuk kualifikasi dalam perayaan hari suci Siwa Ratri memiliki hubungan yang erat dengan ajaran dalam Mahabharata, Ramayana, Lontar Dharma Kahuripan, dan Yajna Prakerti. Nilai-nilai seperti introspeksi, pengendalian diri, pengorbanan, dan keharmonisan dengan alam sangat relevan dalam perayaan ini.
Implementasi Praktis Siwaratri dengan Pustaka Suci :
- Meneladani Arjuna dalam menjaga disiplin spiritual.
- Menghayati kesederhanaan dan pengendalian diri seperti Rama dan Laksmana.
- Melakukan refleksi mendalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan dan alam, sebagaimana diajarkan dalam lontar.
- Mengintegrasikan praktek yajya, Siwaratri memiliki hubungan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam epos Mahabharata, Ramayana, serta lontar seperti Dharma Kahuripan dan Yajna Prakerti. Ajaran yang terkandung dalam sumber-sumber ini berkelindan dengan makna Siwaratri sebagai malam introspeksi, pengendalian diri, dan pengabdian kepada Tuhan. Berikut adalah penjelasannya:”Tat Tvam Asi” (Kamu adalah Dia) mengingatkan manusia untuk selalu sadar akan hubungan antara dirinya dengan Tuhan. Siwaratri menjadi waktu untuk merenungkan hubungan ini dan memperbaiki tindakan agar lebih selaras dengan dharma.
Siwa Ratri dalam Lontar Yajna Prakerti adalah bentuk media pembelajaran untuk mensthanakan Sang Pencipta. Dengan demikian, Siwaratri menjadi lebih dari sekadar malam suci; ia adalah momentum untuk menguatkan dharma dan membangun hubungan yang lebih harmonis dengan alam, diri sendiri, dan Tuhan dengan laku bhatiniah (jagra, upawasa, monabrata) dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ajaran Hindu, Siwaratri dirayakan pada malam Tilem Sasih Kapitu, dan ada beberapa alasan filosofis, spiritual, dan simbolis yang melandasi pemilihan waktu dan elemen-elemen seperti pohon bilwa.
Berikut penjelasan serta sumber sastranya.
Sasih Tilem Kapitu dan Perayaan Siwaratri . Ratri berarti “malam Siwa” yang ditujukan untuk melakukan introspeksi, pemujaan, dan meditasi kepada Dewa Siwa. Sasih Tilem Kapitu dipilih karena beberapa poin penting.
Dalam konteks kosmis dan spiritual, Sasih Kapitu dianggap sebagai bulan yang melambangkan keseimbangan antara musim hujan dan musim dingin, yang menciptakan suasana hening dan mendorong kontemplasi. Tilem adalah malam tanpa bulan (bulan mati), yang secara simbolis mencerminkan kehampaan atau “nirguna” (ketiadaan sifat) Siwa. Dalam malam ini, manusia diingatkan untuk menenangkan pikiran dari segala keterikatan duniawi.
Rujukan dalam Susastra Hindu:
Dalam Lontar Siwa Tattwa, malam Siwaratri disebut sebagai malam untuk memusatkan pikiran pada Siwa dan mendekatkan diri pada keadaan Moksha (pembebasan, suka tan pawali duka). Tilem Kapitu secara khusus disebut sebagai momen yang ideal untuk melakukan penebusan dosa dan meditasi karena saat itu energi spiritual dianggap sangat kuat.
Pohon Bilwa dalam Siwaratri
Pohon bilwa (Aegle marmelos) atau sering disebut bel/bael dianggap suci dalam tradisi Hindu, khususnya dalam pemujaan kepada Dewa Siwa. Secara filosofis, daun bilwa memiliki bentuk khas tiga helai yang mewakili Trimurti (Brahma, Wisnu, Siwa) atau tiga aspek utama kehidupan manusia: Sattvam (kebajikan), Rajas (aktivitas), dan Tamas (kemalasan/kegelapan).
“Bilva patram shivarpanam, bilvasya patra dvayam, shivapriyam supavitram, bilvam sarva papaharam.” Artinya, daun bilwa yang dipersembahkan kepada Siwa akan membawa keberuntungan, menyucikan diri, dan menghapus dosa.
Lontar Padma Purana menyebutkan pohon bilwa juga dipandang sebagai perwujudan Dewi Lakshmi, yang menambah keagungan pohon ini. Dengan demikian, memetik atau mempersembahkan daun bilwa dengan niat suci dianggap sama dengan melakukan perbuatan baik yang besar.
Makna Penggunaan Daun Bilwa dalam Ritual Siwaratri
Dalam tradisi Siwaisme, persembahan daun bilwa kepada Lingga Siwa adalah bentuk penghormatan dan pengabdian tertinggi. Pohon ini juga menjadi lambang kehidupan sederhana dan pengendalian hawa nafsu. Pemilihan Sasih Tilem Kapitu dalam perayaan Siwaratri berkaitan dengan konteks kosmis, simbolisme spiritual, dan kekuatan energi alam semesta untuk introspeksi. Sementara itu, pohon bilwa dipilih karena sifatnya yang suci, simbolis, dan memiliki akar kuat dalam kitab-kitab suci seperti Skanda Purana dan Padma Purana. Keduanya bersama-sama memperkuat nilai introspektif, pengabdian, dan penyucian diri dalam tradisi Hindu.
Tat Twam Asi adalah konsep yang memberi ruang pada Sang Diri untuk pengetahuan yang hakiki dalam memeroleh anugerah untuk peningkatan kualitas spiritual. Dengan demikian kualifikasi dari sebuah negosiasi akan bangkitnya kesadaran akan Sang Jati Diri akan mampu untuk menciptakan implementasi pembelajaran kehidupan di era digitalisasi untuk dapat memahami, menghargai dan memuliakan semua ciptaan Sang Pencipta sebagai aplikasi ajaran Tat Twam Asi.
Simpulan dari paparan ini, Siwaratri tidak hanya menjadi momen introspeksi dan peningkatan kesadaran spiritual, tetapi juga momentum untuk membangun kesadaran sosial. Ajaran Hindu dari sloka dan sastra, seperti Bhagavad Gita, Manawa Dharmasastra, dan Upanishad, memberikan panduan praktis untuk pemberdayaan ekonomi umat, penuntasan kemiskinan, dan pencegahan stunting (* Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan Kabupaten Buleleng).