Oleh : JMA I Ketut Puspa Adnyana *)
Pengantar
Mengulas Bali, tidak cukup hanya dengan kata-kata. Bali mempunyai daya tarik yang tidak dimiliki bagian dunia lain. Karenanya, Bali terombang-ambing pada kutub-kutub dengan penuh kepentingan. Beberapa buku mengenai Bali dan info medsos membuat takjub. Takjub karena penulis hanyalah orang Bali. Bukan karena kemampuan para penulis buku tersebut menarasikan tentang keelokan Bali, namun mengisahkan tentang Bali kekinian. Mulai dari perilaku Anak Muda Bali Nuwed (AMBN), pentingnya anak laki laki, maraknya Perceraian Pasangan Muda (PPM), Upakara Upacara Membuat Miskin (UUMM), Perubahan Pemanfaatan Ruang Tradisional Bali (PPRTB), Tenaga Kerja Non Hindu Bali (TKNHB), Konversi Bali Hindu (KBH), Konflik Sampradaya (KS) dan Kelesuan Ekonomi Pariwisata Bali (KEPB).
Tulisan ini merupakan rangkuman dari pengamatan lanjutan sejak melakukan penelitian untuk disertasi tahun 1999 – 2003 dan amatan selama ulang alik 2-3 kali setahun menghadiri acara keagamaan dan adat keluarga sehingga secara langsung melihat perubahan (transformasi budaya) di Bali.
Momen ini penulis gunakan untuk merekam “pengaduan” warga atas kegelisahan mereka mengenai masa depan Bali. Meskipun bila dibuka rekaman itu banyak mengandung hal positif dan juga negatif. Baik data positif dan data negatif dalam perencanaan adalah informasi penting, ketika sebuah wilayah membutuhkan “pertolongan” para perencana untuk menemukan jalan masa depannya (rencana). Kini tata ruang Bali menghadapi masalah serius pada dua hal: (1) perubahan dan (2) tata kelola.
Tetap Meadat Sebagai Komitmen Menjaga Budaya Leluhur
Cinta kasih buat Bali dari perantauan yang telah memenjarakan diri penulis untuk terus terlibat dalam kegiatan adat di Bali, menepati tetegenan dan sesalah. Agar tetap diterima sebagai Krama Bali Tamiu (KBT), yang kadang-kadang oleh Krama Bali Nuwed (KBN) dipandang beruntung (karena berada di luar Bali). Sesuatu yang harus penulis jaga dan lestarikan sebagai warisan leluhur kami. Banyak kawan-kawan yang melepaskan status meadat–nya, dan diantaranya banyak yang mengalami kesulitan ketika tiba titik di mana ia atau keluarganya pulang (ke alas wayah) istilah Bali dari kata meninggal.
Terus terang, penulis tetap tercatat “meadat” di desa asal dan juga di “kawitan”, karena penulis tidak ingin ditolak kelak ketika jalan pasti sudah tiba pada titiknya, bahkan mungkin tidak memperoleh kajang. Sebagai Krama Bali Tamiu (diaspora) penulis mencoba melihat Bali secara utuh dari luar, sebatas apa yang penulis alami, teliti dan pahami. Rasanya lebih mudah (bukan katak dalam tempurung) dari posisi keilmuan yang penulis dalami.: Ilmu Perencanaan (Tata Ruang, Lingkungan dan Geografi Fisik).
Bali Unik: Ambigu
Bali memang unik, bukan saja pemerintahannya menganut dualitas tetapi juga pemanfaatan ruangnya. Ada desa dinas dan desa adat. Sekarang berdasarkan produk hukum Provinsi Bali, adat ini telah memiliki lembaga yang disebut Majelis Adat. Dalam hal pemanfaatan ruang, tidak berbeda dengan pemerintahan dikenal Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB) dan Tata Ruang Modern Bali (TRMB). Karena pemilahan ini tidak ditemukan dalam referensi ilmiah, maka penulis melakukan kodifikasi dan mendeskripsikannya untuk memudahkan kajian dalam rangka menulis disertasi, dengan kaidah-kaidah ilmiah melalui pendekatan inquiry. Dengan demikian sangat terbuka dikritik.
Para ahli sosiologi bahkan para psikiatier setuju bahwa dualisme lebih banyak menimbulkan kerugian daripada keuntungan. Pendapat ini umum, bahkan di Bali ada prasa atau anekdot yang sering digunakan untuk menggambarkan sifat mendua: “care nakep balang a dadua”. Bisa jadi lolos keduanya, yang lebih sering atau dapat dua (kalau beruntung). Anekdot ini lebih pada pesan manajemen resiko, untuk meningkatkan kepastian dalam ketidakpastian. Sesuatu yang positif, bila telah memahami Bali.
Akan tetapi, membicarakan dualisme dalam konsteks kebudayaan Bali haruslah berhati-hati, bahkan paradoks. Karena dualisme adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dalam pemahaman tradisi Bali. Hal-hal yang baik selalu mengandung hal-hal yang buruk (rwa bhineda, dualitas). Hal-hal yang menyenangkan selalu ada potensi penderitaan. Demikian juga ruang, ketika ruang dikelola didahului dengan penghancuran ruang awal, dan seterusnya, sampai terbentuk keseimbangan dalam ruang baru membentuk ekosistem baru yang kemudian disebut habitat.
Mengenal Tata Ruang Tradisional Bali dan Tata Ruang Modern Bali
Sekali lagi, Bali memang unik. Untuk memudahkan ulasan dan kajian, perlu dilakukan identifikasi kemudian ditetapkan istilah. Istilah atau apa saja, perlu diberi deskripsi dan penjelasan agar dipahami tanpa menimbulkan kesalahpahaman. Karena itu, untuk memudahkan kajian, ruang Bali dibagi menjadi dua, yaitu: (1) Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB) dan (2) Tata Ruang Modern Bali (TRMB). Pemilahan ini didasarkan pada konten, kontek dan dasar penyusunannya. TRTB adalah gagasan masyarakat adat Bali berdasarkan kebudayaan Bali dan TRMB adalah gagasan pemerintah secara nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB) adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan ruang yang disusun berdasarkan kebudayaan dan tradisi Bali yang adiluhung. Ruang dipersonifikasikan sebagai manusia yang berdiri (vertikal) atau tidur terlentang (horizontal). Sementara itu, Tata Ruang Modern Bali (TRMB) adalah istilah yang digunakan untuk mendiskripsikan ruang yang disusun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. TRMB memberikan dan mempertimbangkan ruang tradisional dalam alokasi pemanfaatan ruang. Dengan demikian TRTB jauh lebih tua daripada TRMB. Berikut dikutif pemahaman TRTB dan TRMB dari beberapa referensi terutama disertasi penulis.
- Tata Ruang Tradisional Bali (TRTB) dalam penyusunannya didasarkan pada konsep konsep budaya Bali yang diilhami ajaran Hindu. Dalam teori penciptaan, alam semesta diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan akan kembali kepada-Nya (Shang Hyang Sangkan Paran). Dalam proses penciptaan ini dikenal istilah puser atau pancer, poros dalam konsep wilayah di Bali. Konsep puser ini kemudian memberikan pemahaman mengenai tata arah (orientasi ruang) dan tata letak yang saling berlawanan, namun menyatu (rwa-bhineda). Dalam proses penciptaan alam semesta (buana agung) dan manusia (buana alit), dikenal istilah purusa (rohani) dan prakriti (kebendaan). Konsep rwa-bhineda memberikan pengertian azas jiwa dan azas kebendaan dalam penataan ruang tradisional Bali. Arah atau orientasi ruang melahirkan pemahaman ruang sakral dan ruang provan didasarkan pada etika spiritual yang dilandasi konsep jiwa. Azas kebendaan terdiri atas lima unsur yang disebut panca maha butha, yang terdiri atas: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (angin) dan akasa (ether). Unsur-unsur ini dalam penataan ruang di Bali diupayakan agar terbentuk harmonis (somya). Secara makro (buana agung), konsep kebendaan ini dalam penataan ruang diwujudkan dalam pembagian wilayah (palemahan) yang dilandasi azas rohani dari konsep rwa-bhineda: kaja-kelod (utara-selatan), kangin-kauh (timur-barat) yang menghasilkan konsep madya (tengah). Wilayah (palemahan) kemudian dibagi menjadi tiga berdasarkan konsep tri buana (bur, bwah, swah); tri angga (utama angga, madya angga, kanista angga), tri mandala (utama mandala, madya mandala, kanista mandala); dan catus pata/catur muka (timur laut, barat daya, barat laut, tenggara); serta sembilan arah (padma buana, sanga mandala). Penjiwaan terhadap pemahaman tata ruang tradisional Bali didasarkan pada tiga kerangka dasar Agama Hindu, yang melandasi setiap aktivitas umat Hindu di Bali.
- Tata Ruang Modern Bali (TRMB) adalah tata ruang yang dibentuk dan disusun oleh pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang belaku (UU Nomor 27 Tahun 2006 tentang Penataaan Ruang, dan UU sebelumnya). Dalam penataan wilayah Indonesia secara hirarkis dikenal RTRW Nasional, RTRW Provinsi dan RTRW Kabupaten/Kota. Dalam penataan ruang berdasarkan undang-undang dikenal pola ruang dan struktur ruang. Aspek-aspek filsafat rohani tidak dikenal dalam penataan ruang modern, akan tetapi ada konsep azas penataan ruang yang menekankan pada keseimbangan sehingga membagi ruang menjadi ruang budidaya dan ruang non budidaya.
Dualitas Penataan Ruang Di Bali
Sekali lagi penulis menyebut Bali memang Unik. Aktivitas keseharian krama Bali selalu meletakkan pemahaman sekala-niskala sebagai maindstream kesucian dalam berpikir, berkata dan bertindak (tri kaya parisuda). Hidup bukan hanya untuk hari ini (sekala) tetapi juga untuk kematian (niskala).
Dalam penataan ruang, masyarakat adat beperdoman pada tradisi dalam menata ruang sebagaimana konsep TRTB tersebut. Adanya hegemoni pemerintah dalam penataan ruang dengan memberlakukan secara nasional undang undang penataan ruang memunculkan dualitas di Bali.
Dalam benak masyarakat Bali mereka berada dalam ruang tradisional, namun secara administrasi mereka berada dalam ruang modern. Pertentangan ini kemudian melahirkan banyak keragaman dalam mengimplementasikan rencana tata ruang dalam pemanfaatannya. Menurut tradisi bahwa telah terjadi perubahan pemanfaatan ruang (PPR) namun secara administratif tidak terjadi perubahan. Dualitas ini menimbulkam ambigu yang kemudian akan menyasar pula pada pelaksanaan upacara dan upakara terkait ruang wilayah (pelemahan). Misalnya dengan berubahnya palemahan desa adat karena masuknya kawasan permukiman modern, mau tidak mau ruang tradisional terabaikan, apalagi apabila ruang yang digunakan berasal bukan dari palemahan untuk permukiman. Terjadi perubahan terbalik dari upacara Mendak Dewi Sri menjadi Ngantukang Dewi Sri.
Situasi seperti ini kemudian menimbulkan banyak variasi, baik pemahaman ruang secara vertikal (manusia berdiri) maupun hirozontal (manusia tidur). Rumah-rumah bertingkat dengan bangunan kahyangan di tingkat paling atas, belum memiliki pola baku, seperti Pola Tata Ruang Kahyangan (PTRK) atau Pola Tata Ruang Natah (PTRN).
Karang tenget, gege, bukan lagi menjadi halangan untuk kegiatan pembangunan asalkan menguntungkan investasi secara ekonomi. Hulu-teben, saklral-provan tidak menjadi pertimbangan lagi dalam memanfaatkan ruang untuk kepentingan pembangunan modern berbasis investasi (hotel, resort, perumahan, dll).
Berdirinya rumah rumah kecil (RSSS) dengan dua kamar, bagi masyarakat adat Bali tidak memungkinkan menerapkan Pola Tata Ruang Natah (PTRN) dan Pola Tata Ruang Kahyangan (PTRK), apalagi Pola Tata Ruang Desa Adat (PTRDA). Secara sekala dan niskala ambigu pemanfaatan ruang di Bali menjadi masalah bagi kelangsungan tradisi masyarakat adat Bali. Karenanya dibutuhkan pola yang baku, yang entah menjadi tugas siapa (Majelis Adat?).
Persepsi masyarakat adat Bali
Dalam disiplin ilmu sosiologi ada istilah Altruisme. Sebuah isme yang menggambarkan bahwa selalu ada pejuang dalam sebuah komunitas atau elit yang diberikan wewenang untuk berjuang atas nama komonitas tersebut. Masyarakat adat Bali tersusun atas 29 klan. Setiap klan memiliki sikap dan prilaku yang berbeda terkait dengan warna atau wangsanya. Sebuah keniscayaan bahwa setiap klan memiliki naluri untuk membangun aktualisasi klan. Dalam membangun Bali Maju, pendekatan klan ini jauh lebih mudah mendapatkan dukungan bila setiap klan memiliki satu kesepahaman persepsi mengenai : kemana Bali Maju kelak?”.
Namun, sampai saat ini data empirik menunjukkan, klan lebih mengatualisasikan kepentingan klannya daripada membangun Bali Raya. Situasi ini menjadi potensi yang subur untuk terjadinya konversi dan fragmentasi dalam sebuah suku yang berbahasa satu dan bertanah air satu : Bali. Hal tersebut dapat ditunjukkan ketika dikaitkan dengan pemilihan langsung kepala daerah. Secara ekonomi klan-klan berlomba untuk membangun pengaruh, apakah lewat BPR, Koperasi dan sebagainya.
Hanya saja, terkait penataan ruang, klan-klan ini tidak menunjukkan partispasinya, misalnya kasus Bali Nirwana Resot di masa lalu, reklamasi Padang Galak, panas bumi Bedugul, reklamasi Teluk Benua. Tidak ada data yang penulis miliki terkait ormas-ormas yang bergerak mengatasnamakan Lestarikan Budaya Bali (LBB), apakah terkait klan atau tidak. Perlu pengkajian yang lebih mendalam.
Masyarakat adat Bali berdasarkan data hasil wawancara (450 informan) berpersepsi negatif terhadap PPRTB. Persepsi negatif ini lebih pada kenampakan TRMB yang beberapa aspek berlawanan dengan TRTB. Situasi masyarakat adat Bali sama dengan penghuni kawasan permukiman yang telah berkonsep modern tetapi prilaku penghuninya masih pada permukiman kampung. Maka dapat dilihat dalam kawasan permukiman akan terjadi frekuwensi dan intensitas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai peruntukannya: mislanya bengkel, UMKM atau lainnya.
Persepsi negatif ini bila tidak dikelola akan menimbulkan respon negatif pula. Data empirik menunjukkan, dalam kawasan-kawasan permukiman sering terjadi penutupan akses, sehingga timbul istilah ‘tanah kebebeng” dan “ tanah terbang” pada konsolidasi lahan pada pembangunan kota.
Penutup
Transformasi budaya Bali, mau tidak mau terus berlangsung melenggang akibat penyesuaian dengan dinamika kebutuhan pemanfaatan ruang. Sementara upaya “revitalisasi atau pelestarian”TRTB belum dapat dikatakan berhasil. Namun, itulah perubahan yang abadi, sehingga harapan Cliford Geertz agar Bali tetap menjadi museum hidup yang menyimpan kebudayaan Hindu yang masih hidup satu satunya di Asia Tenggara, juga akan meredup. Bali telah menjadi Bali 5.0. Om Santih (13092020:14.38).
JMA. I Ketut Puspa Adnyana: Pensiunan Pejabat Utama di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara/Widya Iswara Ahli Utama (Guru Bangsa). Menamatkan S1 di Unram tahun 1984, S2 (1995) Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM Fakultas Teknik/Arsitektur dan S3 Geografi Fisik dan Manusia Fakultas Geografi UGM 2003. Keduanya ditamatkan dengan predikat Cum Laude. Meneliti untuk disertasi, tahun 1999-2003, dengan judul : “Perubahan Pemanfaatan Ruang Dalam Perspektif Masyarakat Adat Bali” yang diajukan di Sekolah Doktor UGM 2003. Lahir dan tinggal di Desa Pujungan, Pupuan, Bali. Kini tinggal di Kota Kendari.