
Ritual Hening di Era Digital yang Bising
Dalam kehidupan era digital yang super moderen, manusia kerap terjebak dalam aktivitas serba cepat dan instan ditandai dengan up date informasi. Sementara tuntutan sosial semakin berat ditengah derasnya arus distraksi, modernisasi dan disinformasi. Di sisi lain, tradisi keagamaan Hindu hadir sebagai penuntun, menghadirkan ruang untuk kembali pada keheningan diri. Salah satunya melalui perayaan Sugihan Bali. Perayaan ini adalah sebuah momentum spiritual yang memiliki makna mendalam bagi umat Hindu, termasuk generasi muda yang tengah mencari arah dan keseimbangan hidup.
Sugihan Bali di era modern memberi ruang untuk tumbuhnya kesadaran moral yang kian meredup. Sugihan Bali dirayakan setiap Jumat Kliwon Wuku Sungsang, sehari setelah Sugihan Jawa. Sugihan Jawa menitikberatkan pada penyucian Bhuana Agung, sedangkan Sugihan Bali menekankan penyucian Bhuana Alit, yakni diri manusia.
Di era digital, konsep penyucian diri memperoleh relevansinya kembali. Generasi muda kini hidup dengan paparan informasi tak terbatas, tekanan performa media sosial, dan beragam beban psikologis yang tak kasat mata. Penyucian diri, baik secara sekala maupun niskala (clean your soul) menjadi ruang jeda untuk kembali menemukan kejernihan bathin.
Secara etimologis, Sugian Bali adalah penjabaran dari sebuah nilai spiritual. Kata “Sugi” berarti membersihkan, sedangkan “Bali” merujuk pada Wali yang artinya kembali, identik pada daya kekuatan dalam diri (the power spirit). Dengan demikian, Sugihan Bali dapat dimaknai sebagai proses pembersihan kekuatan hidup, agar jiwa kembali jernih dan siap menyambut cahaya Dharma menyambut Hari Raya Galungan dan Kuningan
Makna ini memberi pesan spiritual yang sangat kuat, bahwa kebersihan tidak hanya menyangkut tubuh, tetapi juga pikiran, niat, dan orientasi hidup. Dalam Lontar Sundarigama dijabarkan, “Kalinggania amrestista raga tawulan”, Artinya: Oleh karenanya, sucikanlah badan jasmani dan rohani masing-masing dengan memohon tirtha untuk pembersihan. Ajaran ini sejalan dengan kebutuhan manusia moderen yang kian sering lupa menjaga keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental. Tirtha dalam konteks ini tidak hanya dimaknai sebagai air suci, tetapi juga simbolisasi dari kejernihan pikiran, kebeningan batin dan kesadaran yang bersih.
Dua Dimensi Penyucian, Sekala dan Niskala
Penyucian sekala mencakup kegiatan kebersihan fisik dan lingkungan. Menggunakan tirtha pembersihan atau penglukatan, umat menyucikan tubuh agar layak menjadi wadah Sang Jiwa Suci. Penyucian niskala berfokus pada rohani. Ia dilakukan melalui semadi, tapa brata, yoga, serta pengendalian indria. Di era digital, kegiatan ini dapat diwujudkan melalui meditasi singkat, refleksi harian, maupun pembatasan konsumsi informasi yang bersifat merusak kualitas bathin. Bagi generasi muda, penyucian niskala menjadi langkah amat sangat penting agar tidak terjebak dalam arus perbandingan sosial dan tekanan ekspektasi semu yang sering muncul di ruang digital.
Perspektif Bhagavad Gītā memberikan penjelasan mendalam tentang Penyucian Diri yang dijabarkan dalam Bab V.17: “tad-buddhayas tad-ātmānas tan-niṣṭhās tat-parāyaṇāḥ gacchanty apunar āvṛttim jñāna-nirdhūta-kalmaṣāḥ”. Artinya : Mereka yang pikirannya tertuju kepada Tuhan, jiwanya disucikan dan akhirnya mencapai ketenangan. Sloka ini mengisyaratkan bahwa penyucian diri bukanlah sekadar ritual, tetapi perjalanan menuju kesadaran yang lebih tinggi. Pikiran yang terarah, hati yang bersih, dan hidup yang berpegang pada Dharma akan membawa seseorang pada ketenteraman yang tidak tergoyahkan oleh perubahan jaman.
Sugihan Bali, Momentum Reorientasi Diri
Generasi muda kerap mencari “ruang pulang” di tengah tekanan akademik, pekerjaan, tuntutan karir dan dinamika pergaulan digital. Sementara, ajaran Hindu melalui Sugihan Bali dapat diartikan sebagai kesempatan untuk menata ulang prioritas dan tujuan hidup antara lain : (1) Menjernihkan pikiran dari rasa cemas dan gelisah; (2) Memperkuat hubungan dengan keluarga dan Sang Pencipta dan (3) Mengembalikan diri pada nilai-nilai spiritual yang memberi keteduhan. Dengan demikian, perayaan Sugihan Bali bukan hanya tradisi, melainkan nilai hidup yang menawarkan keseimbangan di tengah dunia yang serba cepat.
Merayakan Galungan dengan Jiwa yang Bersih
Galungan bukan sekadar perayaan, melainkan simbol kemenangan Dharma atas Adharma. Untuk memasuki hari agung ini, diri yang bersih adalah syarat utama. Sebab kemenangan Dharma pertama-tama harus terjadi di dalam diri kita sendiri melalui disiplin, ketulusan dan kesadaran. Sugihan Bali memberikan landasan spiritual agar manusia tak hanya menjalankan ritual Galungan secara lahiriah, tetapi juga merasakannya secara bathiniah. Ketika jiwa bersih, cahaya Galungan bukan hanya disambut, tetapi benar-benar dihayati.
Mari, hadirkan momentum spiritual dalam sebuah cahaya yang menyala dari dalam diri tempat Sang Hyang Atman bersemayam sebagai percikan kecil Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sugihan Bali mengisyaratkan bahwa penyucian diri adalah inti dari kehidupan spiritual Hindu. Ia mengingatkan bahwa di balik hiruk-pikuk kemajuan teknologi dan kenyamanan serta gemerlapnya dunia moderen, manusia tetap membutuhkan ruang hening untuk merawat jīwa. Momentum ini mengajak kita, terutama generasi muda, untuk kembali pada jatidiri diri pada cahaya lembut, hening, tenang yang terus menyala di dalam diri. Karenanya, tatkala bathin jernih, hidup akan lebih terang, damai, dan bermakna. (Penulis, Koordinator Penyuluh Agama Hindu Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng Bali).