Oleh : I Nyoman Sutantra, Surabaya
Setiap kejadian sekecil dan sebesar apa pun di dunia ini pastilah seijin Tuhan. Melalui hukum karma yang diciptakan Tuhan sebagai hukum kehidupan, setiap ada perbuatan (karma) sebagai sebab pasti juga akan ada hasil atau akibatnya (pahala). Dan setiap proses sebab dan akibat di dunia ini pastilah mengandung pesan atau pelajaran luhur bagi umat manusia.
Dalam Ramayana, karena tidak bisa mengendalikan nafsu, keserakahan, dan kemarahan, Rahwana menculik Dewi Sita (istri Rama). Ini menyulut perang besar antara Rama yang didukung raja Sugriwa dengan pasukan keranya melawan Rahwana sebagai raja Alengka dengan pasukan raksasanya. Perang besar itu mengakibatkan terbunuhnya Rahwana dan hancurnya kerajaan Alengka. Banyak rakyat Alengka menjadi janda dan sengsara akibat ditinggal suaminya yang terbunuh dalam perang.
Pesan dan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut adalah, nafsu, keserakahan, dan kemarahan akan dapat berakibat kesengsaraan dan kehancuran bagi dirinya dan juga bagi umat manusia. Bahkan dalam sastra suci Bhagavad Gita dikatakan: nafsu, kemarahan, dan keserakahan adalah pintu gerbang menuju neraka, kesengsaraan.
Pada kisah Mahabarata, karena rasa sayang yang buta dan berlebihan raja Drestarasta kepada anaknya Duryodana, maka ia tidak dapat berlaku adil kepada anak-anaknya dari Pandu, yang memiliki hak pada tahta kerajaan. Duryadana menjadi anak yang penuh dengan kemarahan, nafsu dan keserakahan akan harta dan tahta. Sedangkan anak Pandu (adik Drestrarasta) yaitu Yudistira dan 4 saudaranga menjadi anak yang santun dan teguh memegang keberan, etika dan tata krama luhur, sehingga dapat hidup rukun, damai, harmonis, adil, satu, dan bersatu. Untuk menyingkirkan Yudistira dan saudaranya, raja Drestarastra mengijinkan perjudian yang penuh tipu muslihat antara Duryadana dengan Yudistira dan saudaranya. Perjudian ini disaksikan oleh raja, Rsi Bisma, guru Drona dan para pejabat. Kecurangan dan kelicikan Sakuni, paman dari Duryadana, membuat Yudistira mempertaruhkan kerajaannya dan juga istrinya yang berakhir dengan kekalahan. Karena kekalahan dalam perjudian itu, Yudistira dan saudaranya dibuang ke hutan selama 13 tahun, bahkan istrinya Drupadi ditelanjangi oleh Dursasana, atas perintah Duryadana di depan raja dan para pejabat kerajaan. Raja Drestarastra walau tahu bahwa segala tindakan itu salah dan melanggar etika, namun karena cintanya yang buta kepada anaknya, ia membiarkan semua itu terjadi. Karena terikat oleh janji dan sumpahnya untuk selalu tunduk pada kehendak raja, Rsi Bisma, sebagai penasehat raja, juga tidak bisa menghentikan tindakan Dursasana adik Duryadana yang melanggar etika dan tata susila. Karena telah menerima kehormatan sebagai guru utama dan gelimangan harta dari raja Drestarastra, guru Drona juga tidak bisa berbuat apa-apa atas tindakan Duryadana dan Dursasana. Karna sebagai seorang kesatria besar, putra sulung dari Dewi Kunti, berkat keangkuhannya, ia dimanfaatkan oleh Duryadana. Karna diangkat sebagai raja, bagian dari kerajaan Astina oleh Duryadana pada saat harga diri Karna dihancurkan di depan umum. Akibatnya, Karna merasa sangat berhutang budi dan menganggap Duryadana sebagai sahabat sejati. Karena sikap dan tindakan raja Drestarastra, Rsi Bisma, Guru Drona dan Karna, yang seharusnya mampu mengendalkan konflik, namun mereka tidak melakukannya. Inilah yang berakibat munculnya perang saudara yang dahsyat antara pihak Duryodana (Kurawa) dan pihak Yudistira (Pandawa) yaitu “Barata Yuda”. Perang dahsyat tersebut telah mengakibatkan terbunuhnya ribuan ksatria besar dan ratusan raja, serta menyengsarakan rakyat. Perang besar tersebut dimenangkan oleh Pandawa yang selalu memegang teguh moral kebajikan dan selalu satu dan bersatu, mengendalikan ego, nafsu, keangkuhan dan keserakahan.
Pesan dan pelajaran penting yang patut dipetik adalah: sebagai raja atau pemimpin janganlah seperti raja Drestarastra. Sebagai tokoh besar, penasehat raja, janganlah terjebak seperti Rsi Bisma. Sebagai guru Besar, guru bangsa, janganlah terjebak seperti Guru Drona. Sebagai kesatria besar, janganlah terjebak hutang budi seperti Karna. Sebagai putra raja, janganlah angkuh dan serakah seperti Duryodana. Sebagai ilmuwan cerdas, janganlah licik dalam menggunakan kecerdasannya seperti Sakuni. Jadilah manusia yang selalu santun dan teguh menegakkan kebenaran, mengendalikan nafsu, ego, kemarahan, keserakahan, dan hiduplah rukun, damai, harmonis, adil, satu, dan bersatu seperti Pandawa.
Pada saat perang “Barata Yuda” telah terjadi wabah dahsyat yaitu kematian masal yang misterius dari pasukan Kurawa dan juga Pandawa. Wabah ini diakibatkan oleh virus berupa pasukan raksasa kerdil yang berkembang dan berubah dengan cepat dan tidak terlihat secara kasat mata. Virus berupa raksasa kecil tersebut dengan mudah membuat setiap orang yang dekat mengalami batuk, sesak nafas, pusing dan langsung meninggal. Pasukan raksasa tersebut sangat misterius, jumlahnya sangat banyak, dan sangat cepat memperbanyak serta mengubah diri dan sangat sulit dikendalikan. Inilah yang membuat cemas, baik pihak Pandawa maupun Kurawa. Virus berupa pasukan raksasa ini ternyata datang dari energi ilmu supra natural yang disebut “ajian Candrabirawa” yang dimiliki Prabu Salya yang menggunakan ilmu itu penuh nafsu, kemarahan, dan kerakahan. Prabu Salya adalah seorang raja, paman dari Nakula dan Sadewa (Pandawa), karena terjebak oleh kelicikan Sakuni, pada perang Barata Yuda ia memihak Kurawa. Tidak ada yang mampu mengendalikan wabah dahsyat kemanusian tersebut, baik pihak Kurawa maupun Pandawa. Hanya Krisna, orang suci pemegang moral, sebagai penasehat perang Pandawa dapat mengetahui dengan jelas bahwa wabah dahsyat itu hanya bisa dihentikan dengan pengetahuan kebenaran, kekuatan moral, kebajikan, welas asih, ketulusan, dan kedisiplinan yang tulus. Semua sifat itu dimiliki oleh Yudistira, dan pengetahuan kebenaran yang disebut Cakra Baskara yang dimiliki oleh Krisna. Yudistira dengan bekal sikap luhur tersebut dan pengetahuan kebenaran berupa Cakra Baskara dari Krisna berperang melawan Prabu Salya, berakhir dengan terbunuhnya Salya. Kematian Salya seketika membuat wabah dahsyat berhenti.
Pesan dan pelajaran yang dapat dipetik dari kisah tersebut : sebagai pemimpin, sebagai kesatria besar, dan sebagai orang yang memiliki kekuatan supra natural, gunakanlah itu untuk kemanusiaan, janganlah seperti Salya yang menggunakan kekuatannya itu dengan penuh nafsu, kemarahan, dan keserakahan. Untuk menghadapi wabah yang dahsyat yang mengakibatkan kesengsaraan dan kematian, belajarlah dari sikap dan tindakan luhur yang dimiliki dan dilakukan oleh Krisna dan Yudistira.
Setelah jaman Mahabharata, yaitu jaman modern seperti sekarang ini, masih sangat banyak umat manusia yang belum memahami pesan dan memetik pelajaran luhur dari kisah Ramayana, Mahabarata, dan kisah-kisah luhur lainnya. Manusia di jaman modern banyak yang tidak mampu mengendalikan nafsu, ego, kemarahan, keserakahan, dengki, iri hati, kegelapan, dan kebodohan sehingga sangat sering mengakibatkan perselisihan, konflik, radikalisme negatif, dan perang yang dapat menyengsarakan, menyakiti, dan membunuh umat manusia.
Keserakahan akan tahta dan harta, manusia di jaman modern telah merusak hutan yang berakibat pemanasan global, banjir, tanah longsor, puting beliung, turunnya air tanah dan dampak negatif lainnya yang dapat menyengsarakan dan merusak kehidupan manusia. Dengan nafsu, ego, dan keserakahan manusia akan harta dan tahta telah mengakibatkan perselisihan, konflik, dan perang antar individu, kelompok, dan golongan yang dapat memecah belah kesatuan dan persatuan suatu bangsa. Kekayaan alam sebagai anugerah Tuhan yang seharusnya dijaga dan digunakan dengan hati-hati untuk kesejahteraan umat manusia, telah dengan penuh nafsu, kemarahan, dan keserakahan telah dikeruk sebanyak-banyaknya. Dengan terkeruknya kekayaan alam seperti itu, alam akan mencari keseimbangan kembali melalui gempa, pergeseran lempeng, tsunami, gunung meletus, perubahan musim yang tidak lagi dapat diprediksi, dan peristiwa lain yang dapat menyengsarakan umat manusia. Semua kejadian alam tersebut mengandung pesan dan pelajaran luhur yang seharusnya mampu dipahami dan dipetik oleh manusia modern.
Dengan alasan konsumsi, pemenuhan gizi, stamina, pengobatan, penelitian dan kebutuhan lainnya, manusia dengan serakah menyiksa dan membunuh binatang-binatang dengan tanpa mengindahkan etika kebinatangan. Menyiksa dan membunuh binatang dengan tanpa etika kebinatangan, akan sangat mungkin membuat jiwa-jiwa dari binatang memancarkan energi negatif yang dapat merusak kesucian dan kebersihan alam lingkungan. Pancaran energi negatif dari jiwa-jiwa binatang yang tersiksa dan terbunuh dapat menghasilakn virus atau kuman yang mengakibatkan berbagai jenis penyakit yang mematikan. Flu burung, flu ayam, flu babi, flu unta, dan juga Virus Korona sangat mungkin adalah akumulasi buah pancaran energi negatif dari jiwa-jiwa binatang yang tersakiti, tersiksa, dan terbunuh. Karena terakumulasi sangat banyak sehingga energinya sangat kuat yang mengakibatkan wabah pandemi Virus Korona berkembang dan berubah sangat cepat memasuki hampir seluruh negara di dunia. Kedahsyatan virus Corona menyerupai wabah Aji Candrabirawa milik Prabu Salya. Semua kejadian itu pastilah mengandung pesan dan pelajaran yang memuat nilai-nilai luhur untuk dapat menuntun kehidupan umat manusia. Untuk mengatasi wabah pandemi yang dahsyat ini, kita bisa belajar dari Krisna dan Yudistira dalam menghadapi virus dahsyat berupa raksasa kerdil yang tak terlihat dari Aji Candrabirawa, saat perang Barata Yuda.
Pesan pelajaran dari Krisna dan Yudistira, salah satu yang utama untuk mengatasi wabah dahsyat adalah dengan senjata kebenaran dalam wujud Cakra Baskara dari Krisna, moral, kebajikan, dan budi luhur dari Yudistira. Cakra Baskara pada jaman modern bisa berupa segala pengetahuan kebenaran yang patut diberdayakan oleh para ahli secara tulus dan tanpa pamrih, untuk menghasilkan vaksin, obat obatan, dan segala peralatan bantu dalam usaha menghindari penyebaran dan membantu penyembuhan akibat Virus Korona. Umat manusia harus meningkatkan kualitas moral dan kebajikan dengan mengendalikan pikiran, nafsu, kemarahan, ego, keserakahan, dan disertai doa untuk tidak cemas dan stress yang diwujudkan dengan “tetap berada di rumah” dan “bekerja dari rumah”. Disamping itu umat manusia harus mengendalikan perkataanya untuk selalu santun, tidak mencemoh, tidak mengejek, tidak menyakiti, tidak berbohong, tidak bikin berita hoax, tidak mengasut, tidak mengeluh, dan tidak melakukan penistaan yang diwujudkan dengan “memakai masker”. Umat manusia harus menjaga budi pekerti luhur dengan selalu menjaga kehidupan saling menghormati, saling berbagi, rukun, damai, harmonis, saling asah, saling asih, saling asuh yang diwujudkan dengan “menjaga jarak”. Akhirnya umat manusia juga harus selalu menjaga kesucian, kebersihan, dan kesehatan lahir dan batin dengan menjaga kualitas makan dan olah raga untuk menjaga imunitas tubuh dengan raji “mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir”. Kelima hal tersebut patut dilaksanakan dengan penuh disiplin, tulus, tanpa pamrih, dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Dengan cara demikian dengan disertai doa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, semoga umat manusia dikaruniai kerahayuan, dilapangkan jalan untuk mengatasi pandemi yang melanda umat manusia (*).