Catatan dari Peluncuran Buku Karya Wayan Koster
Ekonomi Kerthi Bali, Minus Tri Hita Karana

Oleh : Wayan Windia, Denpasar *)

Saya mendapat undangan untuk hadir dalam acara bedah buku “Ekonomi Kerthi Bali” (Rabu, 20/10/2021) yang lalu di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Denpasar. Pengarangnya, Gubernur Bali, Dr. Ir. Wayan Koster, M.M. Karena kasusnya menarik, saya hadir dalam acara itu. Saya pikir, tidak banyak Gubernur memiliki waktu yang cukup untuk menulis buku. Karena kesibukan seorang gubernur tentu sangat padat untuk mengurus pemerintahan dan rakyat. Saya “angkat topi” dan mengapresiasi. Renungan pemikirannya sejak sebelum menjadi gubernur dideskripsikan secara sistematis berbentuk buku.

Inti buku itu adalah ada 11 faktor yang mempengaruhi terwujudnya ekonomi Bali yang kerthi. Ekonomi Bali yang Kerthi adalah suatu kondisi ekonomi, di mana Bali bisa berswasembada. Untuk menguji hipotesis ini, Koster siap menjadi promotor bila ada mahasiswa yang tertarik. Tentu saja “tantangan” itu perlu direspon oleh kalangan akademisi.  Hal ini kiranya penting dilakukan, sebelum konsep ini diterapkan di daerah lain, di luar Bali atau bahkan di luar Indonesia.

Mungkin tantangan yang cukup berat bagi calon doktor adalah kemampuannya untuk mengukur variabel-variabel tersebut. Artinya, mengukur 11 faktor seperti yang disebutkan sebelumnya, dan mengukur apa yang dimaksudkan dengan Bali berdikari dalam bidang ekonomi (berswasembada). Tapi saya kira, melalui berbagai Focus Group Discussion, hal itu akan dapat dilakukan.  Lalu, dengan satu sistem analisis tertentu, akan ditemukan, apakah betul hipotesis itu bisa terbukti. Kemudian, mungkin akan ditemukan faktor mana yang paling dominan bisa berpengaruh.

Bahasan yang apik terhadap buku itu disampaikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas RI, Dr. Ir. Suharso Monoarfa. Suharso sangat mengapresiasi buku itu, karena konsep pola pikirnya dimulai dari ranah spiritual. Konsepnya, dimulai dari relung hati (hati nurani). Yakni sikap yang harus mensyukuri karunia Tuhan YME, terhadap sumberdaya yang dianugerahkan di Pulau Bali. Karena dimulai dengan sikap mensyukuri, maka alam pikir logika akan dapat menavigasi pemanfaatan variabel aset alam Bali. Bila hal itu menjadi kenyataan, maka hal inilah disebutkan sebagai konsep hati nurani yang bisa mematahkan logika.

Apa yang disampaikan Suharso adalah mimpi ideal terhadap alam Bali. Ia sendiri dalam pidatonya menyampaikan berbagai kritik terhadap kenyataan di Bali, yang telah kehilangan banyak aset spiritualnya. Ia secara tersirat menyatakan bahwa pariwisata sudah menjadi kanibal bagi Bali. Bukan lagi pariwisata untuk Bali, tetapi Bali untuk pariwisata. Kasus-kasusnya banyak sekali. Baik dilihat dari segi pola pikir, interaksi sosial dan kebendaan. Lihatlah Subak (organisasi para petani sawah) yang menjadi warisan budaya dunia (WBD) UNESCO, saat inbi sudah babak belur bahkan hancur-hancuran. Lihat juga pantai-pantai di Bali, jurang-jurang sungai di Bali, intrusi air laut yang membahayakan, dan banyak bahaya lingkungan lainnya. Sebagai “orang subak”, saya juga terkejut, dari mana Dr. Suharso mendapatkan info tentang Subak yang agak detail seperti itu.

Tetapi semua yang sudah terjadi, adalah resiko (trade off), dari sebuah komunitas yang pragmatis. Komunitas yang mendewakan PDRB, PAD dan pertumbuhan ekonomi, dibandingkan dengan keberlanjutan ekonomi, pengurangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, dan pengurangan kepincangan ekonomi. Itu semua adalah pilihan kebijakan politik. Apakah mau hidup dalam alam kesejahteraan jangka pendek, atau memilih keberlanjutan (jangka panjang). Kasus Subak WBD Jatiluwih menunjukkan bahwa, kaum birokrat di Tabanan, ternyata lebih memilih jalan jangka pendek dan amat sangat pragmatis.

Dalam konteks itulah saya mengritik bukunya Wayan Koster. Karena sama sekali tidak menyinggung  Tri Hita Karana (THK) sebagai salah satu landasan pemikiran teorinya. Dr. Anak Agung Gde Agung menyatakan dalam disertasinya bahwa konsep/filsafat yang paling tinggi di Bali adalah THK.  Kritik saya ini, mungkin bisa dijawab : apalah artinya sebuah “kata” kalau jabaran konsepnya sudah dielaborasi? Untuk itu, saya memiliki alam pikir yang berbeda. Saya memandang bahwa filsafat THK adalah sebuah konsep yang utuh. Mirip dengan konsep dasar negara Pancasila. Konsepnya utuh. Tidak bisa dielaborasi secara parsial.

Konsep THK adalah konsep harmoni dan kebersamaan secara universal. Sebuah konsep yang memandang bahwa dalam kegiatan pembangunan (Windia dan Dewi, 2005) : (i) harus tidak semata-mata mementingkan efesiensi, tetapi juga harus memperhatikan efektivitas; (ii) harus tidak semata-mata mementingkan profit, tetapi juga benefit bagi masyarakat sekitarnya; (iii) harus tidak semata-mata mementingkan produktivitas, tetapi juga kontinyuitas pemanfaatan sumberdaya.

Walau demikian, saya merasa gembira bahwa penulis buku, Gubernur Bali Wayan Koster telah memiliki kesadaran baru. Bahwa apa yang telah dilaksanakan di Bali dalam pembangunan sejak beberapa dekade yang lalu,  adalah sesuatu yang keliru. Kita terlalu nyaman dengan sektor pariwisata. Kita tidak berusaha menggali sumberdaya dan kearifan lokal Bali. Akibatnya kini sudah kita rasakan bersama.

Pelajaran sudah diberikan dalam berbagai kasus : perang teluk, perang Irak-Iran, wabah/penyakit, bom Bali dan lainnya. Tetapi karena kita terlanjur nyaman, maka kita menjadi lupa daratan. Korban sudah banyak, khususnya korban sawah dan Subak di Bali, yang sebetulnya adalah fundamental dari kebudayaan Bali. Pariwisata sudah menjadi kanibal, sekali lagi kanibal  bagi sawah dan Subak di Bali.  Marilah kita membangun Bali dengan sumberdaya kearifan lokalnya agar fundamental ekonomi Bali lebih adil dan berkelanjutan.

Kini saatnya kita menunggu kebijakan politik anggaran dalam APBD Bali. Apakah berbagai wacana dalam buku karangan Wayan Koster itu betul-betul akan dilaksanakan ? Salah satu pelaksanaannya, diukur dari alokasi anggaran dalam berbagai sektor unggulan sebagaimana yang diwacanakan. Dalam diskusi dengan Ketua Komisi II DPRD Bali, IGK Kresna Budi, telah tersirat kesepakatan agar anggaran untuk pertanian di Bali menjadi lima persen. Dalam diskusi itu, hadir Kepala Bappeda Bali. Mari kita tunggu, apakah yang telah diwacanakan betul-betul akan menjadi kenyataan. *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan  Ketua Stispol Wira Bhakti, di Denpasar.

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email