Dampak Ketika Politik Jadi Panglima
GADUH DI KPK

Oleh : Wayan Windia *)

Akhirnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengalami kegaduhan. Gaduh bermula dari revisi UU KPK dan test wawasan kebangsaan (TWB) yang kontroversial itu. Sampai akhirnya, kini 75 staf KPK melapor ke lembaga Ombudsman. Dewan pengawas KPK juga menjadi obyek laporan. Pokoknya internal KPK semakin gaduh. Untuk itu, omong kosong kalau ada yang bilang bahwa kinerja KPK tak terganggu, seperti yang diinformasikan oleh KPK. Orang awam pun tahu, bahwa kalau ada kegaduhan internal (tidak harmoni), pasti kinerja lembaga akan terganggu. Situasi seperti inilah yang memang ditunggu-tunggu oleh para koruptor untuk merusak dan membusukkan KPK dari dalam.

Patut dicatat bahwa, KPK, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah lembaga tinggi negara yang baru, yang dilahirkan oleh Rezim Reformasi. Dua lembaga baru itu, yakni MK dan DPD sudah lama gaduh. MK mulai gaduh, tatkala ketuanya Akil Mochtar ditangkap KPK dan kemudian masuk bui. Kemudian disusul dengan tertangkapnya salah seorang hakim MK lainnya, Patrialis Akbar.

Tak lama kemudian,  DPD RI juga ikut gaduh. Yakni, tatkala terjadi perebutan jabatan sebagai Ketua dan pimpinan DPD. Sebelumnya, Ketua DPD RI, Irman Gusman juga ditangkap KPK, karena korupsi kasus impor gula. Lembaga tinggi lainnya yang ikut gaduh adalah lembaga DPR, karena ketua DPR RI, Setya Novanto secara dramatis ditangkap KPK dan masuk bui. Setelah di bui pun ia masih sempat membuat gara-gara.

Kasus korupsi di kalangan elit, sebetulnya sudah menyebar dalam buah-bibir masyarakat. Baik di warung kopi maupun di kampus-kampus. Hal itu terlihat dari cara hidupnya yang glamour. Tidak sepadan dengan penghasilannya yang wajar. Tetapi sayangnya, sama sekali tidak ada tindakan dari aparat hukum (jaksa, polisi) untuk membabat habis korupsi di kalangan elit.

Mungkin karena struktur kekuasaan, pantesan pimpinan lembaga-lembaga itu (MK, DPD) sama sekali tidak berani. Hanya KPK yang maju sebagai pemberani. Karena struktur KPK yang independen dan netral. Akhirnya tepuk tangan mulai riuh membela KPK dan masyarakat acung jempol pada KPK.

Jauh sebelumnya, sudah ada berita-berita bahwa, lembaga-lembaga anti korupsi di dunia, pasti cenderung untuk dilemahkan atau mendapat tekanan politik. Mengapa? Karena lembaga itu lahir dari haribaan lembaga politik (DPR) dan pemerintah. Hal yang sepadan juga terjadi di Singapura dan Hongkong. Di Indonesia lembaga anti rasuah seperti halnya KPK, cukup lama bertahan. Tetapi harus dilemahkan dalam periode kedua pemerintahan Jokowi. Meskipun Jokowi dalam kampanyenya berjanji,  bahwa lembaga KPK akan terus diperkuat.

Tetapi tampaknya Jokoi tidak tahan melawan tekanan politik praktis. Khususnya dari partai-partai (pendukungnya), yang merasa dirugikan dan terancam oleh KPK. Pasalnya, kader-kader partai yang ditangkap dan masuk bui. Bahkan banyak ketum beberapa partai politik yang harus ditangkap dan masuk bui seperti Ketum Partai Demokrat, Ketum PKS, Ketum Golkar dan Ketum PPP.

Mungkin karena jiwa korsanya, maka partai-partai akhirnya ramai-ramai setuju untuk melemahkan KPK. Kasihan juga KPK kita. KPK adalah satu-satu lembaga tinggi produk reformasi, yang sebetulnya masih bisa dibanggakan. Tetapi kini kebanggaan itu lenyap sudah. Tidak ada lagi. Khususnya semenjak KPK diblokade dan gagal menerobos Sekreariat DPP PDIP, berkait dengan kasus korupsi kader PDIP pada era itu.

Dilihat dari body language atau gerak tubuh dan pernyataan Presiden Jokowi, tampaknya beliau  tidak bisa menerima pelemahan KPK itu. Juga tidak tega melihat KPK yang gaduh seperti sekarang ini. Hal itu terlihat dari pernyataannya berkait dengan dinonaktifkannya 75 orang pegawai KPK. Serupa sebelumnya, Jokowi sama sekali bungkam tatkala UU KPK dilemahkan. Mungkin ia takut ngomong atau takut salah kalau  harus ngomong. Tentu saja beliau takut kepada induk partainya, kepada Megawati,  dan kepada partai-partai pendukungnya. Memang begitulah, realitasnya kalau politik menjadi panglima. Siapa pun tak peduli dengan wacana yang berkembang di masyarakat luas.

Lalu siapa (lembaga mana) harapan kita untuk masa depan Indonesia ? Yakni masa depan Indonesia sebagaimana harapan pendiri bangsa kita dalam perang kemedekaan. Dengan semakin lemah dan gaduhnya KPK, nyaris tidak ada lagi harapan kita. Sementara itu, sistem politik di Indonesia, semakin di dominasi oleh politik uang. Hal itu sudah menjadi rahasia umum. Hal itu juga dibuktikan dengan tidak pernah surutnya para pejabat publik, khususnya yang berasal dari partai yang masuk bui  gara-gara korupsi.

Untuk kasus-kasus tersebut, kita sudah tahu persis akar masalahnya. Yakni sistem politik yang berorientasi pada uang (kebendaan). Sistem politik yang bertentangan dengan Dasar Negara Pancasila. Tetapi elit politik kita sama sekali tak bergeming. Sebab kalau mereka bergeming, akan membahayakan posisi mereka. Sementara itu, soft war dalam bentuk sok demokratis dan sok ber-HAM sudah semakin meraja-lela. Sudah semakin sulit dibendung.

Dalam periode pertama pemerintahan Jokowi, sudah mulai ada suara-suara dan kecenderungan bahwa sistem politik Indonesia ingin dikembalikan pada sistem yang sesuai dengan Pancasila. Tetapi segera ada gerakan yang melawan. Akhirnya pemikiran politik itu segera kandas. Mungkin diperlukan arus reformasi kedua yang menginginkan agar kita kembali ke UUD 1945 yang asli dan kembali pada sistem politik yang sesuai dengan  nilai-nilai Pancasila. Kita tunggu saja dengan doa-doa semoga  muncul pemimpin-pemimpin baik yang membuat perubahan ke arah Indonesia maju dan bermartabat. *) Penulis, adalah Guru Besar pada Fak. Pertanian Unud, dan Ketua Stispol Wira Bhakti, Denpasar.

 

Share :

Share on facebook
Facebook
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp
Share on telegram
Telegram
Share on email
Email